KPK di
Tengah Pusaran Oligarki
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas
Airlangga, Kandidat PhD
Asia Research Center Murdoch University
|
|
KORAN
SINDO, 22 Maret 2013
Gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
selama beberapa bulan terakhir dapat dikatakan sangat fenomenal sekaligus
kontroversial, mengguncangkan jagat politik di Indonesia.
Fenomenal karena dalam beberapa waktu terakhir KPK telah menetapkan sebagai
tersangka dua petinggi utama partai besar di Indonesia, yaitu Presiden PKS
Luthi Hasan Ishaaq dalam kasus kuota impor sapi dan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus Kompleks Olahraga Bukit Hambalang.
Deru langkah KPK ini juga menjadi begitu kontroversial terkait dengan
penetapan sebagai tersangka Anas Urbaningrum yang terjadi bersamaan dengan
berlangsungnya konflik keras di lingkup internal Partai Demokrat antarfaksi
politik di dalamnya. Beberapa kalangan melihat pertarungan ini sebagai
pertarungan antara pihak Pandawa (simbol kebaikan) melawan pihak Kurawa
(simbol keburukan). Namun tulisan ini tidak akan menyimpulkan siapa Kurawa
dan siapa Pandawa.
Mengingat dalam konstruksi politik Indonesia yang dalam arus utama pusarannya
dikuasai gurita kekuasaan oligarkis, metafora epos Mahabharata dalam
konteks ini memiliki problem di dalamnya ketika ditetapkan di awal.
Pembelahan antara representasi kebaikan dan keburukan tidak dapat dilihat
secara terang sejak awal apabila kita menggunakan analisis ekonomi-
politik,
yaitu saat kita memahami bahwa dinamika politik Indonesia pasca- otoritarianisme
masih dikuasai aliansi kekuasaan oligarkis bisnis-politik yang bekerja
melalui mekanisme perburuan rente. Dalam peta ekonomi-politik inilah kita
semestinya membaca baik posisi dan tantangan yang dihadapi KPK dan posisi
dari kekuatankekuatan politik yang tengah bertikai.
Intervensi Kekuasaan
Salah satu titik panas utama investigasi KPK dalam kasus penetapan Anas
Urbaningrum sebagai tersangka adalah dugaan terjadinya intervensi oleh
kekuasaan. Peristiwa ini menjadi sebuah kontroversi tersendiri bukan hanya
karena figur Anas Urbaningrum sebagai figur cerdas, brilian dan berprospek
sebagai pemimpin masa depan, namun terdapat indiksi politis yang menarik
dalam fenomena ini.
Bukan untuk tergesa menuduh KPK diintervensi, namun untuk mewaspadai dalam
habitat politik yang dikuasai oleh aktor-aktor politik predatoris, tendensi
kekuasaan dan kepentingan politik memiliki peluang masuk dalam berjalannya
proses hukum. Sekitar seminggu sebelum penetapan Anas Urbaningrum menjadi
tersangka, terjadi hiruk-pikuk dan geger politik di dalam tubuh partai
berlambang mercy ini.
Sesaat setelah Susilo Bambang Yudhoyono di Mekkah menyatakan agar KPK
memperjelas posisi Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang, terjadi berbagai
manuver politik di Demokrat. Mulai dari seruan para petinggi Demokrat untuk
mengganti nakhoda kapal Partai Demokrat, tindakan Presiden SBY untuk
mengambil alih wewenang DPP melalui Majelis Tinggi Demokrat sampai
mundurnya Edhi Baskoro dari DPR RI.
Dugaan publik akan manuver kekuasaan semakin kuat ketika pada 14 Februari
2013 surat perintah penyidikan (sprindik) KPK atas Anas Urbaningrum bocor
ke publik. Semua tindakan politik tersebut berlangsung di saat Anas
Urbaningrum tidak memiliki status hukum apa pun dan belum ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK.
Tentu hal ini tidak serta-merta membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa
KPK menjadi bagian dari instrumen kekuasaan. Mengingat terjadinya langkah
yang bersamaan antara politik dan hukum tidak harus berarti terjadi
penunggangan satu peristiwa atas peristiwa yang lain. Namun bertemunya
kedua langkah hukum dan nonhukum tersebut membuat publik bertanya- tanya
akan independensi KPK di hadapan kekuasaan.
Dinamika Oligarki
Untuk mempertimbangkan bagaimana kemungkinan masuknya intervensi kekuasaan
dalam langkah KPK ini, ada baiknya kita menimbang pandangan Jeffrey Winters
(2011) dalam Oligarchy ketika menjelaskan model oligarki postsultanik
seperti di Indonesia pasca-Orde Baru. Apabila pada fase
oligarkisultanikeraSoeharto, sang oligarkh Sultan Soeharto memiliki
kekuasaan untuk memonopoli alat-alat pemaksaan berupa lembaga hukum,
politik, dan militer untuk mempertahankan dan mengakumulasi kekayaan serta
kuasa secara terpusat.
Setelah sang Sultan lengser, kondisi berubah tapi tidak serta-merta memberi
dukungan bagi penguatan reformasi ekonomi-politik di Indonesia.
Pasca-Reformasi 1998, Indonesia bergerak menuju oligarki post-sultanik
setelah para samurai politik yang sebelumnya berlindung di bawah patronase
Soeharto kemudian muncul dan tak terkendali menjadi ronin (samurai tanpa
tuan) politik baru yang menguasai ruang politik Indonesia.
Di tengah berserak dan lemahnya kekuatan kelas menengah dan masyarakat
sipil, para ronin politik tersebut menguasai arena ekonomi-politik melalui
partai di tengah gagapnyainstrumenlembaga- lembaga hukum untuk
mendisiplinkan setiap manuver-manuver politik mereka. Ronin-ronin politik
baru inilah yang sekarang tengah mengembangkan kendali kuasanya untuk
menjadi sultan-sultan baru dengan jejaring politik dinasti yang tengah
mereka bangun.
Dalam kondisi proses akuisisi ruang ekonomi-politik Indonesia oleh para
ronin oligarkis inilah institusi penegak hukum seperti KPK lahir dan
mendayung di tengah tantangan ombak badai kuasa oligarkis. Beberapa
gebrakan politik yang dilakukan KPK, terkait penetapan sebagai tersangka
beberapa petinggi partai menunjukkan bahwa yang dihantam KPK adalah lapisan
kelompok tengah yang selama ini menjadi penopang operasi kuasa oligarkis.
Menariknya, penetapan Anas Urbaningrum menjadi tersangka KPK, terjadi
bersamaan dengan konflik terbuka antara lapisan tengah oligarkis dan
lapisan utama oligarkis di lingkup internal Partai Demokrat. Situasi inilah
yang di satu sisi membuat publik masih bersikap sanksi apakah KPK berani
mengusut perputaran uang secara tuntas dalam kasus-kasus panas yang
ditanganinya dan di sisi lain publik mengharapkan agar KPK menjadi
institusi hukum bermental beton.
Publik mengharapkan KPK menjadi institusi yang tidak bersikap tebang pilih
dan memiliki keberanianuntukmenuntaskan kasus-kasus korupsi ini sampai ke
jantung oligarkis. Dengan demikian pertarungan melawan korupsi bagi KPK
menjadi sebuah pertarungan menentukan dalam kelanjutan reformasi dan
demokratisasi di Indonesia. Saat KPK terbukti mampu untuk meneruskan
perlawanan terhadap korupsi sampai ke pusat-pusat oligarkis di mana praktik
akumulasi kekayaan dan pertahanan kekayaan dilakukan melalui mekanisme
perburuan rente,
maka dirinya berhasil menepis secara tuntas dugaan intervensi kekuasaan di
dalam dirinya. Apabila KPK gagal membongkar praktik perputaran uang dalam
berbagai skandal yang tengah bergulir, risikonya kita akan menyaksikan
konsolidasi utuh kekuatan oligarkis karena terbukti mereka untouchable. Namun ketika tour of duty KPK ini berhasil, kita
akan menyaksikan lahirnya lakon-lakon Pandawa baru di tengah destabilisasi
oligarki di Tanah Air kita. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar