Senin, 14 Oktober 2013

Merindukan Kapolri yang Berkarakter

Merindukan Kapolri yang Berkarakter
Bambang Widodo Umar  Guru Besar Sosiologi Hukum,
Pengajar Dep Kriminologi FISIP UI; Pengamat Kepolisian
KOMPAS, 14 Oktober 2013


SEJUMLAH kriteria kepemimpinan Polri yang disampaikan masyarakat sering tak selaras dengan Kapolri baru terpilih. Beberapa kiprah yang dilakukan juga jauh dari harapan. Kondisi tersebut tentu mengecewakan.

Hal inilah yang membuat masyarakat pesimistis melihat naiknya Kapolri baru, apalagi jika ia menampilkan diri seolah mampu menyelesaikan sejumlah masalah yang dihadapi kepolisian. Boleh saja optimistis, tetapi perlu diingat, kepemimpinan semacam itu mudah dilaksanakan pada masa dan situasi di mana antara kebaikan dan keburukan dapat dipahami dan dibedakan. Kini kondisi jauh berbeda, suatu masa yang dapat dikatakan sebagai kondisi anomali.

Masih lekat di ingatan, Jenderal (Pol) Timur Pradopo sewaktu mengikuti uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon kapolri di Komisi III DPR, 14 Oktober 2010, menjanjikan 10 program prioritas. Pertama, pengungkapan dan penyelesaian kasus- kasus menonjol. Kedua, meningkatkan pemberantasan preman, kejahatan jalanan, perjudian, narkoba, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, human trafficking, dan korupsi. Ketiga, penguatan kemampuan Densus 88 Antiteror melalui peningkatan kerja sama dengan satuan antiteror TNI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Keempat, pembenahan kinerja reserse dengan program ”keroyok reserse” melalui peningkatan kompetensi penyidik.

Program kelima, implementasi struktur baru dalam organisasi Polri. Keenam, membangun kerja sama melalui sinergi polisional yang proaktif. Ketujuh, memacu perubahan pola pikir dan kultur Polri. Kedelapan, menggelar sentra pelayanan kepolisian di sejumlah sentra kegiatan publik. Kesembilan, mengembangkan layanan pengadaan sistem elektronik. Kesepuluh, membangun dan mengembangkan sistem informasi terpadu dan pengamanan Pemilu 2014.

Setelah tiga tahun dan akan mengakhiri jabatannya, 10 program itu sulit dikatakan tercapai. Kondisi kamtibmas belum menunjukkan suasana kondusif, justru muncul peristiwa sangat dramatis: empat polisi ditembak orang tak dikenal dan hingga kini belum tertangkap pelakunya. Demikian pula terungkapnya kasus korupsi yang fantastis di Korlantas Polri dan juga seorang bintara polisi dalam tugasnya mampu mengumpulkan kekayaan hingga triliunan rupiah. Pertanyaannya: adakah masalah-masalah itu berkaitan dengan kepemimpinan?

Hal ini dapat dijelaskan melalui suatu premis yang menyatakan, ”manusia dalam memasuki eksistensinya lewat jalan persekutuan dengan manusia- manusia lain membutuhkan berbagai rasa, seperti rasa cinta, rasa hormat, rasa bangga, rasa kagum, rasa percaya yang tidak dibuat- buat kepada seseorang” (Dyah Padmini, 1996). Begitu pula kehidupan manusia dalam organisasi membutuhkan seseorang yang akrab, yang lekat dengan emosi, yang bertanggung jawab, dan yang bisa membangkitkan semangat para pengikutnya untuk bersama-sama memperbaiki kehidupan dalam organisasi. Itulah ”dia” sang pemimpin.

Kualitas prima                      

Dengan dasar pemikiran tersebut, diperlukan seorang kapolri yang memiliki kualitas moral, dedikasi, dan kualitas intelektual yang prima. Mengapa demikian? Nitibaskara (2001) mengatakan, profesi polisi itu mulia sebagaimana profesi terhormat yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tindakannya sangat dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari berbagai macam kejahatan, memelihara ketertiban, dan membimbing masyarakat agar taat hukum. Namun, profesi semulia apa pun jika dikotori para pelakunya, apalagi pimpinannya, hal itu akan menurunkan derajat kemuliaan profesi yang bersangkutan dan orang-orang yang berada di dalamnya.

Di titik ini, Sutarman—satu-satunya calon kapolri yang diajukan Presiden kepada DPR—akan menghadapi ujian dengan berbagai masalah yang dilematis, baik yang belum diselesaikan maupun yang terabaikan, berpacu dengan munculnya masalah-masalah baru. Konflik disertai tindakan anarki akan tetap menjadi tontonan keseharian. Kejahatan jalanan terus meningkat, perjudian, penipuan, perampokan bersenjata, aksi teror, narkotika, dan korupsi yang hal itu jelas akan merusak kapasitas pemimpin. Belum lagi menghadapi masalah dalam organisasi dan penyesuaian diri dengan dinamika politik keamanan yang terjadi.

Kapolri baru akan menghadapi masalah yang tak lagi bersifat teknis, tetapi masalah yang kompleks, rumit, dan pelik. Di luar tugasnya juga, dia akan menghadapi sejumlah masalah terkait dengan laju pertumbuhan penduduk, sempitnya lapangan kerja, tingginya pengangguran, persaingan dalam dunia usaha yang belum sehat, kemiskinan, dan dekadensi moral. Hal itu dapat memicu sclerosis leadership, perasaan waswas dan ragu atas apa yang sedang dijalankan.

Biasanya seorang pemimpin lalu mengambil kebijakan yang populis. Operasi minuman keras, operasi preman, operasi perjudian, razia kendaraan bermotor, atau tindakan melalui media untuk mengoles citranya. Tindakan itu jelas tidak menyentuh akar masalah.

Problem-problem masa kini memang sangat membingungkan, dan hal itu dapat menyeret pemimpin polisi ke jurang keputusasaan. Namun, sebaliknya, dapat pula menuntut dilakukannya suatu perubahan. Dari berbagai masalah kepolisian yang sangat kompleks, sebenarnya hal yang paling mendasar adalah merestrukturisasi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan RI.

Pemimpin ideal

Kini, tinggal menunggu hitungan hari bagi Komisaris Jenderal Sutarman untuk menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Pencalonan dari beberapa anggota DPR, pimpinan Kompolnas, dan pengamat kepolisian mengatakan, usulan Presiden sudah tepat. Bahkan, ada yang memuji Sutarman sebagai the right man on the right place meski ada juga yang menilai kurang.


Dari sana, ada sesuatu yang tersirat: masyarakat rindu seorang pemimpin polisi ideal. Mungkin seperti RS Soekanto ataupun Hoegeng yang menjadi idola masyarakat ataupun polisi. Dan, mampukah Sutarman menunjukkan karakter sebagai kapolri yang berjiwa besar, berhati mulia, hidup sederhana, dan gemar prihatin? Anggota Komisi III DPR tentu memahami hal itu dan sangat diharapkan akan menggali seperti peringatan yang dilontarkan Pramoedya Ananta Toer, ”Bagaimana pemimpinnya begitulah suatu bangsa, dan bangsa ini melahirkan terlalu banyak pembesar kurang pemimpin.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar