|
Kendati Presiden AS Barack H Obama tidak hadir dalam
Perhelatan KTT ke-21 APEC di Bali, 5-7
Oktober kemarin, pengaruhnya masih tetap terasa. Buktinya, semuanya setuju
menggenjot liberalisasi perdagangan dan investasi, pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan dan merata, dan mempercepat konektivitas di antara wilayah para
anggota APEC. Semua kata-kata itu mudah ditemukan dalam panggung diplomasi
ekonomi politik AS. Yang menarik adalah, dengan 21 negara anggota, maka APEC
menjadi ajang peragaan diplomasi ekonomi, politik, dan sosial bagi
negara-negara berpengaruh, seperti AS, Jepang, RRC, dan Rusia.
Dari
sini tampak bagaimana karakter kepemimpinan negara berpengaruh itu tetap
bertekad melindungi kepentingan nasionalnya. Perhatikan bagaimana John Kerry
yang bertindak untuk dan atas nama Presiden AS Barack H Obama yang mendorong liberalisasi
perdagangan dan investasi. Sikap ini sesuai dengan National Security Strategy
of USA yang ditandatangani Presiden AS GW Bush pada 17 September 2002 dan
diperbarui Presiden Barack H Obama pada Mei 2012 serta Global Trends 2030: Alternative Worlds yang ditebitkan National
Council Intellegence pada Desember 2012. Tidak mengherankan majalah kapitalis
tertua The Economist pada 6 Oktober
bertanya, apakah tanpa APEC lantas liberalisasi menjadi terhambat?
Berbagai
kalangan mencoba melihat ke belakang bagaimana Bogor goals dilahirkan pada
1994. Di satu sisi diakui, APEC positif seperti soal tarif bea masuk 0 persen
untuk negara-negara maju pada 2010 dan berlaku pada 2020 untuk negara-negara
berkembang. Meski belum berjalan, namun semangat luar biasa meliberalkan tetap
dibayangi proteksionisme. Di sini WTO berperan cukup efektif, walau di negara
maju sendiri dan di beberapa negara lain WTO dianggap sebagai salah satu sumber
malapetaka. Sebabnya, WTO dianggap melahirkan petani tanpa lahan dan
ketimpangan. Seperti di Indonesia, dalam 10 tahun terakhir, petani gurem
meningkat lima juta petani dan ketimpangan pun makin tinggi ditunjukkan Gini
rasio pada angka 0,42. Ingat tesis Paul Krugman bahwa globalisasi telah
melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Siapa
yang peduli? Bagi negara-negara maju, bagaimana mereka tetap bisa melindungi
diri dengan cara masing-masing. AS, juga Jepang, RRC, dan Rusia tetap memberi
subsidi petaninya miliaran dolar per tahun. Bahkan, Singapura dan Malaysia
melindungi industri perbankannya. Sebaliknya, mereka yang sadar bahwa UMKM
menyerap 97,3 persen lapangan kerja dan menyumbang 57,2 persen PDB justru
menyetujui dan menjunjung tinggi liberalisasi perdagangan dan investasi.
Sadar
bahwa liberalisasi memberlakukan prinsip joint
them or beat them, maka RRC tegas menyatakan bahwa RRC adalah anggota
keluarga APEC. Saat yang sama kalangan lain melihat APEC tidak akan lebih
efektif dibanding dengan Trans Pacific Partnership yang di dalamnya ada AS,
Jepang, dan RRC sendiri. Di sisi lain sudah pula terbentuk Asean Economic Community.
Lalu
ajang apa sebenarnya APEC itu? Kembali ke posisi AS. Bahwa AS berkepentingan
membangun dan menjaga APEC guna menjalankan dan mencapai kepentingannya di
suatu kawasan dengan pendekatan unilateral dan multilateral. Seperti dalam
masalah Laut China Selatan, RRC mau penyelesaiannya bilateral, tetapi Filipina
didukung AS melalui multilateral sementara masalah Laut China Timut RRC sudah
setahun perang dingin dengan Jepang soal Pulau Senkaku (China: Diaoyu).
Di
sini APEC dilihat pula sebagai ajang mempertontonkan kekuatan dan keteguhan
dalam bahasa diplomasi yang santun, bukan dalam bahasa yang demikian terpelajar
tetapi sesungguhnya menyerahkan kedaulatan ekonomi politik dan sosial ke tangan
kaum kapitalis. Obama memang tidak hadir, tetapi hasil perhelatan KTT APEC
membuktikan, negaranya tetap mempunyai peranan strategis yang tidak dapat
diabaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar