Gerakan
Antipolitisi Busuk
Benny Susetyo ; Pemerhati Masalah Sosial
|
KOMPAS,
11 Januari 2013
Tahun 2004, para aktivis,
tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan komponen bangsa lainnya
menyerukan gerakan antipolitisi busuk. Gerakan ini bahkan sudah menyebar ke
mana-mana.
Gerakan
yang dimotori LSM dan tokoh-tokoh masyarakat ini bukan sekadar wacana. Mereka
yang masuk kategori politisi busuk akan diumumkan segera dalam bentuk
nama-nama. Dengan berbagai risikonya, gerakan moral seperti ini bagaikan
cahaya lilin di kegelapan. Prinsipnya, ketidakpercayaan atas reformasi yang
dijalankan secara kacau oleh semua politisi yang mengaku dirinya reformis,
tetapi turut korupsi.
Sekarang,
delapan tahun sesudah gerakan itu dicanangkan, kita masih menemukan banyak
politisi tipikal di atas. Sebagian dari mereka bahkan terlibat dalam skandal
korupsi skala besar. Tidaklah mengherankan bila masyarakat skeptis luar
biasa. Politisi yang seharusnya menjadi teladan ternyata perilakunya
merugikan dan memalukan.
Maka,
perlu kiranya kita membangkitkan kembali gerakan antipolitisi busuk agar
masyarakat sadar bahwa politisi harus ikut bertanggung jawab terhadap
gagalnya bangsa ini membangun sistem pemerintahan bersih dan dipercaya
rakyat.
Rusaknya
sistem kebangsaan hampir secara menyeluruh ini bukan semata-mata kesalahan
elite meski mereka menjadi pelaku utama. Namun, masyarakat juga andil karena
lupa mengontrol perilaku busuk elite.
Politisi
busuk telah gagal membangun sistem pemerintahan yang berpihak pada masyarakat
miskin. Anggota Dewan umumnya bukan berusaha menyejahterakan masyarakat
miskin, melainkan justru menjadi budak pemilik modal.
Secara
teoretis, negara beserta perangkatnya terbentuk atas dasar
kesepakatan-kesepakatan untuk memerintah dan diperintah: antara penguasa dan
rakyatnya. Keduanya terlibat kontrak sosial berupa kesepakatan mengenai
bagaimana negara ini dikelola, oleh siapa, dan bagaimana caranya. Ini
dasar-dasar pembentukan negara demokratis sebagaimana disemangati Jean
Jacques Rousseau, Montesquieu, dan John Locke.
Namun,
secara nyata, teori kontrak sosial itu tidak pernah menguntungkan rakyat.
Justru rakyat sebagai kelompok mayoritas menjadi obyek yang dikuasai penguasa
yang berjumlah minoritas. Dalam negara demokrasi, rakyat secara teoretis
adalah subyek, tetapi secara nyata menjadi obyek. Wakil rakyat justru menjadi
simbol kejahatan politik.
Jika
elite busuk tidak diberantas, baik yang menjadi wakil rakyat maupun pemimpin
bangsa, percayalah bangsa ini akan segera masuk jurang kehancuran. Mereka
akan mengelola bangsa dan negara demi keuntungan pribadi tanpa mengindahkan
aspirasi masyarakat.
Penguasa
asyik bekerja dalam gelimang kemewahan dan demi itu siap berjibaku dalam
pelbagai konflik perebutan lahan jabatan basah. Nama ”rakyat” memang
dimunculkan dalam konteks pengambilan kebijakan, tetapi hanya sebagai
pemanis.
Kegagalan
mereka menjalankan amanat penderitaan rakyat seharusnya menjadi pelajaran
bangsa kita. Karier politik mereka yang sekarang duduk di Dewan terhormat dan
otoritas pemerintahan harus segera diakhiri. Caranya melalui perjuangan
rakyat secara kolektif melawan korupsi. Kedaulatan harus dikembalikan kepada
rakyat.
Para
politikus meneken kontrak untuk menjalankan roda pemerintahan sebaik-baiknya.
Karena terbukti gagal membawa bangsa ini ke arah kesejahteraan, mereka perlu
segera kita akhiri kontraknya.
Bangsa
ini harus dikembalikan kepada cita-cita pendiri bangsa, yakni mewujudkan
masyarakat cerdas dan sejahtera. Cita-cita ini bisa tercapai bila ada kemauan
dari elite politik untuk melayani dan mengabdi masyarakat, bukan partai dan
pemilik modal.
Pengertian
politisi busuk bukan hanya untuk koruptor, pelanggar HAM, dan yang menjadi
penjahat lingkungan, seksual, ataupun narkoba, melainkan harus diperluas
kepada mereka yang selama ini gagal menciptakan sistem pemerintahan yang
memekarkan nilai-nilai kemanusiaan. Mandat mereka harus dicabut dan
kontraknya diakhiri.
Di
sini pentingnya bagi kita untuk bersatu dan kritis membuat daftar mereka yang
selama ini tercela, mulai dari daerah hingga pusat. Daftar hitam caleg
bermasalah adalah simbol perlawanan terhadap mereka yang selama ini turut
memperburuk kehidupan bangsa.
Pemilihan
umum bisa menjadi momen untuk mengakhiri kontrak politik dengan mereka. Mari
bersatu padu untuk tidak memilih mereka yang sudah terbukti hanya menjual
retorika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar