Jumat, 11 Januari 2013

Diplomasi Krisis Suriah


Diplomasi Krisis Suriah
Darmansjah Djumala ;   Diplomat, Saat Ini Bertugas di Polandia
KOMPAS,  11 Januari 2013



Perang saudara yang merobek rakyat Suriah sudah berjalan lebih dari 20 bulan. Media Barat bahkan memperkirakan 40.000 nyawa telah melayang.
Dalam pertempuran di kawasan Deir Balbah, pinggiran kota Homs, tentara Suriah merangsek masuk ke kota, mengeksekusi tentara pemberontak di jalanan. Terbilang 397 orang meregang nyawa. Di tempat lain, bom yang diluncurkan dari jet tempur tentara Suriah menghunjam bumi Hilfaya, dekat kota Hama, merenggut belasan nyawa tak berdosa yang sedang mengantre pembagian roti. Hampir menginjak tahun ketiga, perang saudara di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Setidaknya ada dua alasan mengapa krisis di Suriah berlarut-larut. Pertama, tidak berhasilnya Dewan Keamanan PBB menerapkan zona larangan terbang seperti di Libya. Tanpa kebijakan larangan terbang, sulit bagi para pemberontak untuk memenangi peperangan, sementara loyalis Assad dengan leluasa menggempur pemberontak.
Kedua, dengan pasokan senjata dari luar ditambah dengan pasukan pembelot rezim Assad, pemberontak—meski lamban—dapat menguasai sebagian kota-kota penting, seperti Aleppo, Homs, dan Daraa. Gerak maju pasukan pemberontak memantik gempuran tentara Suriah lebih keras lagi. Adanya harapan untuk memenangi peperangan memaksa kedua pihak terus melakukan kekerasan militer yang menelan ribuan korban, tanpa upaya menyelesaikan konflik.
Namun, di tengah kecamuk perang, ada sedikit semburat harapan untuk mengakhiri krisis Suriah. PBB dan Liga Arab mengutus Lakhdar Brahimi untuk melakukan diplomasi ulang-alik (shuttle diplomacy) guna menjajaki perundingan menyelesaikan konflik. Misi Brahimi bukan tanpa halangan. Tantangan utama bagi Brahimi dalam menjalankan jurus diplomasinya adalah membujuk Assad untuk berunding dengan pemberontak yang tergabung dalam Koalisi Nasional Suriah.
Sesuai amanat Perjanjian Geneva, Juni 2012, untuk menyelesaikan krisis Suriah, diperlukan pembentukan badan transisi (pemerintahan peralihan) dengan kekuasaan eksekutif secara penuh. Pemerintahan peralihan ini beranggotakan unsur pemerintahan Assad dan oposisi.
Frasa ini mengisyaratkan perlunya perundingan antara pemerintah dan pemberontak karena keduanya akan bersama-sama menjadi anggota pemerintahan peralihan. Untuk menentukan komposisi anggota lembaga peralihan ini, kedua belah pihak harus duduk bersama, kemudian merundingkan masa depan Suriah. Pertanyaannya: apakah Assad mau berunding?
Pengakuan Internasional
Setidaknya ada empat hal yang akan memengaruhi sikap Assad dalam memutuskan perlu tidaknya berunding dengan pemberontak. Pertama, kesediaan berunding pihak yang bertikai sangat bergantung pada struktur hubungan keduanya. Dalam konflik yang asimetris, ketidaksetaraan status politik kerap menjadi tembok penghalang.
Dalam konteks krisis Suriah, pemerintah tidak akan mau berunding dengan pemberontak karena pemberontak dinilai ilegal. Namun, dengan adanya pengakuan dari 130 negara bahwa Koalisi Nasional Suriah adalah wakil sah rakyat Suriah, struktur hubungan pemerintah-pemberontak berubah. Pengakuan internasional ini menjadi kemenangan kaum pemberontak.
Dipindai dari praktik diplomasi, pengakuan tersebut sudah cukup untuk mengubah imbangan neraca politik antara pemerintah dan pemberontak. Dengan adanya pengakuan ini, status politik pemberontak, yang mulanya dianggap ilegal, menjadi berimbang vis-a-vis pemerintah.
Kedua, pengakuan dunia internasional terhadap Koalisi Nasional Suriah telah memberikan legitimasi politik bagi pemberontak. Dengan legitimasi seperti ini, pemberontak akan lebih mudah memperoleh akses bantuan internasional, baik bantuan kemanusiaan maupun senjata. Legitimasi ini secara politik mendorong Assad ke sudut isolasi pergaulan internasional.
Ketiga, dukungan Rusia ternyata bukanlah keniscayaan. Presiden Rusia Putin sudah mewanti-wanti, yang dilakukan Rusia di Suriah bukan untuk ”mempertahankan Assad, melainkan untuk menjaga stabilitas”. Dukungan Rusia kepada Assad tidak membuta-tuli. Ada kalkulasi politik di sana: jangan sampai Suriah pasca-Assad malah diwarnai konflik tak berujung. Isyarat bergesernya sikap Rusia ini harus dimaknai Assad bahwa dia harus siap berunding dengan pemberontak.
Keempat, apabila perang terus berlanjut, kedua pihak akan menghadapi situasi di mana kedua pihak merasa tidak dapat memenangi peperangan dan menemui jalan buntu yang menyakitkan (William Zartman, 2001). Situasi seperti itu akan mendorong pihak yang bertikai untuk berunding.
Terlalu dini untuk mengatakan situasi di Suriah sudah mencapai titik ini karena secara militer tentara Suriah jauh lebih unggul daripada pemberontak. Kendati demikian, satu hal yang jelas bagi Brahimi, dia harus mampu meyakinkan Rusia, Amerika dan sekutu Baratnya, serta rezim Assad dan pemberontak bahwa, ketika perang yang penuh kekerasan ini gagal menyelesaikan krisis, tiba waktunya untuk mengedepankan diplomasi: berunding menyelesaikan konflik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar