Jumat, 15 Maret 2013

Kapan Berhenti Jadi Agen Penjualan?


Kapan Berhenti Jadi Agen Penjualan?
J Supranto ;  Ahli Peneliti Utama Bidang Ekonomi dan Manajemen,
Guru Besar Statistik UPI YAI
MEDIA INDONESIA, 14 Maret 2013


SEWAKTU saya mengikuti seminar ilmu pengetahuan di Seoul, Korea Selatan, saya membaca artikel dari majalah lokal dengan judul Korea tidak Mau lagi Menjadi Agen Penjualan Jepang!. Negeri itu memang pernah dijajah Jepang selama 3,5 tahun.

Timbul pertanyaan dalam hati saya, kapan Indonesia berhenti menjadi agen penjualan? Kenyataan menunjukkan Indonesia bukan hanya menjadi agen penjualan barang-barang Jepang, melainkan juga menjadi agen Taiwan, China, Korea, Thailand, Amerika, Jerman, Inggris, Prancis, dan negara Eropa lainnya.

Korea berani sesumbar tidak mau lagi menjadi agen Jepang karena mereka sudah menguasai teknologi, mampu memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi seperti mobil, televisi, komputer, telepon seluler, dan alat untuk mendeteksi jenis penyakit. Korea sebagai produsen memiliki barang. Indonesia sebagai penjual dan sekaligus sebagai pengguna barang karena belum menguasai teknologi. Indonesia juga belum mampu memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi berdasarkan bahan mentah asal negeri sendiri.

Mengapa dan bagaimana agar bisa cepat berhenti menjadi agen penjualan? Selama Indonesia tidak menguasai teknologi dan tidak segera berusaha menguasainya, selamanya akan menjadi agen penjualan, menjadi suruhan bangsa lain. Ini ironis sekali. Setelah mampu menguasai teknologi dan sekaligus mampu memproduksi barang bernilai ekonomi tinggi, pada saat itulah Indonesia baru bisa berhenti menjadi agen penjualan. Lalu kapan? Eksperimen yang menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi harus dilakukan!

Penelitian melalui eksperimen untuk menghasilkan barang bernilai ekonomi tinggi merupakan proses yang lama dan memerlukan biaya tinggi. Hanya pemerintah dan perusahaan swasta besar yang mampu melakukannya. Menghasilkan barang bernilai ekonomi tinggi yang bisa memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan luar negeri melalui ekspor memerlukan eksperimen atau percobaan-percobaan yang belum tentu berhasil. Artinya barang jadi yang dihasilkan belum pasti bisa diterima pasar/laku dijual. Itu merupakan risiko.

Dalam era globalisasi dengan persaingan bisnis sangat ketat, kiat agar produsen bisa memenangi persaingan harus mampu menghasilkan produk yang mutunya lebih baik, harganya lebih murah, penyerahan lebih cepat, dan pelayanan lebih baik jika dibandingkan dengan pesaing. Untuk melakukan perbandingan itu diperlukan data/statistik guna mengetahui d secara kuantitatif, berapa lebih s murah harganya, berapa lebih cepat penyerahannya, secara rata-rata.

Semua itu dilakukan agar pembeli mendapatkan kepuasan secara menyeluruh (total satisfaction) kemudian menjadi loyal dengan ciri bersedia membeli berkali-kali (repeat order) sehingga penjualan meningkat dan pada gilirannya laba juga akan meningkat. Produsen barang apa saja yang bernilai ekonomi tinggi harus mampu memproduksi barang yang bisa dijual karena memang dibutuhkan pembeli (seperti obat mujarab yang bisa menyembuhkan sakit jantung atau sakit kanker, atau barang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup). Jadi, bukan sekadar menjual barang yang bisa diproduksi.

Perbanyak Penelitian

Seperti telah disebutkan, penelitian bersifat eksperimen memerlukan waktu lama, biaya mahal, dan mengandung risiko, artinya bisa saja gagal. Namun, tanpa melakukan eksperimen yang bisa mengubah bahan mentah (raw material) menjadi barang bernilai ekonomi tinggi, jangan harap bangsa Indonesia mampu menghasilkan barang bermutu yang mampu bersaing di pasar internasional.

Misalnya dengan banyaknya jenis tanaman obat di Indonesia, dan melalui eksperimen, bisa ditemukan obat kanker, penyakit jantung, hingga jenis penyakit lainnya. Pengo batan penyakit tersebut amatlah mahal. Lebih hebat lagi kalau obat ter sebut bisa diekspor, setidaknya ke ne gara-negara tropis.

Di konferensi Colombo Plan di Rangoon (kini Yangon), Myamar, salah satu keputusan nya yang menyangkut kesehatan ialah obat penyakit orang tropis harus dihasilkan di daerah tropis melalui penelitian di daerah tropis pula. Obat yang cocok untuk orang Eropa belum tentu cocok untuk orang yang tinggal di daerah tropis karena daya tahan tubuh nya berbeda. Usahakan melalui eksperimen agar dapat dihasilkan produk yang dibutuhkan tidak saja oleh pasar dalam negeri, tetapi juga luar negeri yang dapat menghasilkan devisa.

Devisa itu dibutuhkan untuk mengimpor bahan mentah atau bahan baku yang masih sangat dibutuhkan tetapi Indonesia belum mampu memproduksinya sendiri. Produk yang dihasilkan melalui eksperimen seharusnya mampu bersaing di pasar internasional atau mampu bersaing dengan produk impor yang beredar di pasar dalam negeri, bukan produk sembarangan.

Bayangkan kalau Indonesia bisa menghasilkan durian yang manis, tanpa biji atau bijinya kecil/tipis, jeruk manis yang kulitnya kelihatan bersih dan segar/tidak kusam apalagi tanpa biji (seedless). Kita bisa menyaksikan durian monthong dari Thailand di pasar London, Inggris. Kapan Indonesia bisa mengekspor buah-buahan seperti Thailand?
Memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang berlimpah, salah satu kuncinya. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan Amerika. Itu berarti sumber daya manusia berlimpah. Indonesia juga terkenal akan kekayaan alamnya, yaitu laut yang luas dengan berbagai jenis ikan dan tanah yang luas dan subur, penuh dengan berbagai jenis tanaman dan berbagai jenis bahan tambang.

Apakah bangsa Indonesia sudah menikmati semua itu?
Ternyata belum karena masih banyak orang miskin. Kita masih membutuhkan orang-orang bermutu yang melalui eksperimen yang dilakukan bisa mengubah kekayaan alam menjadi barang bernilai ekonomi tinggi.

Serahkan ke Asing

Menurut Michael Porter, penulis buku The Competitive Advantage of Nation, faktor anugerah Tuhan (endowment factors) memang penting. Akan tetapi, lebih penting lagi faktor buatan manusia (man made factors). Sebagai contoh ikan di laut ditangkap dijadikan makanan dalam kaleng (bisa diekspor). Atau emas dibuat perhiasan, minyak bisa diolah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pesawat, mobil, kapal laut, hingga industri. Namun, semua itu harus dilakukan anak bangsa, untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa Indonesia. Bukan malah menyerahkan pengelolaannya kepada bangsa asing seperti sekarang ini. Bangsa ini harus mempunyai tenaga peneliti melalui eksperimen yang mampu mengubah sumber daya alam sebagai bahan mentah ke barang bernilai ekonomi tinggi, untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bangsa Jepang sangat menyadari bahwa tidak semua orang senang meneliti, apalagi melakukan eksperimen/percobaan. Itu sebabnya peneliti haruslah dihargai, kebutuhan hidupnya dipenuhi sehingga bisa konsentrasi penuh dengan tugasnya.

Pemerintah Singapura menawarkan kepada para peneliti agar mendatangkan ahli peneliti dari luar negeri. Berapa pun gaji yang diminta ahli tersebut akan dibayar pemerintah. Jangka waktunya hanya lima tahun dan pemerintah memberi syarat agar dalam waktu tersebut para peneliti Singapura sudah mampu menyerap (know how) ilmu. Cara itu sebenarnya bisa diterapkan di Indonesia asalkan pemerintah punya keinginan. Dengan demikian, Indonesia akan menjual barang produksi sendiri, bukan menjual barang bangsa lain, alias menjadi agen penjualan.

Harga Diri Bangsa

Menjadi agen penjualan bangsa lain memang tidak salah dan bisa dianggap sebagai proses pembelajaran, bagaimana cara memasarkan agar barang laku dijual. Sebagai proses pembelajaran tentu waktunya terbatas. Kalau terus-menerus menjadi agen penjualan milik bangsa lain, pasti harga diri sebagai suatu bangsa akan jatuh karena menjadi pesuruh saja.

Kita sebagai bangsa memerlukan pimpinan yang mampu meningkatkan harga diri bangsa. Jangan membiarkan bangsa ini menjadi pesuruh bangsa lain untuk menjualkan barangnya. Kalau Korea bisa, mengapa Indonesia tidak? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar