Sabtu, 12 Oktober 2013

Haji, Laksana Pertunjukan Akbar

Haji, Laksana Pertunjukan Akbar
Biyanto  Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO, 12 Oktober 2013


Tokoh revolusioner Iran, Ali Shariati (1933-1977), dalam karyanya yang berjudul Hajj (The Pilgrimage), mengilustrasikan ibadah haji laksana sebuah pertunjukan. Pernyataan Shariati itu jelas tidak berlebihan jika kita memperhatikan protokoler ibadah haji. 

Jika diamati secara seksama, jelas sekali bahwa pelaksanaan rukun Islam kelima itu memang laksana sebuah pertunjukan. Tetapi, bukan pertunjukan biasa, melainkan pertunjukan akbar karena melibatkan jutaan orang. Dalam pertunjukan akbar itu, Allah SWT langsung bertindaksebagaisutradara. Tokoh-tokoh yang harus diperankan diantaranya Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. 

Lokasi utamanya di sekitar Masjidharam, Masjid Nabawi, Tanah Haram, Kakbah, Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan tempat bersejarah lain yang selalu mengundang jamaah haji untuk berziarah. Simbol-simbol yang penting diperhatikan adalah siang, malam, matahari terbit, matahari tergelincir, matahari terbenam, berkurban, tahallul (mencukur rambut), dan berhala. 

Baju kebesaran yang harus dipakai adalah pakaian ihram. Pemain utamanya adalah setiap jamaah haji itu. Karena ibadah haji itu laksana sebuah pertunjukan, setiap pemain dituntut untuk memainkan peran dengan penuh penghayatan. Untuk itulah, setiap jamaah haji harus membawa bekal yang terbaik saat berangkat ke Tanah Suci. Dalam sudut pandang Alquran dikatakan bahwa sebaikbaiknya bekal yang harus dibawa jamaah haji adalah takwa (QS Al Baqarah: 197). 

Modal ketakwaan itulah yang akan menjamin setiap jamaah dapat meneladani karakter tokoh-tokoh yang diperankannya. Di samping itu, modal ketakwaan juga diperlukan untuk menata niat agar ibadah hajinya diterima Allah SWT. Apabila dihayati dengan baik, prosesi ibadah haji pasti dapat mengantarkan setiap pribadi dalam kehidupan yang diwarnai kesadaran mengenai keberadaan Allah. Rumah Allah (Baitullah, Kakbah) yang mengarah ke semua penjuru jelas melambangkan bahwa Allah berada di mana saja. 

Tatkala kesadaran itu muncul, setiap jamaah haji termotivasi untuk mencium Hajar Aswad atau minimal melambaikan tangan ke arah Kakbah. Saat itulah setiap jamaah haji merasakan kedekatannya dengan Allah. Tanpa disadari air mata pun tumpah sebagai wujud syukur karena dapat memenuhi panggilan Allah untuk berkunjung ke Kakbah. Pertanyaannya, dapatkah jamaah haji menghayati peran yang dimainkannya? Menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah. 

Tetapi, umumnya jamaah haji sukses memainkan peran dalam pertunjukan akbar itu. Salah satu indikatornya, tidak ada jamaah haji yang ”kapok” berangkat ke Tanah Suci. Yang terjadi justru keinginan untuk senantiasa dipanggil sebagai tamu-tamu Allah. Itu setidaknya dapat diamati dari jumlah antrean calon jamaah haji (CJH) yang semakin mengular. Di beberapa daerah antrean CJH kini mencapai 15 tahun. Artinya, jika ada orang mendaftar haji sekarang, ia harus menunggu 15 tahun lagi. 

Saat itulah ia baru berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Harus diakui bahwa rangkaian proses ibadah haji telah memberikan pengalaman rohani yang tak terlupakan bagi jamaah. Tidak mengherankan jika selalu muncul kerinduan untuk melakukan perjalanan spiritual ke Tanah Suci. Tetapi, harus diingat, kini ada jutaan orang yang sedang antre menjadi tamu Allah. 

Karena itulah, orang yang sudah berhaji harus berempati dengan menahan ego spiritualitasnya guna memberikan kesempatan kepada saudaranya. Karena itu, kita harus mendukung ikhtiar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Dirjen PHU Kemenag) Anggito Abimanyu yang terus mengampanyekan program beribadah haji cukup sekali dalam seumur hidup. Pemerintah dan tokoh-tokoh agama harus terlibat dalam kampanye mulia ini. 

Penting dikemukakan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga hanya berhaji sekali selama hayat beliau. Fakta sejarah itu penting untuk dijadikan teladan bagi setiap pribadi. Tetapi, harus diakui, tidak mudah untuk memahamkan umat bahwa ibadah haji itu cukup sekali. Itu sekali lagi disebabkan ibadah haji selalu menghadirkan pengalaman keagamaan yang sangat mendalam. 

Apalagi Allah selalu memanggil setiap jamaah haji dengan sebutan yang sangat menyentuh hati nurani setiap jamaah yakni tamu-tamu Allah (wafdullah). Dengan panggilan itu, Allah yang akan menjadi tuan rumah. Karena itu, dikatakan bahwa jamaah haji berkunjung ke Baitullah. Sebagai tuan rumah, Allah yang akan menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi jamaah haji. Dalam beberapa Hadits, Rasulullah juga menekankan keutamaan ibadah haji. 

Misalnya, Nabi bersabda bahwa ibadah haji yang diterima Allah (mabrur) itu pahalanya tiada lain kecuali surga. Karena janji yang diberikan Allah dan Rasulullah begitu rupa, motivasi umat untuk menjalankan ibadah haji terus bergelora. Setiap tamu Allah pasti selalu teringat saat melaksanakan prosesi ibadah haji. Selalu terbayang tatkala ia mengelilingi Kakbah (tawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwah (sai), berkumpul di Arafah (wukuf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), bermalam (mabit) di Muzdalifah dan Mina, menggunting atau mencukur rambut (tahallul), dan mencium batu hitam (Hajar Aswad). 

Khusus jamaah haji laki-laki juga ada ketentuan yang harus dipatuhi. Misalnya kewajiban menggunakan pakaian ihram, dua helai kain putih yang tidak berjahit. Pada saat tertentu juga tidak diperkenankan untuk menggunakan alas kaki yang menutup mata kaki. Jika pakaian ihram telah dikenakan, tidak boleh lagi bersolek. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut bulu, apabila dilakukan saat berpakaian ihram, akan dikenai denda. 

Terlebih lagi jika bercumbu, membunuh binatang, dan mencabut tanaman. Semua larangan itu harus dijauhi karena Allah semata. Hanya dengan menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, para jamaah akan memahami peran yang dimainkan dalam keseluruhan prosesi ibadah haji.
Selamat beribadah wahai tamu Allah, semoga menjadi haji yang mabrur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar