|
Ada berita
bahwa Universitas Sam Ratulangi yang biasa disingkat Unsrat itu mewajibkan
mahasiswa S-1 dan S-2 menulis tangan naskah akademik mereka (Kompas, 31/8/2013). Peraturan tersebut
dimaksudkan untuk memerangi budaya penjiplakan.
Pertanyaannya
ialah, kalau Unsrat yakin bahwa peraturan itu merupakan langkah kreatif yang
efektif, mengapa tidak diberlakukan juga bagi mahasiswa S-3? Peraturan yang
aneh ini mengundang celetukan sinis Mang Usil: ”Lama-lama harus ditulis di atas daun lontar, prof?" (Kompas, 2/9/2013).
Penjiplakan
dilakukan bukan saja oleh mahasiswa, melainkan juga oleh dosen dan peneliti.
Bertahun-tahun yang lalu ada mahasiswa S-3 di UGM yang ketahuan menjiplak karya
mahasiswa S-1. Maka oleh Dewan Guru Besar UGM yang diketuai Prof Ir Boma W
Tyoso, MSc PhD (almarhum), gelar doktor si penjiplak dicabut.
Di Unpar juga
ada dosen/peneliti yang menjiplak. Ia secara ksatria mengakui kesalahannya dan
mengundurkan diri. Di BMKG Dr Ratag mengundurkan diri sebagai protes terhadap
penjiplakan yang dilakukan oleh atasannya. Karena penjiplakan itu, kenaikan
pangkat atasannya lalu dibatalkan.
Ada juga dosen
yang mengajukan permohonan kenaikan JaFA (Jabatan Fungsional Akademik)-nya
untuk menjadi guru besar dan diketahui oleh Dikti bahwa karya ilmiah yang
dilampirkan pada permohonan itu jiplakan.
Pada waktu itu
(dua tahun lalu) sumber di Program Doktor UNS mengatakan bahwa proses penilaian
kepantasan dosen untuk menjadi guru besar diperketat.
Konon semua
usulan disaring sendiri oleh Dirjen Dikti. Entah apakah ini benar atau tidak.
Akan tetapi, teman yang anggota AIPI tidak setuju dengan cara pengetatan itu.
Sebab, Dirjen Dikti tidak mempunyai waktu untuk meneliti sekian banyaknya
berkas usulan yang masuk. Lagi pula, kompetensinya untuk menilai karya-karya
ilmiah di luar bidang keahlian dapat dipertanyakan.
Skripsi dan tesis
Kalau yang
dimaksudkan Unsrat dengan ”naskah akademik” mahasiswa ialah makalah yang
terkait dengan mata kuliah yang sedang diambil, ”wajib tulis-tangan” itu agak
masuk akal. Setidak-tidaknya itu akan sedikit menyulitkan mahasiswa yang
menjiplak.
Asumsinya di
sini adalah bahwa kelasnya besar sehingga tidak ada waktu untuk mewajibkan
setiap mahasiswa mempresentasikan makalah di kelas, menanggapi kritik dari
teman-temannya, dan menjawab pertanyaan dosen.
Kalau cara
Unsrat itu ternyata tidak efektif, kewajiban membuat skripsi lebih baik dihapus
saja. Bahkan, di S-2 ada baiknya dibuka jalur tanpa tesis sebagai opsi di
samping jalur tesis. Misalnya, bobot SKS dari tesis diganti dengan mata kuliah
aras S-2 yang SKS-nya sama.
Untuk skripsi
dan tesis, yang lebih ampuh ialah bimbingan dosen sepanjang proses penyusunan
dan sidang ujian pertahanan karya ilmiah itu. Penjiplakan akan terdeteksi oleh
dosen pembimbing dalam proses konsultasi.
Kalau
mahasiswa melakukan penelitian dan membuat tesis itu sendiri, pastilah ia mampu
menyajikan tesis itu dengan baik dan jelas. Pastilah ia mampu pula menjawab
pertanyaan-pertanyaan para penguji. Kuncinya di sini adalah konsistensi dalam
menjalankan prosedur dan peraturan akademik. Jangan ada yang diluluskan hanya
karena kasihan.
Sanksi dosen
Rasanya tidak
adil kalau sanksi atas penjiplakan tesis atau disertasi hanya dijatuhkan kepada
si mahasiswa. Lulusan S-3 di UGM yang gelar doktornya kemudian dicabut yang
diceritakan di atas tentulah tidak benar-benar dibimbing oleh promotornya.
Sebut sajalah ini kasus IA-IA sebab initial promovendus-nya IA dan inisial
promotornya juga IA. Maklum, promotornya ialah rektor, yang pasti sangat sibuk.
Seharusnya sang promotor juga diberi sanksi, minimum sanksi sosial yang membuat
dia malu.
Di universitas
yang baik di luar negeri, promotor yang promovendus atau promovendanya gagal
dalam sidang pertahanan disertasi biasanya mengundurkan diri saking malunya.
Di Vrije
Universiteit Amsterdam, beberapa bulan yang lalu ada promovenda yang sudah siap
maju dalam sidang pertahanan lisan disertasinya. Tanggal sidang terbuka pun
sudah ditetapkan. Namun, secara mendadak ujian terbuka itu dibatalkan atau
ditunda.
Disertasi itu
untuk memperoleh gelar doktor di bidang Ekonomika. Promotornya, Prof Peter
Nijkamp, adalah seorang guru besar yang cukup ternama. Konon dekan fakultasnya,
Prof Verbruggen, mendapat info bahwa terdapat ”ketaktelitian” dalam disertasi
promovenda tersebut dan ada ”potential malpractice”. Padahal, KK (promovenda
tersebut) dinominasikan untuk memperoleh Amsterdam
Science & Innovation Award 2013.
Dari delapan
publikasi promovenda itu, enam di antaranya ditulis bersama dengan Nijkamp.
Konon si promovenda itu dalam publikasinya mencantumkan gelar doktor di depan
namanya. Padahal, dia belum doktor, dan Nijkamp pun semestinya tahu tentang hal
itu.
”Kasus KK” ini
menunjukkan bahwa ada pertimbangan etika dalam program S-3 di Vrije
Universiteit Amsterdam. Terungkapnya kasus KK ini dan perbincangannya di media
sosial merupakan salah satu bentuk sanksi sosial terhadap sang promotor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar