Sabtu, 23 Maret 2013

KPK di Tengah Pusaran Oligarki


KPK di Tengah Pusaran Oligarki
Airlangga Pribadi Kusman ;  Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
KORAN SINDO, 22 Maret 2013


Gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama beberapa bulan terakhir dapat dikatakan sangat fenomenal sekaligus kontroversial, mengguncangkan jagat politik di Indonesia. 

Fenomenal karena dalam beberapa waktu terakhir KPK telah menetapkan sebagai tersangka dua petinggi utama partai besar di Indonesia, yaitu Presiden PKS Luthi Hasan Ishaaq dalam kasus kuota impor sapi dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus Kompleks Olahraga Bukit Hambalang. 

Deru langkah KPK ini juga menjadi begitu kontroversial terkait dengan penetapan sebagai tersangka Anas Urbaningrum yang terjadi bersamaan dengan berlangsungnya konflik keras di lingkup internal Partai Demokrat antarfaksi politik di dalamnya. Beberapa kalangan melihat pertarungan ini sebagai pertarungan antara pihak Pandawa (simbol kebaikan) melawan pihak Kurawa (simbol keburukan). Namun tulisan ini tidak akan menyimpulkan siapa Kurawa dan siapa Pandawa. 

Mengingat dalam konstruksi politik Indonesia yang dalam arus utama pusarannya dikuasai gurita kekuasaan oligarkis, metafora epos Mahabharata dalam konteks ini memiliki problem di dalamnya ketika ditetapkan di awal. Pembelahan antara representasi kebaikan dan keburukan tidak dapat dilihat secara terang sejak awal apabila kita menggunakan analisis ekonomi- politik, 

yaitu saat kita memahami bahwa dinamika politik Indonesia pasca- otoritarianisme masih dikuasai aliansi kekuasaan oligarkis bisnis-politik yang bekerja melalui mekanisme perburuan rente. Dalam peta ekonomi-politik inilah kita semestinya membaca baik posisi dan tantangan yang dihadapi KPK dan posisi dari kekuatankekuatan politik yang tengah bertikai. 

Intervensi Kekuasaan 

Salah satu titik panas utama investigasi KPK dalam kasus penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka adalah dugaan terjadinya intervensi oleh kekuasaan. Peristiwa ini menjadi sebuah kontroversi tersendiri bukan hanya karena figur Anas Urbaningrum sebagai figur cerdas, brilian dan berprospek sebagai pemimpin masa depan, namun terdapat indiksi politis yang menarik dalam fenomena ini. 

Bukan untuk tergesa menuduh KPK diintervensi, namun untuk mewaspadai dalam habitat politik yang dikuasai oleh aktor-aktor politik predatoris, tendensi kekuasaan dan kepentingan politik memiliki peluang masuk dalam berjalannya proses hukum. Sekitar seminggu sebelum penetapan Anas Urbaningrum menjadi tersangka, terjadi hiruk-pikuk dan geger politik di dalam tubuh partai berlambang mercy ini. 

Sesaat setelah Susilo Bambang Yudhoyono di Mekkah menyatakan agar KPK memperjelas posisi Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang, terjadi berbagai manuver politik di Demokrat. Mulai dari seruan para petinggi Demokrat untuk mengganti nakhoda kapal Partai Demokrat, tindakan Presiden SBY untuk mengambil alih wewenang DPP melalui Majelis Tinggi Demokrat sampai mundurnya Edhi Baskoro dari DPR RI. 

Dugaan publik akan manuver kekuasaan semakin kuat ketika pada 14 Februari 2013 surat perintah penyidikan (sprindik) KPK atas Anas Urbaningrum bocor ke publik. Semua tindakan politik tersebut berlangsung di saat Anas Urbaningrum tidak memiliki status hukum apa pun dan belum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. 

Tentu hal ini tidak serta-merta membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa KPK menjadi bagian dari instrumen kekuasaan. Mengingat terjadinya langkah yang bersamaan antara politik dan hukum tidak harus berarti terjadi penunggangan satu peristiwa atas peristiwa yang lain. Namun bertemunya kedua langkah hukum dan nonhukum tersebut membuat publik bertanya- tanya akan independensi KPK di hadapan kekuasaan. 

Dinamika Oligarki 

Untuk mempertimbangkan bagaimana kemungkinan masuknya intervensi kekuasaan dalam langkah KPK ini, ada baiknya kita menimbang pandangan Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy ketika menjelaskan model oligarki postsultanik seperti di Indonesia pasca-Orde Baru. Apabila pada fase oligarkisultanikeraSoeharto, sang oligarkh Sultan Soeharto memiliki kekuasaan untuk memonopoli alat-alat pemaksaan berupa lembaga hukum, politik, dan militer untuk mempertahankan dan mengakumulasi kekayaan serta kuasa secara terpusat. 

Setelah sang Sultan lengser, kondisi berubah tapi tidak serta-merta memberi dukungan bagi penguatan reformasi ekonomi-politik di Indonesia. Pasca-Reformasi 1998, Indonesia bergerak menuju oligarki post-sultanik setelah para samurai politik yang sebelumnya berlindung di bawah patronase Soeharto kemudian muncul dan tak terkendali menjadi ronin (samurai tanpa tuan) politik baru yang menguasai ruang politik Indonesia. 

Di tengah berserak dan lemahnya kekuatan kelas menengah dan masyarakat sipil, para ronin politik tersebut menguasai arena ekonomi-politik melalui partai di tengah gagapnyainstrumenlembaga- lembaga hukum untuk mendisiplinkan setiap manuver-manuver politik mereka. Ronin-ronin politik baru inilah yang sekarang tengah mengembangkan kendali kuasanya untuk menjadi sultan-sultan baru dengan jejaring politik dinasti yang tengah mereka bangun. 

Dalam kondisi proses akuisisi ruang ekonomi-politik Indonesia oleh para ronin oligarkis inilah institusi penegak hukum seperti KPK lahir dan mendayung di tengah tantangan ombak badai kuasa oligarkis. Beberapa gebrakan politik yang dilakukan KPK, terkait penetapan sebagai tersangka beberapa petinggi partai menunjukkan bahwa yang dihantam KPK adalah lapisan kelompok tengah yang selama ini menjadi penopang operasi kuasa oligarkis. 

Menariknya, penetapan Anas Urbaningrum menjadi tersangka KPK, terjadi bersamaan dengan konflik terbuka antara lapisan tengah oligarkis dan lapisan utama oligarkis di lingkup internal Partai Demokrat. Situasi inilah yang di satu sisi membuat publik masih bersikap sanksi apakah KPK berani mengusut perputaran uang secara tuntas dalam kasus-kasus panas yang ditanganinya dan di sisi lain publik mengharapkan agar KPK menjadi institusi hukum bermental beton. 

Publik mengharapkan KPK menjadi institusi yang tidak bersikap tebang pilih dan memiliki keberanianuntukmenuntaskan kasus-kasus korupsi ini sampai ke jantung oligarkis. Dengan demikian pertarungan melawan korupsi bagi KPK menjadi sebuah pertarungan menentukan dalam kelanjutan reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Saat KPK terbukti mampu untuk meneruskan perlawanan terhadap korupsi sampai ke pusat-pusat oligarkis di mana praktik akumulasi kekayaan dan pertahanan kekayaan dilakukan melalui mekanisme perburuan rente, 

maka dirinya berhasil menepis secara tuntas dugaan intervensi kekuasaan di dalam dirinya. Apabila KPK gagal membongkar praktik perputaran uang dalam berbagai skandal yang tengah bergulir, risikonya kita akan menyaksikan konsolidasi utuh kekuatan oligarkis karena terbukti mereka untouchable. Namun ketika tour of duty KPK ini berhasil, kita akan menyaksikan lahirnya lakon-lakon Pandawa baru di tengah destabilisasi oligarki di Tanah Air kita. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar