Selasa, 15 Oktober 2013

Berkurban untuk Peduli

Berkurban untuk Peduli
Fathorrahman  Dosen Sosiologi pada Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
KOMPAS, 14 Oktober 2013


DALAM tulisan ”Kulihat Ibu Pertiwi” yang dimuat di Kompas (24/9/2013), Sindhunata menguraikan dengan miris dampak egoisme yang menggerus nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan di tengah kehidupan yang mulai dahaga sistem kepedulian (caring system).

Nihilnya semangat kepedulian dalam kehidupan masyarakat semakin mengukuhkan hukum darwinisme bahwa yang kuat memperdayai yang lemah atau ungkapan Thomas Hobes yang lebih satir bahwa manusia satu memangsa manusia yang lain. Tandanya adalah keserakahan akan kekuasaan dan materi.
Tulisan tersebut patut diapresiasi sebagai bahan renungan hari Idul Adha. Setidaknya, dalam tulisan yang banyak mempersonifikasikan figur Mbok Turah dapat menginspirasi, terutama untuk memahami makna berkorban sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim.

Nabi Ibrahim berkorban sebagai upaya menundukkan egoisme material. Kekayaannya digunakan untuk berbagi kepada sesama melalui penyembelihan ribuan hewan. Bahkan, perintah untuk mengurbankan anak semata wayangnya, Ismail, tidak mematahkan semangat Nabi Ibrahim untuk melumatkan egoisme dirinya.

Komitmen sosial dan kepasrahan Nabi Ibrahim tercatat sebagai simbol pengorbanan dan dinisbatkan sebagai penanda hari raya Idul Kurban yang menyerukan umat Islam untuk menyembelih hewan kurban.

Seruan ini menyiratkan pesan moral kepedulian untuk saling berbagi dan sekaligus menundukkan sikap egoistik yang disadari atau tidak menjadi sumber pemicu keserakahan akan materi, prestasi, prestise, yang kian menjadi ketakutan neurotis—meminjam istilah Sindhunata—di masyarakat.

Egoisme yang menjatuhkan

Akar kemunculan egoisme adalah kesetiaan seseorang terhadap pragmatisme. Adanya kecenderungan berbuat efisien, instan, dan melampaui proses-proses yang berlaku menggiring orang pada upaya mementingkan diri sendiri (individualisme).

Cara ini, menurut Anthony Gidden, dalam buku The Third Way, memperbesar ruang gerak seseorang untuk bertindak ”aku lebih dulu”. Hal ini menghancurkan nilai-nilai umum dan kepedulian terhadap publik. Implikasinya, masing-masing orang terlibat dalam kondisi upaya menjatuhkan (al isqot) untuk memperoleh kepentingan yang diinginkan.

Dalam teori psiko analisis, al isqot menjadi sebuah proyeksi menggunakan kesempatan dalam kesempitan melalui media kompetisi yang seolah-olah mempersilakan orang untuk terlibat dalam dunianya, tetapi sesungguhnya ada agenda tersembunyi (hidden agenda) untuk meruntuhkan pihak lain agar tidak setara dengan dirinya.

Hal itu karena sifat egoisme yang tumbuh dalam diri seseorang, tidak rela melihat orang lain lebih sukses dari dirinya. Adagium ”aku lebih dulu” menjadi sebuah strategi untuk melumatkan yang lain yang dianggap ancaman dan dapat merugikan dirinya. Terjadilah sikap saling sikut dengan cara-cara yang overdosis.

Padahal, pendekatan pragmatis semacam ini dapat menghancurkan diri. Karena, sejatinya setiap orang tidak mau diperlakukan sebagai korban untuk memenuhi kepuasan nafsu yang lain. Maka, al isqot yang menjadi medium menjatuhkan dapat berbalik arah kepada dirinya yang memungkinkan kejatuhan pada kubang yang lebih nista.

Realitas semacam ini tergambar jelas dalam kehidupan saat ini. Di mana setiap orang berlomba-lomba untuk memenuhi hasrat kekuasaan, penumpukan materi, pemuasan konsumerisme, dan gaya hedonisme.

Bahkan, kesuksesan seseorang dilihat dari seberapa tinggi jabatannya, seberapa banyak daftar kekayaannya, dan seberapa besar akses jaringannya. Tidak terlalu penting apakah modalitas material yang dimiliki bisa bermanfaat bagi yang lain.

Pada titik ini, sebenarnya masyarakat mulai rentan sosial dan sangat berisiko. Puncaknya adalah kulminasi kejahatan yang bergerak masif.

Setiap orang yang merasa lapar perlu bertindak kasar untuk kenyang. Wajar bila ancaman keamanan selalu melingkupi kehidupan masyarakat. Rasa cemas dan takut menjadi penanda barbarian yang diabsahkan oleh keadaan. Semua ”mengatasnamakan keadilan” untuk tindakan jahatnya.
Adakah celah cerah untuk keluar? Kata kuncinya adalah sistem kepedulian.

Kepedulian sosial

Semangat berkorban Nabi Ibrahim dalam rangka menumbuhkan kepedulian sosial kepada manusia dan makhluk lainnya serta kepedulian personal kepada perintah Tuhan.

Secara sosiologis, kepedulian meneguhkan adanya hubungan simbiosis mutualis yang bersifat intersubyektif. Ia menggerakkan emosi setiap orang untuk meluangkan sisi keberadaannya kepada yang lain dan memberikan sebagian kepemilikannya untuk berbagi kesejahteraan.

Dengan sistem kepedulian, setiap orang dilatih bertanggung jawab terhadap segala tindak tanduknya sekaligus memahami bahwa setiap perilaku yang menyimpang ada risikonya. Maka, bila ada indikasi seseorang akan terlibat dalam deviasi sosial, yang lain akan menyerukan untuk menghindar.

Bila ada kecenderungan seseorang bermalas-malasan, yang lain mengingatkan untuk segera bangkit. Bila ada selentingan seseorang melakukan kejahatan korupsi, yang lain segera menyadarkan untuk menghentikan.

Demikian seterusnya sikap saling peduli antarsesama ini ditumbuhkan. Dalam sistem kepedulian, satu dengan yang lain merasa saling memiliki dan mengorbankan egosentrisnya demi memberikan manfaat yang sebaik-baiknya.

Secara metaforis, hewan yang disembelih pada Idul Kurban mengajak kita melepaskan diri dari sifat ”kebinatangan”: simbol ketidakberadaban yang bisa membunuh sistem kepedulian. Jadi, secara esensial, berkorban saat Idul Adha adalah momentum untuk menumbuhkan kepedulian.


Dengan demikian, berbagai persoalan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kejahatan, dan lainnya bisa diatasi secara kolektif dan saling bahu-membahu. Pada titik ini, setiap orang saling memberikan nasihat untuk berbuat baik (tawashaw bil haq) dan rela mengendalikan diri dengan kesabaran (tawashaw bil shabri). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar