Rabu, 16 Oktober 2013

APEC Tanpa Obama

APEC Tanpa Obama
Ichsanuddin Noorsy  Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SUARA KARYA, 14 Oktober 2013


Kendati Presiden AS Barack H Obama tidak hadir dalam Perhelatan KTT ke-21 APEC di Bali, 5-7 Oktober kemarin, pengaruhnya masih tetap terasa. Buktinya, semuanya setuju menggenjot liberalisasi perdagangan dan investasi, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan merata, dan mempercepat konektivitas di antara wilayah para anggota APEC. Semua kata-kata itu mudah ditemukan dalam panggung diplomasi ekonomi politik AS. Yang menarik adalah, dengan 21 negara anggota, maka APEC menjadi ajang peragaan diplomasi ekonomi, politik, dan sosial bagi negara-negara berpengaruh, seperti AS, Jepang, RRC, dan Rusia.

Dari sini tampak bagaimana karakter kepemimpinan negara berpengaruh itu tetap bertekad melindungi kepentingan nasionalnya. Perhatikan bagaimana John Kerry yang bertindak untuk dan atas nama Presiden AS Barack H Obama yang mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi. Sikap ini sesuai dengan National Security Strategy of USA yang ditandatangani Presiden AS GW Bush pada 17 September 2002 dan diperbarui Presiden Barack H Obama pada Mei 2012 serta Global Trends 2030: Alternative Worlds yang ditebitkan National Council Intellegence pada Desember 2012. Tidak mengherankan majalah kapitalis tertua The Economist pada 6 Oktober bertanya, apakah tanpa APEC lantas liberalisasi menjadi terhambat?

Berbagai kalangan mencoba melihat ke belakang bagaimana Bogor goals dilahirkan pada 1994. Di satu sisi diakui, APEC positif seperti soal tarif bea masuk 0 persen untuk negara-negara maju pada 2010 dan berlaku pada 2020 untuk negara-negara berkembang. Meski belum berjalan, namun semangat luar biasa meliberalkan tetap dibayangi proteksionisme. Di sini WTO berperan cukup efektif, walau di negara maju sendiri dan di beberapa negara lain WTO dianggap sebagai salah satu sumber malapetaka. Sebabnya, WTO dianggap melahirkan petani tanpa lahan dan ketimpangan. Seperti di Indonesia, dalam 10 tahun terakhir, petani gurem meningkat lima juta petani dan ketimpangan pun makin tinggi ditunjukkan Gini rasio pada angka 0,42. Ingat tesis Paul Krugman bahwa globalisasi telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan.

Siapa yang peduli? Bagi negara-negara maju, bagaimana mereka tetap bisa melindungi diri dengan cara masing-masing. AS, juga Jepang, RRC, dan Rusia tetap memberi subsidi petaninya miliaran dolar per tahun. Bahkan, Singapura dan Malaysia melindungi industri perbankannya. Sebaliknya, mereka yang sadar bahwa UMKM menyerap 97,3 persen lapangan kerja dan menyumbang 57,2 persen PDB justru menyetujui dan menjunjung tinggi liberalisasi perdagangan dan investasi.

Sadar bahwa liberalisasi memberlakukan prinsip joint them or beat them, maka RRC tegas menyatakan bahwa RRC adalah anggota keluarga APEC. Saat yang sama kalangan lain melihat APEC tidak akan lebih efektif dibanding dengan Trans Pacific Partnership yang di dalamnya ada AS, Jepang, dan RRC sendiri. Di sisi lain sudah pula terbentuk Asean Economic Community.

Lalu ajang apa sebenarnya APEC itu? Kembali ke posisi AS. Bahwa AS berkepentingan membangun dan menjaga APEC guna menjalankan dan mencapai kepentingannya di suatu kawasan dengan pendekatan unilateral dan multilateral. Seperti dalam masalah Laut China Selatan, RRC mau penyelesaiannya bilateral, tetapi Filipina didukung AS melalui multilateral sementara masalah Laut China Timut RRC sudah setahun perang dingin dengan Jepang soal Pulau Senkaku (China: Diaoyu).


Di sini APEC dilihat pula sebagai ajang mempertontonkan kekuatan dan keteguhan dalam bahasa diplomasi yang santun, bukan dalam bahasa yang demikian terpelajar tetapi sesungguhnya menyerahkan kedaulatan ekonomi politik dan sosial ke tangan kaum kapitalis. Obama memang tidak hadir, tetapi hasil perhelatan KTT APEC membuktikan, negaranya tetap mempunyai peranan strategis yang tidak dapat diabaikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar