|
SEBAGAIMANA sudah
diprediksi, terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1/2013 untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) bakal memicu silang
pendapat. Bahkan, sejumlah advokat di Jakarta mendaftarkan gugatan uji materi
ke MK yang mempermasalahkan dikembalikannya kewenangan Komisi Yudisial (KY)
mengawasi hakim konstitusi.
Kontroversi lain juga muncul setelah mantan Ketua MK Mahfud M.D. menilai posisi dua hakim konstitusi dari kader parpol, yakni Hamdan Zoelva (PBB) dan Patrialis Akbar (PAN), bisa terancam (Jawa Pos, 22 Oktober 2013). Ketika menduduki jabatan hakim konstitusi, mereka belum genap tujuh tahun meninggalkan parpol. Bahkan, Mahfud mengusulkan terbitnya perppu baru supaya bisa menampung keabsahan hakim konstitusi dari jalur parpol tersebut.
Soal kembalinya kewenangan KY yang digugat ke MK, biarlah mengalir sesuai dengan proses hukum uji materi di MK. Sebenarnya kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi itu semula tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY. Namun, MK yang diketuai Jimly Asshiddiqie pada 2006 membatalkan kewenangan KY dalam mengawasi hakim konstitusi.
Sikap MK itu sebenarnya melukai rasa keadilan. Sebab, seolah-olah martabat hakim konstitusi lebih tinggi daripada para hakim dalam naungan Mahkamah Agung. Sebagai langkah lanjutan bila kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi sudah dikembalikan seperti semula, sebagai konsekuensinya, ada kode etik yang perlu dirumuskan kembali. Selama ini profesi hakim mengenal tiga macam kode etik. Yakni, Kode Etik Profesi Hakim (versi IKAHI 2000), Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (versi keputusan bersama ketua MA dan ketua KY 2009), serta Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi (versi MK 2003).
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim merupakan keputusan bersama ketua MA dan ketua KY pada 8 April 2009. Dalam keputusan bersama tersebut (Terminologi B angka 1) terdapat rumusan, hakim adalah hakim agung dan hakim di semua lingkungan badan peradilan yang di bawah Mahkamah Agung, termasuk hakim ad hoc. Serta, (Terminologi 5) terdapat rumusan, lingkungan peradilan adalah badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Bila KY diberi lagi kewenangan mengawasi hakim konstitusi, ketentuan dalam Terminologi B yang dimaksud harus diubah dan dimasukkan unsur hakim konstitusi dan Mahkamah Konstitusi ke dalam rumusan.
Tentu patut diapresiasi kalau hakim konstitusi bebas dari kader parpol seperti substansi Perppu Nomor 1 Tahun 2013. Karena itu, perlu segera ada revisi UU MK agar ketentuan kader parpol menjadi hakim konstitusi dihapus. Dengan demikian, syarat menjadi hakim konstitusi adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat-syarat itu agaknya jauh dari karakteristik kader parpol.
Terjeratnya Akil Mochtar dalam kasus suap menunjukkan bahwa sistem fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon hakim konstitusi di Komisi III DPR tidak berjalan baik. Sebab, terbukti mereka memilih orang yang berkepribadian tercela dan tidak berintegritas. Akil tertangkap tangan kasus suap, padahal pendapatannya ternyata mencapai Rp 200 juta per bulan.
Kini Presiden SBY telah mengambil langkah cepat. Akil diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai ketua MK. Sebab, bila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pemberhentian sementara itu paling lama enam puluh hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama tiga puluh hari kerja. Setelah perpanjangan waktu berakhir dan belum ada putusan pengadilan, yang bersangkutan diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
Sebaiknya perpanjangan waktu dibaikan sehingga enam puluh hari kerja sudah lewat Akil dapat diberhentikan secara tetap. Barangkali langkah itu bisa sedikit meredam kemarahan publik.
Bagaimana dengan kontroversi kader parpol yang sekarang menjadi hakim konstitusi? Sebaiknya mereka mungundurkan diri atas permintaan sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (1) huruf b. Sebab, secara filosofi hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2013, sudah tidak ada pijakan moral yang kuat bagi Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar untuk tetap bercokol di MK. Cara tersebut lebih enak daripada pemerintah harus repot-repot mengeluarkan perppu baru seperti usul Mahfud M.D.
Tapi, siapa yang mau sukarela melepas kekuasaan plus pendapatan sampai Rp 200 juta per bulan sebagai hakim MK? ●
Kontroversi lain juga muncul setelah mantan Ketua MK Mahfud M.D. menilai posisi dua hakim konstitusi dari kader parpol, yakni Hamdan Zoelva (PBB) dan Patrialis Akbar (PAN), bisa terancam (Jawa Pos, 22 Oktober 2013). Ketika menduduki jabatan hakim konstitusi, mereka belum genap tujuh tahun meninggalkan parpol. Bahkan, Mahfud mengusulkan terbitnya perppu baru supaya bisa menampung keabsahan hakim konstitusi dari jalur parpol tersebut.
Soal kembalinya kewenangan KY yang digugat ke MK, biarlah mengalir sesuai dengan proses hukum uji materi di MK. Sebenarnya kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi itu semula tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY. Namun, MK yang diketuai Jimly Asshiddiqie pada 2006 membatalkan kewenangan KY dalam mengawasi hakim konstitusi.
Sikap MK itu sebenarnya melukai rasa keadilan. Sebab, seolah-olah martabat hakim konstitusi lebih tinggi daripada para hakim dalam naungan Mahkamah Agung. Sebagai langkah lanjutan bila kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi sudah dikembalikan seperti semula, sebagai konsekuensinya, ada kode etik yang perlu dirumuskan kembali. Selama ini profesi hakim mengenal tiga macam kode etik. Yakni, Kode Etik Profesi Hakim (versi IKAHI 2000), Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (versi keputusan bersama ketua MA dan ketua KY 2009), serta Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi (versi MK 2003).
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim merupakan keputusan bersama ketua MA dan ketua KY pada 8 April 2009. Dalam keputusan bersama tersebut (Terminologi B angka 1) terdapat rumusan, hakim adalah hakim agung dan hakim di semua lingkungan badan peradilan yang di bawah Mahkamah Agung, termasuk hakim ad hoc. Serta, (Terminologi 5) terdapat rumusan, lingkungan peradilan adalah badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Bila KY diberi lagi kewenangan mengawasi hakim konstitusi, ketentuan dalam Terminologi B yang dimaksud harus diubah dan dimasukkan unsur hakim konstitusi dan Mahkamah Konstitusi ke dalam rumusan.
Tentu patut diapresiasi kalau hakim konstitusi bebas dari kader parpol seperti substansi Perppu Nomor 1 Tahun 2013. Karena itu, perlu segera ada revisi UU MK agar ketentuan kader parpol menjadi hakim konstitusi dihapus. Dengan demikian, syarat menjadi hakim konstitusi adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat-syarat itu agaknya jauh dari karakteristik kader parpol.
Terjeratnya Akil Mochtar dalam kasus suap menunjukkan bahwa sistem fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon hakim konstitusi di Komisi III DPR tidak berjalan baik. Sebab, terbukti mereka memilih orang yang berkepribadian tercela dan tidak berintegritas. Akil tertangkap tangan kasus suap, padahal pendapatannya ternyata mencapai Rp 200 juta per bulan.
Kini Presiden SBY telah mengambil langkah cepat. Akil diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai ketua MK. Sebab, bila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pemberhentian sementara itu paling lama enam puluh hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama tiga puluh hari kerja. Setelah perpanjangan waktu berakhir dan belum ada putusan pengadilan, yang bersangkutan diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
Sebaiknya perpanjangan waktu dibaikan sehingga enam puluh hari kerja sudah lewat Akil dapat diberhentikan secara tetap. Barangkali langkah itu bisa sedikit meredam kemarahan publik.
Bagaimana dengan kontroversi kader parpol yang sekarang menjadi hakim konstitusi? Sebaiknya mereka mungundurkan diri atas permintaan sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (1) huruf b. Sebab, secara filosofi hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2013, sudah tidak ada pijakan moral yang kuat bagi Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar untuk tetap bercokol di MK. Cara tersebut lebih enak daripada pemerintah harus repot-repot mengeluarkan perppu baru seperti usul Mahfud M.D.
Tapi, siapa yang mau sukarela melepas kekuasaan plus pendapatan sampai Rp 200 juta per bulan sebagai hakim MK? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar