Selasa, 08 Oktober 2013

Menggulirkan Regulasi

Menggulirkan Regulasi
Fredy Wansyah  ;  Pegiat Kebon Sirih Wisdom
OKEZONENEWS, 07 Oktober 2013



Pemerintah telah mengorbitkan peraturan kontroversi, PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah bagi produksi mobil ramah lingkungan. Atas dasar ketetapan tersebut, lahirlah apa yang disebut “mobil murah” di pasaran.

Mobil-mobil tersebut dinilai murah karena berada pada kisaran harga Rp100 jutaan ke bawah, yang sesungguhnya murah atau mahal itu relatif. Dalam istilah Ingris, mobil tersebut dikenal Low Cost Green Car (LCGC), merupakan mobil berjenis ramah lingkungan. Proses mesinnya dianggap mampu mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dari proses mesin mobil pada umumnya.

Ada pro dan kontra antara pemerintahan di pusat dan pemerintahan di daerah. Mereka yang kontra menilai, kondisi infrastruktur belum teratasi serta persolan fundamental masyarakat belum teratasi tapi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang berpotensi mengganggu kedua fokus perbaikan tersebut. Diperkirakan, kondisi jalanan akan semakin macet dengan penambahan volumen kendaraan, dan perbaikan komoditas pangan menjadi terabaikan. Sementara mereka yang pro menegaskan, kebijakan “mobil murah” akan mendorong perbaikan dunia otomotif di Indonesia dan meningkatkan pengurangan konsumsi bersubsidi.

Tentu kepadatan volume di jalan raya berdampak pada psikologi sosial. Kemacetan membuat tingkat depresi masyarakat meninggi. Ambang batas penggunaan kendaraan pun berpotensi pada peningkatan kecelakaan. Di satu sisi, memang pola konsumsi kendaraan (pribadi) akan berpengaruh terhadap roda ekonomi Indonesia.
 
Pro dan kontra bukan bermula dari kebijakan “murah murah” semata. Di balik itu, ada sesuatu yang perlu disoroti, yang menjadi latar utama pro dan kontra tersebut.

Pertama, transportasi massal. Masalah transportasi massal di perkotaan merupakan masalah utama. Kenyamanan, keamanan, tarif, hingga ketepatan waktu keberangkatan hingga kini belum teratasi dengan baik. Di titik-titik pemberhentian bus, misalnya, masih sering terjadi pencopetan dan tindak kriminal lainnya. Beberapa perubahaan transportasi umum juga belum memberlakukan pemeriksaan rutin sebelum pemberangkatan bus, sehingga acapkali sering terjadi kecelakaan bus. Tarif sekali perjalanan juga belum mengimbangi biaya perjalanan dengan kendaraan pribadi. Misalnya, dengan pengeluaran satu liter bensin, seseorang telah mampu melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bogor. Paling tidak, tarif transportasi umum dikenai setengah dari prediksi perjalanan dengan kendaraan pribadi. Bila tidak demikian, masyarakat enggan menggunakan jasa transportasi umum. Tentu penggunaan kendaraan pribadi jauh lebih baik jika biaya, keamanan, dan kenyamanan tidak diperhatikan.

Kedua, konsumsi kendaraan pribadi. Barang mewah yang menjadi media penilaian strata sosial ini belum dapat dikendalikan oleh pemerintah. Dalam suatu keluarga memungkinkan memiliki mobil lebih dari dua. Pun memungkinkan memiliki sepeda motor lebih dari tiga. Padahal, bisa saja satu keluarga diangkut oleh sebuah mobil. Namun, cara pikir fungsional itu tidak berlaku bagi masyarakat sebab kepemilikannya mengandung nilai prestise tersendiri. 

Masyarakat memandang bahwa kepemilikan barang mewah tersebut dapat meningkatkan derajat. Akibat tidak adanya pengetatan tersebut, produsen sepeda motor dan mobil senang melihat celah arus industri itu. Bak gayung bersambut, masyarakat pun dengan mudahnya melakukan jual-beli, silih berganti memiliki mobil. Produsen, yang didominasi asing, dan pemain bisnis industri otomotif terus melemparkan komoditas ke Indonesia.

Berdasarkan data versi Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) dan AISI (Asosiasi Sepeda Motor di Indonesia), misalnya, penjualan kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 50.824.128 unit (akhir tahun 2010), dengan perhitungan 23-24 juta unit roda empat. Sementara itu, sisanya roda dua. Berdasarkan data Gaikindo pada (Oktober) 2011, penjualan mobil mencapai 745.699 unit. Setiap tahun penjualan sepeda motor dan mobil di Indonesia terus meningkat, seiring pertambahan jumlah pendudukan dan perputaran ekonomi.

Penambahan lahan perlintasan kendaraan tidak mudah. Artinya, penambahan volume kendaraan tidak sejalan dengan penambahan jalan raya sebagai jalur perlintasan. Ketersediaan lahan ini pula yang patut menjadi pertimbangan laju industri otomotif di Indonesia, selain pertimbangan ketersediaan bahan bakar minyak di Indonesia.

Tiga negara yang patut ditiru dalam hal pengetatan terhadap kepemilikan barang mewah ini, yakni Jepang, Singapura, dan Cina. Ketiga negara tersebut tidak memberi kemudahan. Kepemilikan itu dibatasai berbagai macam cara, ssalah satunya pajak kepemilikan.

Singapura, misalnya, menerapkan kebijakan sistem kuota (vehicle quota system). Kebijakan ini tidak mengizinkan kepemilikan mobil-mobil tua. Kuota kepemilikan mobil baru dibatasi, hanya lima tahun sekali. Selain itu, pemerintah Singapura juga menerapkan ERP (Electronic road pricing). Dengan sistem ERP, masyarakat harus menyiapkan dana untuk perlintasan kendaraannya. Oleh karena itu, masyarakat Singapura tidak mudah berpikir memiliki mobil karena pengetatan dari berbagai lini tersebut.

Hanya regulasi yang dapat membatasi kepemilikan kendaraan pribadi dan transportasi massal. Keduanya harus bersinergi, tidak timpang tindih. Di satu sisi transportasi massal digemari masyarakat, di sisi lain penjualan “mobil murah” tetap berjalan dengan pemberlakuan regulasi.

Ibarat sebuah rel kereta, penegakan regulasi ini merupakan penegakan perlintasan kereta. Dengan regulasi, soal transportasi harus melaju di perlintasan. Seperti apa pun kerasnya pro dan kontra tentang “mobil murah”, regulasi dan transportasi massal adalah jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar