|
SEJUMLAH kriteria kepemimpinan Polri
yang disampaikan masyarakat sering tak selaras dengan Kapolri baru terpilih.
Beberapa kiprah yang dilakukan juga jauh dari harapan. Kondisi tersebut tentu
mengecewakan.
Hal inilah yang membuat masyarakat
pesimistis melihat naiknya Kapolri baru, apalagi jika ia menampilkan diri
seolah mampu menyelesaikan sejumlah masalah yang dihadapi kepolisian. Boleh
saja optimistis, tetapi perlu diingat, kepemimpinan semacam itu mudah
dilaksanakan pada masa dan situasi di mana antara kebaikan dan keburukan dapat
dipahami dan dibedakan. Kini kondisi jauh berbeda, suatu masa yang dapat
dikatakan sebagai kondisi anomali.
Masih lekat di ingatan, Jenderal
(Pol) Timur Pradopo sewaktu mengikuti uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon
kapolri di Komisi III DPR, 14 Oktober 2010, menjanjikan 10 program prioritas.
Pertama, pengungkapan dan penyelesaian kasus- kasus menonjol. Kedua,
meningkatkan pemberantasan preman, kejahatan jalanan, perjudian,
narkoba, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, human
trafficking, dan korupsi. Ketiga, penguatan kemampuan Densus 88 Antiteror
melalui peningkatan kerja sama dengan satuan antiteror TNI dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme. Keempat, pembenahan kinerja reserse dengan program
”keroyok reserse” melalui peningkatan kompetensi penyidik.
Program kelima, implementasi
struktur baru dalam organisasi Polri. Keenam, membangun kerja sama melalui
sinergi polisional yang proaktif. Ketujuh, memacu perubahan pola pikir dan
kultur Polri. Kedelapan, menggelar sentra pelayanan kepolisian di sejumlah
sentra kegiatan publik. Kesembilan, mengembangkan layanan pengadaan sistem
elektronik. Kesepuluh, membangun dan mengembangkan sistem informasi terpadu dan
pengamanan Pemilu 2014.
Setelah tiga tahun dan akan
mengakhiri jabatannya, 10 program itu sulit dikatakan tercapai. Kondisi
kamtibmas belum menunjukkan suasana kondusif, justru muncul peristiwa sangat
dramatis: empat polisi ditembak orang tak dikenal dan hingga kini belum
tertangkap pelakunya. Demikian pula terungkapnya kasus korupsi yang fantastis
di Korlantas Polri dan juga seorang bintara polisi dalam tugasnya mampu
mengumpulkan kekayaan hingga triliunan rupiah. Pertanyaannya: adakah
masalah-masalah itu berkaitan dengan kepemimpinan?
Hal ini dapat dijelaskan melalui suatu
premis yang menyatakan, ”manusia dalam memasuki eksistensinya lewat jalan
persekutuan dengan manusia- manusia lain membutuhkan berbagai rasa, seperti
rasa cinta, rasa hormat, rasa bangga, rasa kagum, rasa percaya yang tidak
dibuat- buat kepada seseorang” (Dyah Padmini, 1996). Begitu pula kehidupan
manusia dalam organisasi membutuhkan seseorang yang akrab, yang lekat dengan
emosi, yang bertanggung jawab, dan yang bisa membangkitkan semangat para
pengikutnya untuk bersama-sama memperbaiki kehidupan dalam organisasi. Itulah
”dia” sang pemimpin.
Kualitas prima
Dengan dasar pemikiran tersebut,
diperlukan seorang kapolri yang memiliki kualitas moral, dedikasi, dan kualitas
intelektual yang prima. Mengapa demikian? Nitibaskara (2001) mengatakan,
profesi polisi itu mulia sebagaimana profesi terhormat yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Tindakannya sangat dibutuhkan untuk melindungi
masyarakat dari berbagai macam kejahatan, memelihara ketertiban, dan membimbing
masyarakat agar taat hukum. Namun, profesi semulia apa pun jika dikotori para
pelakunya, apalagi pimpinannya, hal itu akan menurunkan derajat kemuliaan
profesi yang bersangkutan dan orang-orang yang berada di dalamnya.
Di titik ini, Sutarman—satu-satunya
calon kapolri yang diajukan Presiden kepada DPR—akan menghadapi ujian dengan
berbagai masalah yang dilematis, baik yang belum diselesaikan maupun yang
terabaikan, berpacu dengan munculnya masalah-masalah baru. Konflik disertai
tindakan anarki akan tetap menjadi tontonan keseharian. Kejahatan jalanan terus
meningkat, perjudian, penipuan, perampokan bersenjata, aksi teror, narkotika,
dan korupsi yang hal itu jelas akan merusak kapasitas pemimpin. Belum lagi
menghadapi masalah dalam organisasi dan penyesuaian diri dengan dinamika
politik keamanan yang terjadi.
Kapolri baru akan menghadapi
masalah yang tak lagi bersifat teknis, tetapi masalah yang kompleks, rumit, dan
pelik. Di luar tugasnya juga, dia akan menghadapi sejumlah masalah terkait
dengan laju pertumbuhan penduduk, sempitnya lapangan kerja, tingginya
pengangguran, persaingan dalam dunia usaha yang belum sehat, kemiskinan, dan
dekadensi moral. Hal itu dapat memicu sclerosis leadership, perasaan
waswas dan ragu atas apa yang sedang dijalankan.
Biasanya seorang pemimpin lalu
mengambil kebijakan yang populis. Operasi minuman keras, operasi preman,
operasi perjudian, razia kendaraan bermotor, atau tindakan melalui media untuk
mengoles citranya. Tindakan itu jelas tidak menyentuh akar masalah.
Problem-problem masa kini memang
sangat membingungkan, dan hal itu dapat menyeret pemimpin polisi ke jurang
keputusasaan. Namun, sebaliknya, dapat pula menuntut dilakukannya suatu
perubahan. Dari berbagai masalah kepolisian yang sangat kompleks, sebenarnya
hal yang paling mendasar adalah merestrukturisasi kepolisian dalam sistem
ketatanegaraan RI.
Pemimpin ideal
Kini, tinggal menunggu hitungan
hari bagi Komisaris Jenderal Sutarman untuk menjalani uji kepatutan dan
kelayakan di DPR. Pencalonan dari beberapa anggota DPR, pimpinan Kompolnas, dan
pengamat kepolisian mengatakan, usulan Presiden sudah tepat. Bahkan, ada yang
memuji Sutarman sebagai the right man on the right place meski ada
juga yang menilai kurang.
Dari sana, ada sesuatu yang
tersirat: masyarakat rindu seorang pemimpin polisi ideal. Mungkin seperti RS Soekanto
ataupun Hoegeng yang menjadi idola masyarakat ataupun polisi. Dan, mampukah
Sutarman menunjukkan karakter sebagai kapolri yang berjiwa besar, berhati
mulia, hidup sederhana, dan gemar prihatin? Anggota Komisi III DPR tentu
memahami hal itu dan sangat diharapkan akan menggali seperti peringatan yang
dilontarkan Pramoedya Ananta Toer, ”Bagaimana pemimpinnya begitulah suatu
bangsa, dan bangsa ini melahirkan terlalu banyak pembesar kurang pemimpin.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar