|
DALAM
tulisan ”Kulihat Ibu Pertiwi” yang
dimuat di Kompas (24/9/2013), Sindhunata menguraikan dengan miris dampak
egoisme yang menggerus nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan di tengah kehidupan
yang mulai dahaga sistem kepedulian (caring
system).
Nihilnya
semangat kepedulian dalam kehidupan masyarakat semakin mengukuhkan hukum
darwinisme bahwa yang kuat memperdayai yang lemah atau ungkapan Thomas Hobes
yang lebih satir bahwa manusia satu memangsa manusia yang lain. Tandanya adalah
keserakahan akan kekuasaan dan materi.
Tulisan
tersebut patut diapresiasi sebagai bahan renungan hari Idul Adha. Setidaknya,
dalam tulisan yang banyak mempersonifikasikan figur Mbok Turah dapat
menginspirasi, terutama untuk memahami makna berkorban sebagaimana ditunjukkan
Nabi Ibrahim.
Nabi
Ibrahim berkorban sebagai upaya menundukkan egoisme material. Kekayaannya
digunakan untuk berbagi kepada sesama melalui penyembelihan ribuan hewan.
Bahkan, perintah untuk mengurbankan anak semata wayangnya, Ismail, tidak
mematahkan semangat Nabi Ibrahim untuk melumatkan egoisme dirinya.
Komitmen
sosial dan kepasrahan Nabi Ibrahim tercatat sebagai simbol pengorbanan dan
dinisbatkan sebagai penanda hari raya Idul Kurban yang menyerukan umat Islam
untuk menyembelih hewan kurban.
Seruan
ini menyiratkan pesan moral kepedulian untuk saling berbagi dan sekaligus
menundukkan sikap egoistik yang disadari atau tidak menjadi sumber pemicu
keserakahan akan materi, prestasi, prestise, yang kian menjadi ketakutan
neurotis—meminjam istilah Sindhunata—di masyarakat.
Egoisme
yang menjatuhkan
Akar
kemunculan egoisme adalah kesetiaan seseorang terhadap pragmatisme. Adanya
kecenderungan berbuat efisien, instan, dan melampaui proses-proses yang berlaku
menggiring orang pada upaya mementingkan diri sendiri (individualisme).
Cara
ini, menurut Anthony Gidden, dalam buku The Third Way, memperbesar ruang gerak seseorang untuk
bertindak ”aku lebih dulu”. Hal ini menghancurkan nilai-nilai umum dan
kepedulian terhadap publik. Implikasinya, masing-masing orang terlibat dalam
kondisi upaya menjatuhkan (al isqot)
untuk memperoleh kepentingan yang diinginkan.
Dalam
teori psiko analisis, al isqot menjadi
sebuah proyeksi menggunakan kesempatan dalam kesempitan melalui media kompetisi
yang seolah-olah mempersilakan orang untuk terlibat dalam dunianya, tetapi
sesungguhnya ada agenda tersembunyi (hidden
agenda) untuk meruntuhkan pihak lain agar tidak setara dengan dirinya.
Hal
itu karena sifat egoisme yang tumbuh dalam diri seseorang, tidak rela melihat
orang lain lebih sukses dari dirinya. Adagium ”aku lebih dulu” menjadi sebuah
strategi untuk melumatkan yang lain yang dianggap ancaman dan dapat merugikan
dirinya. Terjadilah sikap saling sikut dengan cara-cara yang overdosis.
Padahal,
pendekatan pragmatis semacam ini dapat menghancurkan diri. Karena, sejatinya
setiap orang tidak mau diperlakukan sebagai korban untuk memenuhi kepuasan
nafsu yang lain. Maka, al isqot yang
menjadi medium menjatuhkan dapat berbalik arah kepada dirinya yang memungkinkan
kejatuhan pada kubang yang lebih nista.
Realitas
semacam ini tergambar jelas dalam kehidupan saat ini. Di mana setiap orang
berlomba-lomba untuk memenuhi hasrat kekuasaan, penumpukan materi, pemuasan
konsumerisme, dan gaya hedonisme.
Bahkan,
kesuksesan seseorang dilihat dari seberapa tinggi jabatannya, seberapa banyak
daftar kekayaannya, dan seberapa besar akses jaringannya. Tidak terlalu penting
apakah modalitas material yang dimiliki bisa bermanfaat bagi yang lain.
Pada
titik ini, sebenarnya masyarakat mulai rentan sosial dan sangat berisiko.
Puncaknya adalah kulminasi kejahatan yang bergerak masif.
Setiap
orang yang merasa lapar perlu bertindak kasar untuk kenyang. Wajar bila ancaman
keamanan selalu melingkupi kehidupan masyarakat. Rasa cemas dan takut menjadi
penanda barbarian yang diabsahkan oleh keadaan. Semua ”mengatasnamakan
keadilan” untuk tindakan jahatnya.
Adakah
celah cerah untuk keluar? Kata kuncinya adalah sistem kepedulian.
Kepedulian
sosial
Semangat
berkorban Nabi Ibrahim dalam rangka menumbuhkan kepedulian sosial kepada
manusia dan makhluk lainnya serta kepedulian personal kepada perintah Tuhan.
Secara
sosiologis, kepedulian meneguhkan adanya hubungan simbiosis mutualis yang
bersifat intersubyektif. Ia menggerakkan emosi setiap orang untuk meluangkan
sisi keberadaannya kepada yang lain dan memberikan sebagian kepemilikannya
untuk berbagi kesejahteraan.
Dengan
sistem kepedulian, setiap orang dilatih bertanggung jawab terhadap segala
tindak tanduknya sekaligus memahami bahwa setiap perilaku yang menyimpang ada
risikonya. Maka, bila ada indikasi seseorang akan terlibat dalam deviasi
sosial, yang lain akan menyerukan untuk menghindar.
Bila
ada kecenderungan seseorang bermalas-malasan, yang lain mengingatkan untuk
segera bangkit. Bila ada selentingan seseorang melakukan kejahatan korupsi,
yang lain segera menyadarkan untuk menghentikan.
Demikian
seterusnya sikap saling peduli antarsesama ini ditumbuhkan. Dalam sistem
kepedulian, satu dengan yang lain merasa saling memiliki dan mengorbankan
egosentrisnya demi memberikan manfaat yang sebaik-baiknya.
Secara
metaforis, hewan yang disembelih pada Idul Kurban mengajak kita melepaskan diri
dari sifat ”kebinatangan”: simbol ketidakberadaban yang bisa membunuh sistem
kepedulian. Jadi, secara esensial, berkorban saat Idul Adha adalah momentum
untuk menumbuhkan kepedulian.
Dengan
demikian, berbagai persoalan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kejahatan,
dan lainnya bisa diatasi secara kolektif dan saling bahu-membahu. Pada titik
ini, setiap orang saling memberikan nasihat untuk berbuat baik (tawashaw bil haq) dan rela mengendalikan
diri dengan kesabaran (tawashaw bil
shabri). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar