Selasa, 01 Oktober 2013

Sisi Gelap (Pengisian Pimpinan) DPR

Sisi Gelap (Pengisian Pimpinan) DPR
Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA, 30 September 2013


SOROTAN kepada lembaga perwakilan rakyat bernama Dewan Perwakilan (DPR) seperti tidak ada matinya. Yang paling terakhir, penolakan terhadap Ruhut Sitompul sebagai Ketua Komisi III DPR. Sebagai calon yang diajukan Partai Demokrat (PD) sebagai kekuatan politik terbesar di DPR, penolakan Ruhut seperti membuka mata publik tentang sisi gelap pengisian pimpinan DPR.
Pertanyaan besar yang mengikutinya kejadian itu; apakah penolakan atas Ruhut karena faktor figur politikus PD itu, atau karena faktor pelanggaran aturan?

Sebetulnya, bukan hanya disebabkan kericuhan di sekitar penunjukan Ruhut, kisruh yang melanda DPR dalam minggu-minggu terakhir juga dipicu tersingkapnya `lobi toilet' ketika proses fit and proper test calon hakim agung.
Celakanya, berlokus sama dengan kisruh Ruhut, `lobi toilet' tersebut juga melanda Komisi III DPR. Karenanya, publik mulai membahas wewenang DPR yang terbilang overdosis dalam pengisian pejabat publik. Untuk menyoroti masalah itu, harian Media Indonesia menempatkannya sebagai headline sepanjang minggu lalu. Sulit dibantah, pemberitaan itu seperti membongkar sisi temaram politik transaksional pengisian pejabat publik.

Namun, apabila dilacak kewenangan DPR dalam proses pembahasan rancangan APBN, sisi temaram tersebut benarbe nar berubah menjadi sisi gelap. Paling tidak, dengan merujuk banyak pengalaman dalam sepuluh tahun terakhir, wewenang membahas rancangan APBN tersebut telah memerosokkan sebagian politikus DPR dalam kubangan praktik korupsi. Bahkan, sebagian dari mereka saat ini meringkuk di rumah prodeo setelah dinyatakan terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi. Celakanya, sebagiannya berasal dari partai politik (parpol) yang dalam masa kampanye mengusung isu antikorupsi.

Secara hukum, dalam membahas rancangan APBN, sisi gelap tersebut muncul karena besarnya kewenangan Badan Anggaran (Banggar). Kewenangan itu diperparah terbukanya ruang bagi anggota DPR (terutama dari Banggar) untuk membahas rancangan APBN secara terinci (sampai satuan 3). Tidak hanya itu, dalam proses pembahasan rancangan APBN, mereka dapat melakukan `kebijakan' perbintangan atau pemblokiran anggaran. Semua itu ditampung dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU No 27/2009).

Praktik ilegal

Penunjukan Ruhut sebagai Ketua Komisi III menyingkap tabir gelap penyimpangan terhadap UU No 27/2009. Pada soal ini, Pasal 95 ayat (2) UU No 27/2009 mengamanatkan pimpinan komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Karena amanat itu, penunjukan pimpinan komisi (oleh parpol dan/atau oleh fraksi) jelas merupakan penyimpangan ketentuan Pasal 95 ayat (2) UU No 27/2009, dan sekaligus menghilangkan amanat dan makna `dipilih dari dan oleh anggota berdasarkan prinsip musyawarah'.

Terkait dengan masalah itu, mereka yang setuju dengan penunjukan Ruhut tidak bisa mempertahankan argumentasi mereka karena penunjukan oleh parpol (fraksi) tertentu dibenarkan peraturan tata tertib DPR. Secara hukum, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Karena itu, bertahan dengan alasan mengisi ketua komisi sesuai dengan tata tertib DPR lebih merupakan pembenaran belaka dari praktik penyimpangan (ilegal) yang dilakukan selama ini.

Apabila dibaca dengan cermat UU No 27/2007, DPR memang memiliki kesempatan untuk mengatur segala sesuatu yang terkait dengan komisi dalam peraturan tata tertib DPR. Dalam hal ini, Pasal 98 UU No 27/2009 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang, dan mekanisme kerja komisi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Namun, delegasi kepada tata tertib itu sama sekali tidak memberi ruang kepada DPR untuk memberikan tafsir dalam pemilihan ketua komisi, kecuali hanya dengan cara dipilih oleh dan dari anggota komisi sebagaimana termaktub di dalam Pasal 95 ayat (2) UU No 27/2009.

Bahkan, untuk membenarkan praktik ilegal tersebut, tidak pula dapat menggunakan basis argumentasi bahwa pengisian ketua (dan wakil ketua) komisi merupakan kebiasaan (convention) ketatanegaraan. Dari aspek hukum tata negara, konvensi merupakan praktik ketatanegaraan untuk mengisi dan melengkapi kekosongan aturan hukum dalam konstitusi atau hukum dasar.
Dalam konteks itu, pengisian jabatan ketua komisi jelas sangat jauh dari muatan konstitusi karena normanya jelas, DPR tidak diberi ruang untuk melakukan praktik yang berbeda dari yang diatur oleh UU No 27/2009.

Tidak demokratis

Selain memelihara praktik ilegal, pengisian ketua (dan wakil ketua) komisi menggambarkan berkembangnya pola yang tidak demokratis. Dalam batas-batas tertentu, pengisian seperti itu sekaligus menggambarkan betapa proses internal DPR direduksi menjadi urusan parpol. Paling tidak, kejadian itu membenarkan pemahaman yang berkembang selama ini, meluasnya gurita parpol menggerogoti bekerjanya mesin demokrasi di DPR. Sejauh ini, sejumlah kejadian menjadi bentangan empirik para politikus lebih banyak memainkan peran sebagai pion partai politik.

Terkait dengan isu tersebut, salah satu masalah klasik yang selalu diperdebatkan di seputar proses internal DPR ialah kehadiran dan peran fraksi.
Sekalipun hanya diposisikan sebagai tempat berhimpun anggota parpol di DPR, fraksi memiliki peran sentral dalam pengambilan hampir semua keputusan politik. Dengan posisi begitu, fraksi berubah menjadi monster karena kehadirannya fraksi cenderung menjadi remote-control elite parpol untuk mengendalikan kepentingan parpol dan sekaligus kepentingan elite di DPR.

Namun, dengan melihat kelembagaan DPR secara utuh, cikal bakal matinya proses politik demokratis telah dimulai dengan proses pengisian Ketua dan Wakil Ketua DPR. Dalam hal ini, Pasal 82 ayat (1) UU No 27/2009 menyatakan pimpinan DPR yang terdiri dari satu orang ketua dan empat orang wakil ketua berasal dari parpol berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Kemudian ditegaskan lagi, Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari parpol yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR. Begitu pula, wakil ketua ditentukan berdasarkan urutan perolehan kursi berikutnya.

Sebagai salah satu lembaga sentral dalam kehidupan demo krasi, penentuan jajaran pim pinan (termasuk Ketua dan Wakil Ketua DPR) melalui proses penunjukan dapat dibaca sebagai sebuah tragedi demokrasi. Sekalipun dibenarkan UU No 27/2009, penunjukan seperti ini sulit diterima akal sehat. Dalam batas penalaran yang wajar, bagaimana mungkin sebuah lembaga demokrasi pimpinannya ditentukan melalui proses penunjukan. Barangkali, penentuan Ketua dan Wakil Ketua DPR berdasarkan jumlah kursi hasil pemilihan umum dapat dibenarkan dalam sistem dua partai (biparty system).

Karenanya, pilihan atas pola penunjukan terasa makin kehilangan pijakan di tengah sistem kepartaian majemuk (multiparty system). Misalnya, dengan mengambil contoh yang terjadi di DPR saat ini, jatah Ketua DPR yang berasal dari PD hanya dapat dibenarkan karena rekayasa Pasal 82 UU No 27/2009. Namun, apabila dilihat dari jumlah komposisi suara atau kursi PD di DPR, memberikan jabatan kepada PD secara otomatis menjadi tidak masuk akal. Dengan menggunakan logika sederhana, bagaimana mungkin menyerahkan kursi ketua bagi parpol yang jumlah kursinya kurang dari sepertiga jumlah kursi DPR?

Boleh jadi, sekiranya ketentuan Pasal 82 UU No 27/2009 ter sebut tidak pernah ada, bukan tidak mungkin Ketua DPR akan berasal dari parpol lain. Karena itu, berdasarkan kursi di DPR, komposisi yang ada menggambarkan satu hal; jabatan Ketua DPR dipegang parpol dengan dukungan pemilih di bawah 50% alias minoritas. Dalam posisi seperti itu, kehadiran Pasal 82 UU No 27/2009 dan penunjukan ketua fraksi hanya mungkin dibenarkan dengan logika bagi-bagi ke kuasaan. Membenarkan dan membiarkan logika itu berjalan terus-menerus sama saja dengan menggadaikan hak-hak konstitusional DPR kepada invisible-hand dengan mengatasnamakan parpol.

Perombakan total

Jamak diketahui, setelah per ubahan UUD 1945, DPR me miliki kewenangan yang sangat besar. Setelah penulis mencermati praktik bernegara yang ada, hampir tidak ada jabatan politik strategis yang tidak bersentuhan dengan DPR. Tidak hanya peran dalam bentuk `pertimbangan', `persetujuan', `dipilih', dan `diajukan' dalam proses pengisian sejumlah lembaga atau komisi negara dalam UUD 1945, peran DPR juga bersentuhan dengan pengisian komisi/institusi yang dibentuk karena perintah UU. Karena itu, perombakan total menjadi sebuah keniscayaan.

Upaya perombakan yang perlu dipikirkan dengan serius ialah bagaimana mencegah agar institusi DPR tidak dijadikan sebagai alat untuk meraih kepentingan sempit dan sesaat oleh parpol dan elite parpol. Pilihan yang paling mungkin di lakukan ialah membuat desain sedemikian rupa agar proses politik dilakukan secara terbuka.

Dalam pengertian itu, semua proses politik di DPR ialah hasil pergulatan di internal DPR. Salah satu caranya tidak boleh lagi ada aturan yang membenarkan penunjukan pimpinan DPR yang dilakukan parpol. Selain itu, otoritas besar dalam pengisian jabatan publik harus dikembalikan kepada mekanisme checks and balances.

Kiranya, dalam waktu dekat semua gagasan perombakan tersebut harus direalisasikan. Apalagi, saat ini dipersiapkan draf rancangan UU untuk mengganti atau merevisi UU No 27/2009. Yang tidak kalah pentingnya, revisi tersebut harus sudah selesai sebelum ha sil Pemilu Legislatif 2014 diketahui. Jangan ulangi lagi kesalahan 2009, banyak ruang gelap tercipta karena UU No 27/2009 disetujui setelah hasil pemilu legislatif diketahui. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar