|
SOROTAN kepada lembaga perwakilan
rakyat bernama Dewan Perwakilan (DPR) seperti tidak ada matinya. Yang paling
terakhir, penolakan terhadap Ruhut Sitompul sebagai Ketua Komisi III DPR.
Sebagai calon yang diajukan Partai Demokrat (PD) sebagai kekuatan politik
terbesar di DPR, penolakan Ruhut seperti membuka mata publik tentang sisi gelap
pengisian pimpinan DPR.
Pertanyaan besar yang mengikutinya kejadian itu; apakah penolakan atas Ruhut
karena faktor figur politikus PD itu, atau karena faktor pelanggaran aturan?
Sebetulnya, bukan hanya disebabkan
kericuhan di sekitar penunjukan Ruhut, kisruh yang melanda DPR dalam
minggu-minggu terakhir juga dipicu tersingkapnya `lobi toilet' ketika proses fit
and proper test calon hakim agung.
Celakanya, berlokus sama dengan kisruh Ruhut, `lobi toilet' tersebut juga melanda Komisi III DPR. Karenanya,
publik mulai membahas wewenang DPR yang terbilang overdosis dalam pengisian
pejabat publik. Untuk menyoroti masalah itu, harian Media Indonesia
menempatkannya sebagai headline sepanjang minggu lalu. Sulit dibantah,
pemberitaan itu seperti membongkar sisi temaram politik transaksional pengisian
pejabat publik.
Namun, apabila dilacak kewenangan DPR dalam proses
pembahasan rancangan APBN, sisi temaram tersebut benarbe nar berubah menjadi
sisi gelap. Paling tidak, dengan merujuk banyak pengalaman dalam sepuluh tahun
terakhir, wewenang membahas rancangan APBN tersebut telah memerosokkan sebagian
politikus DPR dalam kubangan praktik korupsi. Bahkan, sebagian dari mereka saat
ini meringkuk di rumah prodeo setelah dinyatakan terbukti secara hukum
melakukan tindak pidana korupsi. Celakanya, sebagiannya berasal dari partai
politik (parpol) yang dalam masa kampanye mengusung isu antikorupsi.
Secara hukum, dalam membahas rancangan APBN, sisi gelap
tersebut muncul karena besarnya kewenangan Badan Anggaran (Banggar). Kewenangan
itu diperparah terbukanya ruang bagi anggota DPR (terutama dari Banggar) untuk
membahas rancangan APBN secara terinci (sampai satuan 3). Tidak hanya itu,
dalam proses pembahasan rancangan APBN, mereka dapat melakukan `kebijakan'
perbintangan atau pemblokiran anggaran. Semua itu ditampung dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 27/2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU No 27/2009).
Praktik ilegal
Penunjukan Ruhut sebagai Ketua Komisi III menyingkap tabir
gelap penyimpangan terhadap UU No 27/2009. Pada soal ini, Pasal 95 ayat (2) UU
No 27/2009 mengamanatkan pimpinan komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Karena amanat itu, penunjukan
pimpinan komisi (oleh parpol dan/atau oleh fraksi) jelas merupakan penyimpangan
ketentuan Pasal 95 ayat (2) UU No 27/2009, dan sekaligus menghilangkan amanat
dan makna `dipilih dari dan oleh anggota berdasarkan prinsip musyawarah'.
Terkait dengan masalah itu, mereka yang setuju dengan
penunjukan Ruhut tidak bisa mempertahankan argumentasi mereka karena penunjukan
oleh parpol (fraksi) tertentu dibenarkan peraturan tata tertib DPR. Secara
hukum, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi.
Karena itu, bertahan dengan alasan mengisi ketua komisi sesuai dengan tata
tertib DPR lebih merupakan pembenaran belaka dari praktik penyimpangan (ilegal)
yang dilakukan selama ini.
Apabila dibaca dengan cermat UU No 27/2007, DPR memang
memiliki kesempatan untuk mengatur segala sesuatu yang terkait dengan komisi
dalam peraturan tata tertib DPR. Dalam hal ini, Pasal 98 UU No 27/2009
menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan,
tugas, wewenang, dan mekanisme kerja komisi diatur dengan peraturan DPR tentang
tata tertib. Namun, delegasi kepada tata tertib itu sama sekali tidak memberi
ruang kepada DPR untuk memberikan tafsir dalam pemilihan ketua komisi, kecuali
hanya dengan cara dipilih oleh dan dari anggota komisi sebagaimana termaktub di
dalam Pasal 95 ayat (2) UU No 27/2009.
Bahkan, untuk membenarkan praktik ilegal tersebut, tidak
pula dapat menggunakan basis argumentasi bahwa pengisian ketua (dan wakil
ketua) komisi merupakan kebiasaan (convention)
ketatanegaraan. Dari aspek hukum tata negara, konvensi merupakan praktik
ketatanegaraan untuk mengisi dan melengkapi kekosongan aturan hukum dalam
konstitusi atau hukum dasar.
Dalam konteks itu, pengisian jabatan ketua komisi jelas sangat jauh dari muatan
konstitusi karena normanya jelas, DPR tidak diberi ruang untuk melakukan
praktik yang berbeda dari yang diatur oleh UU No 27/2009.
Tidak demokratis
Selain memelihara praktik ilegal, pengisian ketua (dan
wakil ketua) komisi menggambarkan berkembangnya pola yang tidak demokratis.
Dalam batas-batas tertentu, pengisian seperti itu sekaligus menggambarkan
betapa proses internal DPR direduksi menjadi urusan parpol. Paling tidak,
kejadian itu membenarkan pemahaman yang berkembang selama ini, meluasnya gurita
parpol menggerogoti bekerjanya mesin demokrasi di DPR. Sejauh ini, sejumlah
kejadian menjadi bentangan empirik para politikus lebih banyak memainkan peran
sebagai pion partai politik.
Terkait dengan isu tersebut, salah satu masalah klasik yang
selalu diperdebatkan di seputar proses internal DPR ialah kehadiran dan peran
fraksi.
Sekalipun hanya diposisikan sebagai tempat berhimpun anggota parpol di DPR,
fraksi memiliki peran sentral dalam pengambilan hampir semua keputusan politik.
Dengan posisi begitu, fraksi berubah menjadi monster karena kehadirannya fraksi
cenderung menjadi remote-control elite parpol untuk mengendalikan kepentingan
parpol dan sekaligus kepentingan elite di DPR.
Namun, dengan melihat kelembagaan DPR secara utuh, cikal
bakal matinya proses politik demokratis telah dimulai dengan proses pengisian
Ketua dan Wakil Ketua DPR. Dalam hal ini, Pasal 82 ayat (1) UU No 27/2009
menyatakan pimpinan DPR yang terdiri dari satu orang ketua dan empat orang
wakil ketua berasal dari parpol berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di
DPR. Kemudian ditegaskan lagi, Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari
parpol yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR. Begitu pula, wakil ketua
ditentukan berdasarkan urutan perolehan kursi berikutnya.
Sebagai salah satu lembaga sentral dalam kehidupan demo
krasi, penentuan jajaran pim pinan (termasuk Ketua dan Wakil Ketua DPR) melalui
proses penunjukan dapat dibaca sebagai sebuah tragedi demokrasi. Sekalipun
dibenarkan UU No 27/2009, penunjukan seperti ini sulit diterima akal sehat.
Dalam batas penalaran yang wajar, bagaimana mungkin sebuah lembaga demokrasi
pimpinannya ditentukan melalui proses penunjukan. Barangkali, penentuan Ketua
dan Wakil Ketua DPR berdasarkan jumlah kursi hasil pemilihan umum dapat
dibenarkan dalam sistem dua partai (biparty
system).
Karenanya, pilihan atas pola penunjukan terasa makin
kehilangan pijakan di tengah sistem kepartaian majemuk (multiparty system). Misalnya, dengan mengambil contoh yang terjadi
di DPR saat ini, jatah Ketua DPR yang berasal dari PD hanya dapat dibenarkan
karena rekayasa Pasal 82 UU No 27/2009. Namun, apabila dilihat dari jumlah
komposisi suara atau kursi PD di DPR, memberikan jabatan kepada PD secara
otomatis menjadi tidak masuk akal. Dengan menggunakan logika sederhana,
bagaimana mungkin menyerahkan kursi ketua bagi parpol yang jumlah kursinya
kurang dari sepertiga jumlah kursi DPR?
Boleh jadi, sekiranya ketentuan Pasal 82 UU No 27/2009 ter
sebut tidak pernah ada, bukan tidak mungkin Ketua DPR akan berasal dari parpol
lain. Karena itu, berdasarkan kursi di DPR, komposisi yang ada menggambarkan
satu hal; jabatan Ketua DPR dipegang parpol dengan dukungan pemilih di bawah
50% alias minoritas. Dalam posisi seperti itu, kehadiran Pasal 82 UU No 27/2009
dan penunjukan ketua fraksi hanya mungkin dibenarkan dengan logika bagi-bagi ke
kuasaan. Membenarkan dan membiarkan logika itu berjalan terus-menerus sama saja
dengan menggadaikan hak-hak konstitusional DPR kepada invisible-hand dengan mengatasnamakan parpol.
Perombakan total
Jamak diketahui, setelah per ubahan UUD 1945, DPR me miliki
kewenangan yang sangat besar. Setelah penulis mencermati praktik bernegara yang
ada, hampir tidak ada jabatan politik strategis yang tidak bersentuhan dengan
DPR. Tidak hanya peran dalam bentuk `pertimbangan', `persetujuan', `dipilih',
dan `diajukan' dalam proses pengisian sejumlah lembaga atau komisi negara dalam
UUD 1945, peran DPR juga bersentuhan dengan pengisian komisi/institusi yang
dibentuk karena perintah UU. Karena itu, perombakan total menjadi sebuah
keniscayaan.
Upaya perombakan yang perlu dipikirkan dengan serius ialah
bagaimana mencegah agar institusi DPR tidak dijadikan sebagai alat untuk meraih
kepentingan sempit dan sesaat oleh parpol dan elite parpol. Pilihan yang paling
mungkin di lakukan ialah membuat desain sedemikian rupa agar proses politik
dilakukan secara terbuka.
Dalam pengertian itu, semua proses politik di DPR ialah
hasil pergulatan di internal DPR. Salah satu caranya tidak boleh lagi ada
aturan yang membenarkan penunjukan pimpinan DPR yang dilakukan parpol. Selain
itu, otoritas besar dalam pengisian jabatan publik harus dikembalikan kepada mekanisme
checks and balances.
Kiranya, dalam waktu dekat semua gagasan perombakan
tersebut harus direalisasikan. Apalagi, saat ini dipersiapkan draf rancangan UU
untuk mengganti atau merevisi UU No 27/2009. Yang tidak kalah pentingnya,
revisi tersebut harus sudah selesai sebelum ha sil Pemilu Legislatif 2014
diketahui. Jangan ulangi lagi kesalahan 2009, banyak ruang gelap tercipta
karena UU No 27/2009 disetujui setelah hasil pemilu legislatif diketahui. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar