|
OPERASI tangkap tangan terhadap Ketua nonaktif Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang kemudian menyeret dinasti politik Banten Ratu
Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana mengingatkan saya pada sebuah film
berjudul Max Havelaar. Film itu diangkat dari roman dengan judul yang sama yang
ditulis oleh Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, ketika penulis
ditugaskan sebagai asisten residen di Lebak pada masa penjajahan Belanda. Max
Havelaar adalah sosok protagonis yang melawan ketamakan dan penindasan Bupati Lebak
Karta Natanagara yang didukung oleh Residen Banten Brest van Kempen.
Kasus Tubagus Wardana yang merupakan operator politik
sekaligus adik Atut dan novel Max Havelaar dipertautkan oleh setting yang sama:
Lebak. Tubagus dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyuap
Akil agar memenangkan gugatan calon Bupati Lebak Amir Hamzah di MK. Amir adalah
proksi dinasti Atut di Lebak agar desain kekuasaan Atut makin sempurna di
Banten. Kesamaan lainnya, Havelaar dan rakyat Lebak juga menghadapi kesewenang-wenangan
dan korupsi dinasti Bupati Lebak yang didukung para demang dan jawara dan rezim
kolonialisme Belanda. Rakyat Lebak harus melayani kebutuhan bupati dan keluarga
besarnya termasuk dipaksa mengorbankan apa pun yang mereka punya untuk menyambut
kedatangan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya.
Dinasti
predatoris
Sudah 157 tahun peristiwa itu berlalu sejak Douwes Dekker
datang ke Lebak pada akhir Januari 1856. Namun, Lebak masa kini dan Banten pada
umumnya masih menyimpan warisan masa lalu yang sama: korupsi dan dinasti. Dulu
Bupati Lebak disokong oleh Raden Wirakusuma, Demang Parungkujang sekaligus
menantunya, yang berperan sebagai operator politik pengisap rakyat. Tak jauh
beda dengan profil dinasti sekarang yang memiliki eksekutor politik yang diambil
dari keluarganya. Perbedaannya, pada masa Havelaar, idealisme kalah oleh culas.
Adapun sekarang, kita masih belum tahu ujung dari nasib
dinasti politik predatoris di Banten.
Perbedaan mendasar lainnya ialah sumber legitimasi
kekuasaan yang berbeda. Dinasti politik sekarang bermain di atas arena
demokrasi, sementara dahulu murni bergantung pada status ningrat dan
kebangsawanan. Hal itu membuktikan bahwa dinasti mampu bertarung dalam cuaca
politik apa pun. Dinasti bisa hidup di sistem otoriter maupun demokrasi. Memang
banyak dinasti politik kita di daerah yang memanfaatkan pemilu kada agar
berkuasa, seperti yang terjadi juga di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Namun, aktor dinasti politik akan tetap bermain dalam
sistem politik apa pun karena lem perekat mereka ialah akses terhadap sumber
daya negara.
Kalau sistem pemilu kada dihapus, bukan jaminan dinasti politik akan hilang.
Justru praktik dinasti makin menggurita karena untuk memenangi jabatan publik, para aktor dinasti cukup menguasai elite terba tas di DPRD. Lapang an permainan justru dikuasai segelintir elite dan rakyat tak punya kuasa un tuk menentukan pemimpinnya.
Justru praktik dinasti makin menggurita karena untuk memenangi jabatan publik, para aktor dinasti cukup menguasai elite terba tas di DPRD. Lapang an permainan justru dikuasai segelintir elite dan rakyat tak punya kuasa un tuk menentukan pemimpinnya.
Jadi salah bila ada yang mengatakan Ratu Atut tidak bisa
disebut dinasti politik semata-mata karena dia dan keluarga besarnya dipilih
berdasarkan proses demokrasi. Pablo Querubin (2011: 2) dari Harvard Academy for International and Area
Studies mendefinisikan dinasti politik sebagai `a particular form of elite persistence in which a single orfew family
groups monopolize political power' (sebentuk penguasaan elite yang lama
ketika sebuah atau beberapa keluarga memonopoli kekuasaan politik). Dia justru
mengaitkan dinasti politik di Filipina dalam bingkai demokrasi, dan karena itu
dia mengkritisi kebijakan pembatasan jabatan yang masih punya celah untuk
dimanfaatkan dinasti politik agar tetap berkuasa.
Querubin juga mengaitkan keberlangsungan dinasti politik di
Filipina karena efek petahana. Banyak incumbent
yang melakukan segala cara agar dirinya atau keluarganya terpilih dalam proses
demokrasi, entah melalui praktik money
politics secara telan jang maupun dengan memanfaatkan dana negara (pork barrel, patronase, dan kebijakan
programatik) untuk mengelabui rakyat. Dalam kasus Banten, Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan kenaikan fantastis
dana hibah dan bansos menjelang pemilihan gubernur 2011. Pada 2009, total dana
hibah dan bansos dianggarkan sebesar Rp74 miliar. Tapi pada 2010, anggaran
hibah dan bansos melonjak hingga empat kali lipatnya, Rp290,7 miliar.
Peningkatan cukup tajam juga terlihat pada anggaran 2011,
ketika hibah dan bansos dianggarkan nyaris menyentuh angka Rp400 miliar dengan
tujuan jelas untuk memenangkan Atut kembali sebagai gubernur.
Selain itu, dalam literatur ilmu politik, dinasti selalu
dikaitkan dengan hukum besi oligarki dan distribusi ekonomi-politik yang
timpang (Dal Bo', Dal Bo' & Snyder,
2009).
Filipina merupakan contoh klasik dinasti politik yang berurat
akar. Studi Dante Simbulan (2007) terhadap elite poli tik di Filipina pada 1946
hingga 1963 menemukan dari 169 keluarga berpe ngaruh, lahirlah 584 pejabat
publik, termasuk 7 presiden, 2 wakil presiden, 42 senator, dan 147 anggota DPR.
Ahli Filipina, Paul Hutch croft (1998), membuktikan bahwa dinasti politik telah
meningkatkan praktik rent-seeking dan
state capture dengan memberikan
mengalokasikan sumber daya negara hanya bagi mereka yang dekat dengan kekuasaan
dinasti.
Dalam kasus di Indonesia, temuan ICW menunjukkan sedikitnya
175 proyek pengadaan barang/jasa di Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah
Provinsi Banten dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan
Atut, dengan total nilai kontrak Rp1,148 triliun.
Personalisasi
politik
Secara politik, dinasti juga memakan ongkos yang mahal. Hedman
dan Sidel, dalam buku Philippine Politics
and Society in the Twentieth Century (2000), menuding praktik dinasti
sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi
politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan
keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, tetapi
didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa.
Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukkan
oleh hubungan darah dan hubungan keluarga.
Dinastokrasi juga tidak menawarkan insentif jenjang karier
politik yang jelas bagi kalangan luar yang berintegritas dan punya kapasitas
agar sudi aktif di dalam partai.
Tentu ada sisi positif dinasti yang juga layak diapresiasi.
Di India, Filipina, dan Amerika Serikat, dinasti politik bisa juga dianggap
proses mentorship ketika tokoh politik akan menularkan pengalaman dan `proses
pembelajaran' secara langsung kepada anggota keluarganya. Dinasti politik per
definisi juga tak bisa disalahkan karena tak ada dalam pasal konstitusi kita
yang dilanggar. Konstitusi tegas menyatakan bahwa setiap warga negara punya hak
memilih dan dipilih. Karena itu, pembahasan di DPR terkait UU untuk membatasi
dinasti politik harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menabrak
rambu-rambu konstitusi.
Intinya, ada dua level reformasi yang harus dilakukan untuk
mencegah dinasti politik predatoris. Pertama, reformasi dari sisi supply-side, partai politik sebagai
produsen pejabat publik harus bertindak adil dalam mencalonkan pejabat publik.
Partai tak boleh sekadar melirik faktor popularitas dan sumber daya finansial
calon, tapi juga mengedepankan calon-calon yang punya integritas dan kapasitas.
Justru mesin partai akan lebih maksimal dimanfaatkan daripada bergantung pada
dinasti politik yang sudah mengandalkan faktor personal dan mesin uang.
Aturan pembatasan dana kampanye juga harus ditegakkan agar
tercipta playing field yang adil antara calon yang kantongnya cekak dan calon
dari dinasti yang biasanya berkelimpahan dana. Akses dinasti untuk
melanggengkan kekuasaannya dengan caracara yang tak terpuji juga harus ditutup
rapat-rapat.
Kedua, reformasi dari sisi demand-side. Pemilih harus mendapatkan pendidikan politik dari
kalangan civil society dan media agar
bisa memilih dengan didasarkan kualitas pilihan yang baik, bukan semata-mata
popularitas dan uang. Prinsip reward and
punishment harus dilakukan pemilih. Kalau memang ada petahana dari kalangan
dinasti yang berhasil, sudah selayaknya dia dipilih kembali. Namun, jika
terbukti gagal total membenahi masalah kemiskinan, angka pengangguran,
pendidikan, dan lain-lain, siapa pun dia harus dihukum dengan cara tidak dipilih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar