Tahun
politik 2013 terlalu dini gaduh. Baru memasuki bulan Maret saja, iklim
politik negeri sudah panas. Elite politik saling sikut dan serang. Perang
urat saraf di media massa pun menjadi menu harian.
Panasnya
perpolitikan Tanah Air tak lepas dari kasus rumah tangga Partai Demokrat
yang menyeret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY berdiri
atas nama Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengambil alih kewenangan.
Pada saat bersamaan Anas Urbaningrum, sang ketua akhirnya ditetapkan
sebagai tersangka korupsi Hambalang.
Anas
melawan penetapan ini. Ia berikrar akan membuka lembaran-lembaran baru dari
buku catatannya. Kini berembus kabar Anas sudah mulai membuka skandal Bank
Century.
Gaduh
politik di pusat ternyata merembet ke daerah. Daerah kembali memanas, salah
satunya di Papua. Peristiwa tersebut seakan menjadi bukti Republik ini
penuh dengan kegaduhan—kalau tidak mau disebut anarkisme. Mengapa Republik
ini gaduh?
Humanisasi
Kegaduhan
yang terjadi saat ini menunjukkan betapa keadaban publik sudah mulai
luntur. Proses humanisasi dalam terma pembudayaan ala Driyarkara sudah
semakin terpinggirkan.
Proses
humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek manusia Indonesia
yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur
hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat hingga keragaman sebagai
bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang demokratis dan berkepastian
hukum, di mana setiap kemajemukan dihormati dengan keberlainannya, dan
belajar hidup saling damai sebagai warga negara Indonesia.
Humanisasi
pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup
bersama semakin manusiawi, semakin menyejahterakan satu sama lain, karena
orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya.
Humanisasi
dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala
(homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia
memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini
socius) (Mudji Sutrisno, 2009).
Namun,
proses humanisasi tersebut belum mampu berjalan sebagaimana mestinya.
Manusia Indonesia masih saja menjadi serigala bagi orang lain. Saling
memangsa dan menyerang pada saat sempit maupun luang.
Perilaku
bengis membela kepentingan pribadi dan golongan seperti menjadi sebuah
keharusan. Tidak ada rasa saling memiliki sesama. Orang lain adalah musuh.
Mereka adalah ancaman. Sikap saling curiga semakin menyulut emosi.
Lebih
lanjut, keadaban publik hanya ada dalam ucapan. Namun, dalam perilaku kita
saling serang bahkan saling bunuh. Membunuh seperti menjadi sesuatu yang
halal. Padahal pekerjaan ini tidak mencerminkan perilaku kemanusiaan.
Perilaku itu tak lebih seperti hewan. Nafsu hewaniyah berdiri di atas
kemanusiaan yang mulia. Sebuah potret perilaku hidup yang timpang dan salah
arah.
Kegalauan Bangsa
Kondisi
yang demikian justru menjadi mantra pemimpin bangsa ini. Mereka saling
terkam, membunuh karakter, dan saling jegal. Aksi tipu-menipu tidak pernah
luput dari keseharian mereka.
Ketika
para pemimpin bangsa masih menjadi homo homini lupus maka tidak aneh jika
masyarakat di akar rumput menjadi lebih beringas. Keberingasan mereka
tampak dengan mudahnya disulut emosi dan melakukan aksi-aksi ala masyarakat
bawah, membakar (obong) dan saling bunuh.
Hal
tersebut tentunya berbeda dengan tabiat pemimpin kita. Mereka korupsi
berbarengan dan saling membentengi guna menyelamatkan “aset bersama”.
Kesejahteraan hanya milik penguasa tanpa pernah terdistribusi kepada
masyarakat kelas bawah.
Jangan
sampai teman sejawat masuk ke penjara. Pasalnya, ketika teman masuk
penjara, banyak orang yang terseret. Gerbong golongan/partai politik akan
tercoreng. Saling melindungi menjadi agenda wajib. Aparat penegak hukum
(KPK) pun perlu dilemahkan guna memuluskan “agenda golongan” ini. Tujuannya
hanya satu “menyelamatkan rumah partai”.
Menilik
kondisi demikian, tidak aneh jika proses humanisasi belum bergerak menuju homo homini socius. Masyarakat
Indonesia masih terkotak dalam fragmen-fragmen.
Mereka
berkumpul bukan atas nama ke-Indonesia-an, melainkan atas nama “kepentingan
bersama”. Ke-Indonesia-an telah usang dalam hati mereka. Bendera partai dan
kelompok wajib dijaga. “Walaupun negara ambruk yang penting panji partai
tetap tegak,” celetuk mereka.
Kebangsaan
yang ditandai semangat Pancasila dan UUD 1945 tidak menjadi semangat hidup
bersama (society). Dua nilai
luhur bangsa Indonesia seakan telah tercabut dari akar budaya masyarakat.
Ironisnya, nilai-nilai tersebut hanya menjadi mata pelajaran yang dihafal di
bangku sekolah. Hafalan yang miskin makna dan tanpa bekas.
Maka
dari itu, pawiyatan (pendidikan) sudah selayaknya mulai menyadari kondisi
demikian. Jika sekolah masih berkutat dengan rutinitas dan “menjunjung
tinggi” ritual pendidikan ala Barat maka kondisi kebangsaan akan semakin
kronis. Pasalnya, masyarakat tidak dididik menjadi pribadi yang berkarakter
(pinter dan pener).
Pada
akhirnya, apa yang terjadi di pusat dan polah tingkat elite politik saat
ini merupakan sebuah jawaban atas kegalauan bangsa. Bangsa tanpa panglima
atau pemimpin (auto pilot). Jika
kondisi ini tidak segera disadari maka kemanusiaan akan semakin terkoyak
dan kebangsaan akan semakin terpinggirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar