Sabtu, 23 Maret 2013

Menakar Reaksi Kapolres OKU


Menakar Reaksi Kapolres OKU
Reza Indragiri Amriel  ;  Penerima Asian Public Intellectual Fellowship, 
Peserta Community Policing Development Program di Jepang
KORAN SINDO, 22 Maret 2013
  

Sudah berbilang pekan, tapi masyarakat masih belum memperoleh kejelasan tentang mengapa Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU) bisa dengan begitu mudahnya dibumihanguskan oleh seratusan oknum TNI. 

Tak pelak, sebagai konsekuensi organisasi yang berbasis pada garis komando, pertanyaan pun tertuju pada peran Kepala Polres (Kapolres) OKU menjelang penyerbuan berlangsung. Polri barangkali masih butuh waktu untuk menuntaskan investigasinya atas absennya reaksi para personel Polres OKU terhadap kelompok penyerbu. 

Apa pun itu, lagi-lagi publik menangkap kesan kelambanan Polri—dibandingkan dengan TNI—dalam menyikapi situasi krisis setelah kejadian OKU. Sebelumnya, pihak TNI telah lebih dulu menyampaikan pernyataan kepada publik perihal peristiwa tersebut. Kini kembali TNI lebih cepat mengumumkan hasil investigasi internalnya. 

Apa boleh buat. Apabila disepakati asumsi bahwa Kapolres OKU lamban dalam bereaksi, kelambanan itu bisa jadi merupakan cerminan pola respons yang sama yang diperagakan oleh Mabes Polri. Langkah penyelidikan yang dilakukan Mabes Polri seyogianya menguak misteri di balik mengapa Kapolres OKU tidak memerintahkan anak buahnya bersiap mengantisipasi serangan. 

Sulit dipercaya jika Kapolres OKU berdalih bahwa keputusan untuk tidak menahan serbuan oknum TNI semata-mata guna mencegahmemburuknyasituasi. Sebagai bagian dari sebuah institusi yang memiliki kebanggaan jiwa korsa, ditambah dengan keberadaan senjata di gudang amunisi, keputusan untuk tidak melawan serangan eksternal sangat mungkin tak disertai pertimbangan memadai. 

Apalagi jika benar selentingan bahwa petinggi TNI di OKU sempat menelepon, mengingatkan Kapolres OKU tentang kemungkinan datangnya sepasukan (oknum) tentara yang akan melancarkan operasi brutal. Tindakan Kapolres OKU yang tidak menindaklanjuti informasi tersebut benar-benar merisaukan sekaligus mengkhawatirkan. 

Sejumlah spekulasi dapat diajukan untuk menjelaskan keputusan Kapolres OKU yang tidak bereaksi terhadap kelompok penyerang. Pertama, Kapolres OKU tidak memandang serius informasi mengenai ancaman yang akan menyergap. False negative (menganggap tidak ada sesuatu yang ada) dalam situasi tersebut bisa bersumber dari penyimpangan kognitif berupa hindsight bias. 

Bias ini ditandai oleh kecenderungan kuat untuk terlalu yakin pada kemampuan diri sendiri dalammenghindari risiko buruk, bahkan melumpuhkan sumber bahaya. Hindsight bias berlangsung sebagai akibat tidak adanya devil’s advocate yang bertugas mengkritik pihak pengambil keputusan. Peran staf sangat minimal, karena pemimpin terlalu dominan. 

Untuk memastikan kemungkinan berlangsungnya hindsight bias sebagai latar belakang penyepelean ancaman, perlu ditelisik pola komunikasi antara Kapolres OKU dan para bawahannya selama ini. Kemungkinan kedua, Kapolres OKU lupa akan informasi yang sudah dia terima. Kelupaan bukan manifestasi penyepelean, melainkan sebagai akibat tingginya tugas-tugas yang Kapolres OKU hadapi. 

Manakala tugas menjadi begitu kompleks, kognisi individu bereaksi secara alamiah dengan mengurangi beban kognitif tersebut lewat pembuangan sebagian informasi/data dari memori. Untuk menakar beban kognitif Kapolres OKU menjelang hari penyerbuan, dapat diperiksa agenda pekerjaan yang sedang dia tangani. Jenis dan bobot pekerjaan, tenggat waktu, manajemen penugasan kepada bawahan, serta kondisi kesehatan dan keadaan domestik Kapolres OKU adalah beberapa unsur yang dapat memberikan indikasi keletihan kognitif individu yang bersangkutan. 

Kemungkinan berikutnya adalah Kapolres OKU tidak sempat mengerahkan para personelnya untuk mengambil langkah-langkah pengamanan diri. Dengan kata lain, Kapolres OKU tidak lupa apalagi menyepelekan potensi ancaman, tapi semata-mata dia tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengatur strategi respons. Di sinilah standar penanganan situasi krisis perlu dievaluasi. 

Naik ke level Mabes Polri, sudah memadaikah standar prosedur pengamanan markas dan penanggulangan anarki tersebut— termasuk kapan terakhir kali standar tersebut direviu dan direvisi. Seandainya tidak ada standar nasional, seberapa jauh Kapolres OKU berinisiatif mendesain standar penanganan krisis pada tingkat lokal. Pengecekan terhadap hal-hal tersebut akan menghasilkan gambaran pemahaman dan derajat kepekaan Kapolres OKU terkait peta situasi di tempatnya bertugas. 

Spekulasi keempat, ini yang terburuk, adalah pupusnya kepedulian sebagai imbas demoralisasi. Apatisme, termasuk terhadap keselamatan diri sendiri, bisa muncul akibat terpaan tekanan-tekanan eksternal terhadap lembaga kepolisian. Ada kemungkinan tidak adanya antisipasi yang dilakukan Kapolres OKU terhadap serangan oknum-oknum TNI disebabkan oleh faktor majemuk. 

Dengan telaah secara cermat, diharapkan ditemukan penjelasan tentang interaksi antara dimensi individual dan dimensi organisasional. Investigasi internal yang saya maksudkan tidak sebatas untuk keperluan permintaan tanggung jawab Kapolres OKU. Lebih luas lagi, temuan yang diperoleh selanjutnya dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Polri sebagai materi penajaman kurikulum serta oleh divisi sumber daya manusia untuk tujuan penentuan kriteria kompetensi. 

Konkretnya, tim investigasi yang Mabes Polri utus ke OKU sepatutnya tidak hanya terdiri atas personel Propam. Personel Lemdik, SDM, dan Humas perlu diikutsertakan. Dengan demikian, meski terkesan lamban, paling tidak Polri bisa menunjukkan ke publik betapa penanganan internal Polri setelah peristiwa OKU berlangsung jauh lebih komprehensif dan progresif.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar