LAHAN para petani di suatu kabupaten di Kalimantan
Tengah dirampas orang-orang perkebunan kelapa sawit. Dirampas itu maksudnya
dibeli secara paksa, dengan harga murah meriah.
Tekanan pihak perkebunan bukan hanya intens,
melainkan sudah bersifat mengancam, dengan menggunakan aparat keamanan. Ada
polisi yang sangat gigih membela pemilik modal dan m-emaksa para petani
bertekuk lutut tanpa syarat. Ringkas cerita, karena kegarangan cara pihak
perkebunan melakukan negosiasi, para petani pun mengalah dan rela
membiarkan tanah pertanian —tempat mereka menggantungkan hidup seluruh
keluarga— lenyap di tangan kapitalis, dibantu sepenuh jiwa raga aparat
perusak hukum negara yang tugas utamanya seharusnya melindungi kaum
tertindas macam para petani tersebut.
Para petani rela mengalah dan mengorbankan
lahan pertanian bukan karena tak ada jaminan keselamatan jiwa di negerinya
sendiri di bawah pengayoman polisi negerinya. Tapi, ada satu petani yang
tak mengalah. Dia melawan dengan kemampuannya yang terbatas: memasang
spanduk dan menggambarkan keganasan pihak perkebunan yang sebangsa dan
setanah air dengan sang petani.
Spanduknya dibaca secara terbatas oleh mereka
yang lewat di depan rumahnya. Si petani berpidato di depan rumahnya pula.
Tapi, siapakah yang mau mendengarkan pidato petani yang ada isinya
dibanding pidato para pejabat yang omong kosong? Sedikit sekali
pendengarnya. Tapi, itu pun membuat resah pihak yang merasa berdosa. Aparat
keamanan yang datang untuk mengancam —bukan melindungi— sang petani yang
patriotik itu. Kalau tak mau berhenti berpidato, anaknya akan diculik.
Sudah diculik, tapi pidatonya tetap jalan.
Dia tetap melawan dengan kemampuan terbatas.
Aneh, satu orang petani, bisa membikin gemetar orang kaya raya, dibantu
aparat negara. Ini hanya secuil kecil gambaran tentang betapa
mengenaskannya hidup para petani kita dan nasib dunia pertanian di republik
yang dipimpin sarjana pertanian ini. Sikap memihak kapital global dan pengusaha-pengusaha
lokal yang berkiblat pada cara hidup vandalis itu jelas membikin kehidupan
petani dan dunia pertanian pupus tanpa harapan lagi. Ini kisah yang
disampaikan Sri Palupi, pembuka acara renungan di Sajogyo Institute, Sabtu,
16 Maret 2013, di Kota Bogor.
Peninggalan "Eyang" Sajogyo
Prof Sajogyo, ahli sosiologi pedesaan dari
Institute Pertanian Bogor, sudah setahun meninggalkan kita, ke tempat yang
lebih damai, di “rumah” keabadiannya, di mana sosiologi pedesaan, nasib
petani dan hari depan dunia pertanian Indonesia yang mencemaskan, —bahkan
mengenaskan— itu, kini tak lagi menjadi bagian dari darma hidupnya.
Seheroik apa pun segenap amal salehnya di dunia yang fana ini, baginya
sudah tak relevan.
“Eyang“ kita sang mahayogi memasuki alam
kedamaian dengan damai pula seperti angin yang bertiup mendekat dan
kemudian menjauh. Kepergiannya bersahaja seperti cermin hidupnya. Tak ada
yang tampak gegap gempita. Tak ada ulasan di media. Pendeknya, dengan kata
lain, tak ada kepalsuan secuil pun yang mengiringi kepulangannya. Beberapa
tahun terakhir, raganya memang sudah semakin meringkih dan tak cocok lagi
untuk mendukung semangat ibadah sosialnya di dunia ilmu dan gerakan
pembebasan kaum tani.
Sebagian kecil jejak kehidupan “Eyang” tampak
pada Sains (Sajogyo Institute), yang berkantor di bekas rumah beliau di
Jalan Malabar No 22, Bogor. Sains sudah menjadi sejenis komunitas akademik
sekaligus tempat generasi muda—para murid, cucu murid—mengembangkan ilmu,
dalam disiplin yang beragam, tapi sangat relevan dengan kehidupan para
petani dan dunia pertanian.
Di sana juga menjadi tempat bagi mereka yang
memiliki panggilan jiwa untuk melakukan gerakan-gerakan membela kaum tani.
Jadi Sains tempat reriungan, berpuisi, bernyanyi, dan mengasah kepekaan
ilmiah dan sosial, dalam cara kaum muda membangun kiblat hidup, yang ruh
utamanya bukan duit —artinya tak tergiur semangat hidup kapitalistik yang
kering dari rasa kemanusiaan— , tapi kepuasan moral, yang jauh lebih tinggi
lagi.
Bagi beberapa aktivis, ini masih berada di tingkat
embrio, masih lemah, dan memerlukan penguatan agar bibit-bibit kebaikan tak
otomatis terbunuh begitu saja oleh semangat yang semata duniawi, yang tak
menghiraukan kata Gandhi bahwa "the accumulation of wealth" itu
hakikatnya merupakan “the accumulation of sins”.
Kita tahu karena “wealth” dihimpun dengan
berbagai cara, termasuk kelicikan dan kekejaman, yang membunuh orang lain,
dan watak serakah yang tak cocok lagi dengan hidup kekinian yang mulai
semakin sadar meneriakkan kerja sama yang harmonis demi kemanusiaan, dan
bukan kompetisi yang menghalalkan kematian demi kematian sesama manusia.
Sarasehan dan Pemihakan
Setahun kepergian “Eyang” diperingati dengan
khidmat, selama tiga hari berturut-turut, dengan kesederhanaan yang
merupakan ciri hidup beliau. Jumat, 15 Maret 2013, acara ziarah ke makam
beliau di Taman Makam Pahlawan di Bogor. Sabtu, 16 Maret 2013, acara
sarasehan. Minggu, 17 Maret 2013, acara penutupan: tahlil dan doa. Saya
diminta memimpin diskusi di acara sarasehan pada Sabtu tersebut.
Tapi, karena tidak datang pada Jumat, saya
memulai acara dengan lebih dahulu menziarahi “Eyang” di pemakaman yang tak
mungkin tergusur. Panitia, di bawah koordinator Mas Eko Cahyono, menyusun
tema: Nasib Petani dan Dunia Pertanian Kita. Kaum muda pun mendapat
prioritas untuk menyampaikan pemikiran dan renungan masing-masing sebagai
respons dan pengembangan lebih jauh pemikiran Prof Sajogyo.
Esai pendek ini tak mungkin menampung —biarpun
sekadar intinya— semua renungan. Tapi, renungan pertama, Sri Palupi, yang
sangat menyengat kesadaran hadirin wajib diutamakan. Dia memberi contoh
semangat penghancuran petani dan dunia pertanian dengan kasus dari
Kalimantan Tengah, sebagaimana dikutip dalam pembukaan di atas, Bang
Sastrawan Ayip Rosjidi, yang bukan ahli pertanian, juga bicara.
Dia menggambarkan dunia kebudayaan yang gelap
gulita juga. Sebagian penyebab utamanya adalah perumus kebijakan kita tak
mengerti makna kebudayaan. Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan sudah
sangat lama merana. Di negeri ini banyak ihwal penting yang tak diurus
pemerintah dan dibiarkan dalam keadaan gelap gulita. Ayip bertanya, apa
sebenarnya gunanya ada pemerintah? Apa kita akan harus bersikap sebaiknya
kita hidup tanpa pemerintah? Petani dan dunia pertanian merana. Kehidupan
bidang kebudayaan tak kalah menderitanya.
Bang Dillon bicara mengenai strategi, mengutip
—atau menegaskan kembali— pemikiran Prof Sajogyo, bahwa bila petani sadar
dan bangkit untuk mengatasi persoalannya, itu baginya tanda pembangunan
dimulai. Bang Dillon mempertanyakan, selama ini strategi gerakan penyadaran
itu seperti apa? Maka perlu strategi baru yang lebih menjawab persoalan.
Pak Gunawan Wiradi bicara lebih mengenai ideologi dan pemihakan pada
petani. Ibu Pertiwi sedang bersusah hati, sebagaimana bait dalam sebuah
lagu kita. Ibu Pertiwi merintih dan berdoa.
Gunung, sawah, ladang, dan lautan, simpanan
kekayaan, tidak dikelola untuk menyejahterakan kita semua. Kekayaan kita
dirampok orang asing. Untuk kepentingan asing dan kita makin merana.
Sebelum penutupan, saya menambahkan renungan ini dengan menyebut bahwa
simpanan kekayaan yang dirampok orang asing itu semua atas izin dan
kerelaan para pengelola negeri—Ibu Pertiwi— yang sedang merintih dan berdoa
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar