Selasa, 15 Oktober 2013

Politik, Korupsi, dan Demokrasi Dinasti

Politik, Korupsi, dan Demokrasi Dinasti
Burhanuddin Muhtadi  Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan Kandidat PhD Australian National University (ANU)
MEDIA INDONESIA, 14 Oktober 2013


OPERASI tangkap tangan terhadap Ketua nonaktif Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang kemudian menyeret dinasti politik Banten Ratu Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Max Havelaar. Film itu diangkat dari roman dengan judul yang sama yang ditulis oleh Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, ketika penulis ditugaskan sebagai asisten residen di Lebak pada masa penjajahan Belanda. Max Havelaar adalah sosok protagonis yang melawan ketamakan dan penindasan Bupati Lebak Karta Natanagara yang didukung oleh Residen Banten Brest van Kempen.

Kasus Tubagus Wardana yang merupakan operator politik sekaligus adik Atut dan novel Max Havelaar dipertautkan oleh setting yang sama: Lebak. Tubagus dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyuap Akil agar memenangkan gugatan calon Bupati Lebak Amir Hamzah di MK. Amir adalah proksi dinasti Atut di Lebak agar desain kekuasaan Atut makin sempurna di Banten. Kesamaan lainnya, Havelaar dan rakyat Lebak juga menghadapi kesewenang-wenangan dan korupsi dinasti Bupati Lebak yang didukung para demang dan jawara dan rezim kolonialisme Belanda. Rakyat Lebak harus melayani kebutuhan bupati dan keluarga besarnya termasuk dipaksa mengorbankan apa pun yang mereka punya untuk menyambut kedatangan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya.

Dinasti predatoris

Sudah 157 tahun peristiwa itu berlalu sejak Douwes Dekker datang ke Lebak pada akhir Januari 1856. Namun, Lebak masa kini dan Banten pada umumnya masih menyimpan warisan masa lalu yang sama: korupsi dan dinasti. Dulu Bupati Lebak disokong oleh Raden Wirakusuma, Demang Parungkujang sekaligus menantunya, yang berperan sebagai operator politik pengisap rakyat. Tak jauh beda dengan profil dinasti sekarang yang memiliki eksekutor politik yang diambil dari keluarganya. Perbedaannya, pada masa Havelaar, idealisme kalah oleh culas.

Adapun sekarang, kita masih belum tahu ujung dari nasib dinasti politik predatoris di Banten.
Perbedaan mendasar lainnya ialah sumber legitimasi kekuasaan yang berbeda. Dinasti politik sekarang bermain di atas arena demokrasi, sementara dahulu murni bergantung pada status ningrat dan kebangsawanan. Hal itu membuktikan bahwa dinasti mampu bertarung dalam cuaca politik apa pun. Dinasti bisa hidup di sistem otoriter maupun demokrasi. Memang banyak dinasti politik kita di daerah yang memanfaatkan pemilu kada agar berkuasa, seperti yang terjadi juga di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Namun, aktor dinasti politik akan tetap bermain dalam sistem politik apa pun karena lem perekat mereka ialah akses terhadap sumber daya negara.
Kalau sistem pemilu kada dihapus, bukan jaminan dinasti politik akan hilang.
Justru praktik dinasti makin menggurita karena untuk memenangi jabatan publik, para aktor dinasti cukup menguasai elite terba tas di DPRD. Lapang an permainan justru dikuasai segelintir elite dan rakyat tak punya kuasa un tuk menentukan pemimpinnya.

Jadi salah bila ada yang mengatakan Ratu Atut tidak bisa disebut dinasti politik semata-mata karena dia dan keluarga besarnya dipilih berdasarkan proses demokrasi. Pablo Querubin (2011: 2) dari Harvard Academy for International and Area Studies mendefinisikan dinasti politik sebagai `a particular form of elite persistence in which a single orfew family groups monopolize political power' (sebentuk penguasaan elite yang lama ketika sebuah atau beberapa keluarga memonopoli kekuasaan politik). Dia justru mengaitkan dinasti politik di Filipina dalam bingkai demokrasi, dan karena itu dia mengkritisi kebijakan pembatasan jabatan yang masih punya celah untuk dimanfaatkan dinasti politik agar tetap berkuasa.

Querubin juga mengaitkan keberlangsungan dinasti politik di Filipina karena efek petahana. Banyak incumbent yang melakukan segala cara agar dirinya atau keluarganya terpilih dalam proses demokrasi, entah melalui praktik money politics secara telan jang maupun dengan memanfaatkan dana negara (pork barrel, patronase, dan kebijakan programatik) untuk mengelabui rakyat. Dalam kasus Banten, Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan kenaikan fantastis dana hibah dan bansos menjelang pemilihan gubernur 2011. Pada 2009, total dana hibah dan bansos dianggarkan sebesar Rp74 miliar. Tapi pada 2010, anggaran hibah dan bansos melonjak hingga empat kali lipatnya, Rp290,7 miliar.

Peningkatan cukup tajam juga terlihat pada anggaran 2011, ketika hibah dan bansos dianggarkan nyaris menyentuh angka Rp400 miliar dengan tujuan jelas untuk memenangkan Atut kembali sebagai gubernur.
Selain itu, dalam literatur ilmu politik, dinasti selalu dikaitkan dengan hukum besi oligarki dan distribusi ekonomi-politik yang timpang (Dal Bo', Dal Bo' & Snyder, 2009).

Filipina merupakan contoh klasik dinasti politik yang berurat akar. Studi Dante Simbulan (2007) terhadap elite poli tik di Filipina pada 1946 hingga 1963 menemukan dari 169 keluarga berpe ngaruh, lahirlah 584 pejabat publik, termasuk 7 presiden, 2 wakil presiden, 42 senator, dan 147 anggota DPR. Ahli Filipina, Paul Hutch croft (1998), membuktikan bahwa dinasti politik telah meningkatkan praktik rent-seeking dan state capture dengan memberikan mengalokasikan sumber daya negara hanya bagi mereka yang dekat dengan kekuasaan dinasti.

Dalam kasus di Indonesia, temuan ICW menunjukkan sedikitnya 175 proyek pengadaan barang/jasa di Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi Banten dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan Atut, dengan total nilai kontrak Rp1,148 triliun.

Personalisasi politik

Secara politik, dinasti juga memakan ongkos yang mahal. Hedman dan Sidel, dalam buku Philippine Politics and Society in the Twentieth Century (2000), menuding praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, tetapi didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa. Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukkan oleh hubungan darah dan hubungan keluarga.

Dinastokrasi juga tidak menawarkan insentif jenjang karier politik yang jelas bagi kalangan luar yang berintegritas dan punya kapasitas agar sudi aktif di dalam partai.

Tentu ada sisi positif dinasti yang juga layak diapresiasi. Di India, Filipina, dan Amerika Serikat, dinasti politik bisa juga dianggap proses mentorship ketika tokoh politik akan menularkan pengalaman dan `proses pembelajaran' secara langsung kepada anggota keluarganya. Dinasti politik per definisi juga tak bisa disalahkan karena tak ada dalam pasal konstitusi kita yang dilanggar. Konstitusi tegas menyatakan bahwa setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. Karena itu, pembahasan di DPR terkait UU untuk membatasi dinasti politik harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menabrak rambu-rambu konstitusi.

Intinya, ada dua level reformasi yang harus dilakukan untuk mencegah dinasti politik predatoris. Pertama, reformasi dari sisi supply-side, partai politik sebagai produsen pejabat publik harus bertindak adil dalam mencalonkan pejabat publik. Partai tak boleh sekadar melirik faktor popularitas dan sumber daya finansial calon, tapi juga mengedepankan calon-calon yang punya integritas dan kapasitas. Justru mesin partai akan lebih maksimal dimanfaatkan daripada bergantung pada dinasti politik yang sudah mengandalkan faktor personal dan mesin uang.

Aturan pembatasan dana kampanye juga harus ditegakkan agar tercipta playing field yang adil antara calon yang kantongnya cekak dan calon dari dinasti yang biasanya berkelimpahan dana. Akses dinasti untuk melanggengkan kekuasaannya dengan caracara yang tak terpuji juga harus ditutup rapat-rapat.

Kedua, reformasi dari sisi demand-side. Pemilih harus mendapatkan pendidikan politik dari kalangan civil society dan media agar bisa memilih dengan didasarkan kualitas pilihan yang baik, bukan semata-mata popularitas dan uang. Prinsip reward and punishment harus dilakukan pemilih. Kalau memang ada petahana dari kalangan dinasti yang berhasil, sudah selayaknya dia dipilih kembali. Namun, jika terbukti gagal total membenahi masalah kemiskinan, angka pengangguran, pendidikan, dan lain-lain, siapa pun dia harus dihukum dengan cara tidak dipilih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar