Minggu, 13 Oktober 2013

Khusyuk

Khusyuk
Sarlito Wirawan Sarwono  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 13 Oktober 2013


Kalau berdoa dengan sangat intens dan fokus, ujung-ujungnya seseorang bisa menangis. Itu namanya khusyuk. Dalam agama apapun khusyuk itu bisa terjadi. 

Ketika saya mengunjungi sebuah kelenteng di Taipei, Taiwan, sebagai turis, saya pernah menyaksikan seorang ibu setengah baya, berdoa di depan patung dewanya (di klenteng itu banyak patung dewa, dan setiap dewa punya pengikut masing-masing), sambil memegang hio dan melempar-lempar kepingan-kepingan bambu, sambil terus-menerus menangis. Saya tidak tahu apa yang didoakannya, tetapi menurut saya, ibu itu tengah berdoa dengan khusyuk. 

Di sisi lain, beberapa kali salat Jumat di tempat-tempat yang berbeda-beda, saya mengikuti imam yang tiba-tiba tersedu-sedan pada doa dalam akhir khotbahnya, atau yang lebih dramatis lagi sang imam menangis sambil membacakan ayat setelah Alfatihah. Mungkin maksudnya agar khusyuk, tetapi saya malah terganggu dan malah tidak bisa khusyuk. Nah, kalau salatku enggak khusyuk, yang enggak dapat pahala kan saya, padahal yang mengganggu si imam.

Pada suatu kesempatan makansiangditengahacaraseminar, saya bertanya sesuatu kepada teman yang duduk di sebelah saya. Setelah beberapa detik dia tidak menjawab, saya menengok ke sebelah, ternyata teman itu sedang berdoa. Tampaknya dia penganut Kristen yang selalu berdoa sebelum makan. Maka saya pun paham, dan bermaksud mengulangi pertanyaan saya, ketika dia selesai berdoa. 

Ternyata begitu selesai berdoa dia langsung menjawab pertanyaan saya, tanpa saya perlu bertanya ulang. Maka obrolan pun berlanjut. Tetapi saya pikir orang ini pasti tidak khusyuk waktu berdoa tadi. Buktinya dia mendengarkan kata-kata saya, bukannya fokus berterima kasih kepada Tuhan atas makanan yang terhidang hari itu. Fokus. Itulah kata kunci dari khusyuk. 

Dalam psikologi, orang yang fokus, akan mencurahkan seluruh pikiran dan emosinya kepada apa yang sedang dilakukannya. Ketika Evan Dimas, kapten Timnas U- 19, menceploskan bola ke gawang Laos, dia melakukannya dengan sengat fokus, konsentrasi penuh, dan setelah gol dia melampiaskan emosinya, lari, lepas, tangan terkepal ke atas, sujud, tertawa, menangis. Itulah fokus, itulah yang dalam beribadah disebut khusyuk. 

Jadi khusyuk itu tidak bisa dadakan. Perlu proses yang panjang untuk sampai kepada titik khusyuk. Ibu di Taipei yang berdoa khusyuk mungkin sudah mengalami masalah yang berlarut-larut, sehingga ia merasa perlu bertanya kepada dewanya melalui kepingan bambu yang dilempar-lempar berkalikali. Konon kalau bambu itu jatuh menghadap ke atas, jawab sang dewa adalah “ya”, kalau tengkurap “tidak”. 

Maka, kalau ibu itu melempar bambu berkali-kali dengan berbagai pertanyaan, dan si dewa menjawab, “ya, tidak, tidak, ya”, maka ibu akan bisa menyimpulkan apa jawaban sang dewa terhadap pertanyaannya (itu menurut keterangan guide yang memandu rombongan turis kami). Tetapi untuk mendapat jawaban yang baik dari dewa, tentu saja ibu itu harus percaya betul, fokus, khusyuk. Maka apapun jawaban dewa dia akan percaya. 

Begitu juga Evan Dimas. Berbulan- bulan, bahkan beberapa tahun sebelumnya, dia sudah mempersiapkan diri untuk menjadi pemain bola profesional. Dia makin fokus selama berlatih bersama teman-teman setimnya di pusat latihan. Selama berbulan-bulan latihan itu dia tidak bertemu keluarganya, tidak apa-apa, pokoknya fokus. Maka apa pun hasilnya dia terima dengan ikhlas, karena dia memang fokus, dan sadar akan konsekuensi dari pada niatnya yang kuat itu. Itulah khusyuk. 

Nah, bagaimana dengan tangis yang dadakan? Itu namanya ritual, bukan khusyuk. Salah satu sekte Kristen ada yang selalu menangis bareng ketika sampai pada saat berdoa bersama, dipimpin oleh pendeta. Maka semua jemaat beramai-ramai menangis, padahal ketika mereka datang ke gereja sambil tertawa-tawa dan pulang dari gereja pun tertawa-tawa lagi. 

Saya tidak tahu bagaimana kepercayaan mereka, tetapi menurut saya mereka menangis karena tuntutan ritual saja. Sama halnya dengan sekte Kristen lain yang dalam upacara keagamaannya selalu bernyanyi. Tetapi Islam, sepanjang yang saya tahu, tidak mengajarkan umatnya untuk menangis dalam salatnya, apalagi dalam salat berjamaah. 

Kondisi emosi jamaah yang sekian banyaknya itu berbeda- beda. Mungkin ada 1-2 orang yang memangingin berdoa khusyuk pada hari Jumat itu, sehingga ia akan tinggal lebih lama di masjid, berdoa sampai tuntas, walaupun masjid sudah kosong. Tetapi jamaah yang lain punya urusan sendiri-sendiri. Ada yang mau balik ke kantor, ada yang kelaparan mau cari makan dulu. 

Semua itu sah saja dalam Islam, sepanjang ia tidak meninggalkan salat Jumat wajib berjamaah. Maka, kalau ada khatib yang berdoa terlalu lama, atau membaca ayat terlalu panjang, apalagi pakai acara sedu-sedan segala, jangan heran kalau mulai ada yang batuk-batuk, dan batuk-batuk itu makin bersahut-sahutan sampai khatib atau imam melanjutkan ritual salat Jumatnya.

Sekarang menjelang Idul Qurban, ada ritual lagi. Potong hewan kurban. Orang yang hanya mau ritualnya saja, potong kambing, atau sapi. Kalau perlu sapinya yang paling berat dan paling mahal, dan masuk TV. Selesai! Tetapi seorang ibu, pemulung, mengumpulkan uang bertahun-tahun, akhirnya bisa membiayai dirinya sendiri untuk pergi haji. 

Di antara sekian juta umat yang berhaji di Mekkah, saya yakin ibu inilah salah satu yang paling khusyuk dalam melaksanakan ibadah hajinya. Kalau semua petinggi negeri ini bisa beragama secara khusyuk seperti ibu pemulung, saya yakin tidak ada lagi koruptor yang perlu ditangkap KPK. Semoga. Amin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar