Waspadai
Sektarianisme
Azyumardi Azra ; Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos
|
KOMPAS,
11 Januari 2013
Jika pemirsa mengamati
berita atau ”teks berjalan” TV berita di Tanah Air, kita sering menemukan
berbagai tindakan kekerasan sektarianisme di banyak negara Timur Tengah.
Aksi
kekerasan itu biasanya mengambil bentuk pengeboman rumah ibadah, makam tokoh
agama dan tempat suci lain, pasar, dan jalan raya. Aksi sektarianisme hampir
tidak pernah henti; dan bahkan cenderung meningkat setiap akhir pekan—Kamis
sore sampai Sabtu malam, hari libur, di Timur Tengah.
Sektarianisme
keagamaan kian meruyak di Timur Tengah sejak bermulanya transisi ke
demokrasi. Seiring dengan kian menguatnya musim semi Arab yang mula-mula
terjadi di Tunisia pada Desember 2010 dan menyebar ke banyak negara Arab,
sektarianisme keagamaan juga makin mewarnai pergumulan politik. Meski
gelombang demokrasi di Dunia Arab telah memasuki tahun ketiga, belum terlihat
tanda menyurutnya sektarianisme agama, sosial, dan politik.
Sektarianisme
agama dan sosial-politik juga terlihat meningkat di Indonesia sejak demokrasi
liberal diterapkan pada 1999. Khusus sektarianisme intra dan antar-agama di
Tanah Air, meski masih sporadis dan isolatif, bukan tak perlu dicermati.
Dengan konsolidasi demokrasi yang belum solid, kelemahan penegakan hukum,
serta penyebaran pemahaman dan praksis agama transnasional di tengah
keragaman intra dan antar-agama, boleh jadi sektarianisme agama dan
sosial-politik terus bertahan—jika tak meningkat di negeri ini.
Bisa
dipastikan, tidak ada negara dan masyarakat yang bebas dari perbedaan aliran
agama, sosial, budaya, dan politik. Masalahnya, perbedaan-perbedaan itu dapat
meningkat menjadi sektarianisme, yaitu kebencian intra dan antar-agama atau
antar- mazhab, aliran, denominasi agama; antarkelas sosial; antarkelompok
etnis dan budaya; dan juga di antara faksi-faksi dalam kekuatan dan gerakan
politik. Sektarianisme dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari yang
sederhana sekadar pemberian restu dari kalangan elite agama dan politik pada
sikap sektarianisme, pembenaran tindakan kekerasan yang berbau sektarianisme,
sampai pada perilaku dan kebijakan politik yang mengandung sektarianisme.
Sektarianisme
yang kini menyala-nyala di Timur Tengah bukan hal baru. Secara
sosio-historis, kawasan ini penuh riwayat sektarianisme agama, sosial-budaya,
dan politik yang berlapis-lapis. Paling tidak bisa dirunut sejak masa
kemunculan Kristianitas yang berhadapan dengan Yudaisme, ketika Yesus Kristus
dan ajarannya dianggap menyimpang dari agama Yahudi. Sektarianisme
intra-agama Yahudi juga berlanjut hingga kini: antara Yahudi Ortodoks dan
Yahudi Reformasi. Begitu juga intra-Kristianitas yang mencakup denominasi
amat banyak, khususnya abad XII-XVII, pascamasa Reformasi Gereja yang
memunculkan Protestanisme.
Jelas,
semangat sektarianisme antara Kristianitas dan Islam menjadi faktor penting
terjadinya sembilan kali Perang Salib antara 1096 sampai 1272 untuk
pembebasan Tanah Suci dari kekuasaan Muslim. Konflik antara Muslim dan kaum
Kristiani juga masih berlanjut di Semenanjung Iberia (Spanyol) sejak
kekuasaan Islam tertancap tahun 711, yang berakhir lewat reconquista oleh
gabungan kekuatan Gereja Katolik pada 2 Januari 1492 dengan inquisisi
terhadap kaum Muslim dan Yahudi.
Sektarianisme
intra-Islam berkembang sejak masa sahabat Nabi Muhammad, yakni ketika kaum
Khawarij yang muncul menjelang akhir Perang Siffin (657M; antara pasukan Ali
ibn Abi Thalib versus Mu’awiyah ibn Abi Sufyan) melakukan aksi kekerasan terhadap
kaum Muslim lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Selanjutnya, skisma
dan sektarianisme antara Sunni dan Syiah yang juga muncul pasca-Perang Siffin
berlanjut hingga kini di banyak kawasan Timur Tengah.
Dengan
beban sosio-historis sektarianisme berlapis-lapis, tak heran kalau bara
kebencian atas dasar perbedaan agama, paham, aliran, dan denominasi yang
kemudian berbaur dengan sektarianisme sosial, budaya, dan politik terus
berlanjut di Timur Tengah. Berganda dengan krisis politik, sosial, dan ekonomi
yang tidak terpecahkan, sektarianisme menjadi sangat sukar diatasi di kawasan
ini, dan terus mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, harta, dan benda.
Indonesia
sepanjang sejarah tidak mewarisi sektarianisme dalam kadar berlapis seperti
di Timur Tengah. Padahal, lapisan keagamaan dan sosial Indonesia relatif
lebih kompleks dibandingkan Timur Tengah.
Secara
keagamaan, Indonesia mencakup tak hanya Islam dan Kristianitas dengan
berbagai mazhab, aliran, dan denominasi, tetapi juga Hindu, Buddha, Konghucu,
dan agama-agama lain yang belum mendapat pengakuan resmi dari negara. Secara
sosial, menurut data BPS 2010, terdapat 1.128 suku bangsa atau kelompok etnis
di Indonesia.
Mempertimbangkan
realitas keragaman intra dan antar-agama serta kelompok etnis, potensi
sektarianisme sangat besar di Tanah Air. Meski tak serumit sektarianisme di
Timur Tengah, sektarianisme di Indonesia bisa berlipat dan berkombinasi di
antara sektarianisme agama dan sektarianisme etnis, dan bahkan sektarianisme
sosial-politik. Hal ini jelas dan menjadi ancaman serius bagi keamanan
nasional sepanjang tahun pemilu 2013-2014.
Karena
itu, masalah sektarianisme di Indonesia tidak bisa diperlakukan secara taken
for granted, atau tidak perlu dipandang serius, atau diasumsikan bisa baik
dengan sendirinya dalam perjalanan waktu. Memandang sektarianisme yang
cenderung meningkat dalam dasawarsa terakhir, pandangan dan sikap seperti itu
sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia yang aman, damai, bersatu, dan
utuh.
Dalam
konteks itu, perlu peningkatan kewaspadaan dan keseriusan seluruh pemangku
kepentingan untuk mencegah peningkatan sektarianisme. Para pemimpin agama,
sosial, dan politik sepatutnya menyadari dan melakukan berbagai upaya melalui
institusi masing-masing untuk mencegah berlanjutnya sektarianisme, sekaligus
memperkuat harmoni dan saling menghargai perbedaan yang ada di antara
berbagai kelompok intra dan antar-agama, kelompok etnis, dan faksi politik.
Di
atas semua itu, pemerintah sepatutnya lebih bertekad bulat dalam prevensi
proliferasi sektarianisme dalam masyarakat. Sepatutnya berbagai ketentuan
perundangan dan aparat negara yang dapat menangkal sektarianisme difungsikan
dengan sungguh-sungguh.
Selain
itu, upaya penciptaan harmoni dan saling penghargaan di antara berbagai
kelompok masyarakat juga perlu lebih diberdayakan melalui pendidikan. Juga
sosialisasi empat pilar negara-bangsa Indonesia, yakni UUD 1945, Pancasila,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar