|
Frankfurt Book
Fair merupakan pameran buku terbesar di dunia, juga salah satu event budaya
paling penting di Eropa. Diselenggarakan sekali setahun, pada bulan Oktober
(9-13 Oktober). Pameran ini menjadi perhatian ribuan media dan publik di
negara-negara berbahasa Jerman, juga di seluruh Eropa, bahkan dunia
internasional.
Ribuan penerbit
dan perusahaan media dari seluruh dunia menghadirinya. Jumlah pengunjung sampai
ratusan ribu. Pameran buku paling bersejarah (mulai menjadi tradisi sejak 500
tahun lalu ketika Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg, penemu mesin
cetak, menjual bukunya yang pertama Gutenberg
Bible di Pameran Buku Frankfurt tahun 1456) itu merupakan tempat bertemunya
ribuan agen, pustakawan, penerjemah, penerbit, pencetak, wartawan, budayawan,
seniman, sarjana, dan tentu saja sastrawan dari seluruh dunia. Sastra akan menjadi
fokus utama pameran buku ini.
Mengapa sastra
yang menjadi fokus utama di sana? Karena dunia mengukur peradaban sebuah bangsa
itu melalui novel yang ditulis para sastrawan. High level culture is high level novel. Mengapa? Sebab melalui
bacaan itulah orang dari berbagai negara bisa mengetahui watak dan jati diri
manusia dalam sebuah bangsa secara lebih jujur dan utuh. Ada watak dan
peristiwa di dalamnya, juga pembaca bisa menenggelamkan diri ke dalam jiwa dan
batin manusia Indonesia yang nyata.
Di dalamnya ada
cita-cita manusianya, perjuangannya, cinta, iman, tanggung jawab, persahabatan,
kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Hal ini tidak bisa ditemukan pada bacaan
lain semisal buku politik, sejarah, bahkan antropologi atau buku seni lain.
Melalui novel, segala permasalahan kemanusiaan yang lebih dalam dan lebih
kompleks akan mampu diketahui oleh pembaca dengan lebih tenang dan jernih.
Puisi juga ada
dalam posisi yang sama. Bahkan, isi puisi lebih menampilkan semangat, spirit,
keindahan bahasa, dan kreativitas manusia dalam sebuah bangsa. Hanya bedanya,
puisi itu di mana saja di dunia ini, ia hanya bisa dinikmati oleh sedikit orang
saja. Lain dengan novel yang lebih banyak orang bisa menikmatinya. Oleh karena
itu, novellah akhirnya yang menjadi primadona. Film atau teater bisa saja
mengambil peran yang sama dalam konteks ini, tetapi ia tidak bisa
dibolak-balik, dibaca-baca ulang dengan mudah bagian-bagian pentingnya untuk
direnungkan, sebagaimana watak sebuah buku. Sayangnya di Indonesia sastra
sepertinya hanya dipandang dengan sebelah mata saja.
Tamu kehormatan
Bulan Juni 2013
sudah diputuskan Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Kesepakatan
tentang kerja sama itu sudah ditandatangani antara pihak Indonesia, dalam hal
ini diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan pihak Jerman yang
diwakili oleh Direktur Frankfurt Book
Fair Juergen Boos.
Bagaimana
Indonesia menyiapkan hal ini semua? Saya, kebetulan sedang di Berlin, sudah
ditanya banyak pihak Jerman tentang hal ini. Sebab, berdasarkan Road Map to Indonesia as Guest of Honour at
the Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia seharusnya sudah membuat beberapa
kegiatan, seperti menyiapkan program utama menyangkut penulis, penerjemah,
seniman, dan penerbit pada sejumlah acara. Kemudian menerjemahkan buku dan
membuat acara peluncuran pada Frankfurt Book Fair, mengundang para penulis
Indonesia ke Frankfurt Book Fair 2013 dan 2014.
Indonesia juga
harus menyajikan buku yang telah diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa
Jerman, menyiapkan dana untuk program terjemahan buku sastra Indonesia, baik
untuk keperluan pameran buku itu dan mungkin juga di berbagai kota Jerman,
dengan melibatkan para sastrawan Indonesia. Para penulis juga mengunjungi
pameran buku Leipzig atau pameran lain di Berlin yang berhubungan dengan
festival sastra di Jerman untuk menjajaki kemungkinan bagaimana bisa
menampilkan para penulis Indonesia, menyiapkan acara peluncuran buku disertai
dengan acara seperti pembacaan karya.
Saya kira yang
paling penting dan mendesak untuk dikerjakan Pemerintah Indonesia adalah
menerjemahkan novel Indonesia kontemporer karena pengerjaannya akan memakan
waktu. Karena itu harus dikerjakan sekarang! Sementara untuk bisa tampil di FBF
2015 minimal 30 judul novel sudah harus diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Tak
hanya itu, juga sudah perlu dicari sejak sekarang kontak kerja sama dengan
penerbit di Jerman. Penerbit mana yang kiranya akan sedia menerbitkan
terjemahan itu. Penerjemah sastra dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman saja
hanya sedikit. Bisa disebutkan yang paling aktif dan sudah menjadi sahabat para
sastrawan Indonesia bertahun-tahun, Berthold Damshäuser yang selama ini
utamanya menerjemahkan puisi. Lalu Peter Sternagel yang menerjemahkan novel Saman dan Laskar
Pelangi. Juga ada Katrin Bandel yang bisa banyak diharapkan karena dia bermukim
di Indonesia atau Silke Behl di Jerman dan Dudy Anggawi yang tinggal di Jerman,
tapi ulang-alik Indonesia. Selebihnya di luar itu? Susah menyebutkan penerjemah
sastra lain.
Lalu setelah
diterjemahkan, buku itu harus diterbitkan penerbit di Jerman. Tidak bisa
diterbitkan sendiri oleh penerbit Indonesia lalu diboyong ke Jerman karena
kaitannya dengan distribusi di negara-negara berbahasa Jerman (selain Jerman,
juga Swiss dan Austria) atau Eropa pada umumnya. Manakah kiranya penerbit di
Jerman yang mau menerbitkan buku sastra Indonesia hasil terjemahan itu nanti?
Mungkin Horlemann yang selama ini memang fokus ke Asia Tenggara dan sudah cukup
banyak juga menerbitkan karya-karya sastra Indonesia, seperti Armijn Pane,
Mochtar Lubis, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan Ahmad Tohari. Bisa pula
penerbit yang masih baru mulai merintis terbitan buku-buku Asia, Regiospectra
atau Union Publisher, penerbit berbahasa Jerman di Swiss yang menerbitkan lebih
banyak lagi buku-buku Pramoedya Ananta Toer.
Syukur kalau
bisa diterbitkan Hanser Berlin, penerbit besar yang menerbitkan Laskar
Pelangi yang di Indonesia belakangan kemenangannya di ajang Internationale
Tourismus-Börse (ITB) Berlin 2013 sempat memancing perdebatan di media
Indonesia. Hanya itu kemungkinannya. Tapi, kalau saja biaya penerjemahan
(dengan standar tarif Jerman) ditanggung Pemerintah RI, semuanya bisa cukup
mudah, bisa kerja sama sebagaimana layaknya juga terjadi di Indonesia.
Frankfurt Book Fair
jelas akan menjadi ajang pertukaran budaya Indonesia di Jerman. Eslandia,
negara kecil dengan jumlah penduduk hanya 300.000 dan luas wilayah 100.000
kilometer persegi, sebuah negara bersalju dengan banyak gunung berapi, serta
negara perikanan dan pertanian yang mengalami masalah ekonomi (mirip
Indonesia), telah mempersiapkan diri dengan sangat baik saat tampil sebagai
tamu kehormatan FBF 2011. Pameran buku benar-benar dikemas bernuansa buku,
budaya, dan tradisi membaca di Eslandia. Sontak semua pengunjung menaruh
perhatian pada Eslandia.
Bagaimana
sebetulnya masalah pertukaran budaya antara Jerman dan Indonesia ini? Tanpa
banyak diketahui umum pada tahun 1997 telah didirikan Komisi Indonesia-Jerman
untuk Bahasa dan Sastra atas petunjuk Presiden RI dan Kanselir Jerman.
Anggotanya antara lain lembaga kenegaraan Indonesia, Departemen Luar Negeri RI,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Bahasa. Sejak saat itu, pihak
Jerman diwakili Goethe Institut, bisa kita lihat di pasaran buku pembaca
Indonesia bisa menikmati puisi-puisi karya para penyair legendaris Jerman,
mulai dari Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von
Goethe, Hans Magnus Enzensberger, Friedrich Nietzsche, dan penyair Austria
berbahasa Jerman, Georg Trakl.
Penerjemahan
karya sastra dalam bahasa Inggris juga mengalami nasib sama. Selama lebih dari
25 tahun Yayasan Lontar dibiarkan aktif berusaha sendiri memperkenalkan sastra
Indonesia ke dunia luar. Tak pernah ada campur tangan pemerintah dalam soal
itu. Agaknya benar sastra Indonesia merupakan yatim piatu, tak terurus. Apalagi
membayangkan sastra Indonesia juga diterbitkan ke dalam bahasa-bahasa di dunia
lain: Jepang, Mandarin, Korea, Spanyol, Rusia, dan Perancis misalnya. Lontar
sudah memulai dalam bahasa Inggris.
Penerjemahan ke
bahasa Jerman hingga 100 judul (jika memungkinkan memang jumlah ini yang
disyaratkan FBF, plus buku nonsastra lain, seperti art, nature, dan history), mungkin bisa ”dipercepat” dengan ”memanfaatkan” buku-buku
hasil terjemahan Yayasan Lontar dalam bahasa Inggris meski itu bukan pekerjaan
ideal tapi apa boleh buat? Waktu sudah tinggal sedikit dan pekerjaan masih
banyak, bahkan saat ini belum dimulai.
Frankfurt Book Fair 2015 kiranya perlu
menjadi titik tolak bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih agresif
memperkenalkan sastra Indonesia kepada dunia. Memang selama ini sudah ada
langkah-langkah menyebarkan budaya Indonesia di berbagai negara dengan misalnya
menyajikan tarian, musik gamelan, angklung, wayang kulit, dan seterusnya yang
lebih merupakan budaya tradisional dan budaya lisan. Perlulah diperkenalkan
bahwa Indonesia tak hanya itu, tapi juga merupakan bangsa yang telah berhasil
mengembangkan budaya aksara modern, seperti telah lama terbukti melalui Kesusastraan Indonesia Modern. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar