Senin, 07 Januari 2013

Urgensi Redenominasi Rupiah


Urgensi Redenominasi Rupiah
Effnu Subiyanto ;  Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
JAWA POS,  07 Januari 2013

  
KEBIJAKAN penting penyederhanaan nilai nominal atau redenominasi mata uang rupiah mulai dijalankan. Pemerintah dan DPR menjadwalkan Desember 2012 hingga Maret 2013 sebagai tahap elaborasi seluruh usul, kritik, dan ekspektasi publik agar pada Juni 2013 RUU redenominasi diputuskan menjadi undang-undang.

Mata uang memang seharusnya membawa konsep pride kepada pemegangnya (Cochran, 2004). Bagaimana suasana hati rakyat yang terpaksa membawa uang 100 miliar dolar dan hanya bisa dipakai untuk belanja tiga butir telur? Itulah yang kini terjadi di Zimbabwe karena hiperinflasi 231 juta persen. Untuk belanja di pasar tradisional saja harus membawa uang segerobak.

Di Indonesia, kendati situasinya lebih baik, dengan nilai tukar sekarang ini tetap saja tidak membanggakan. Beberapa negara sering melakukan kebijakan redenominasi untuk menaikkan psikologis nilai uangnya. Misalnya, Afghanistan yang menghilangkan 3 angka nol, Turki 6 nol, Zimbabwe 3 nol, atau Ghana 4 nol. 

Brasil juga tercatat pernah menghilangkan 18 angka nol, melalui 6 kali operasi pada 1967, 1970, 1986, 1989, 1993, dan 1994. Argentina menghapus 13 angka nol pada 1970, 1983, 1985, 1992. Israel menghilangkan 9 angka nol pada 1980 dan 1985. 

Bolivia pun pernah melakukan redenominasi dengan menghilangkan 9 angka nol pada 1963 dan 1987 serta Peru (6 angka nol) pada 1985 dan 1991. Begitu juga halnya dengan Ukraina (menghilangkan 5 angka nol) pada 1996; Polandia (4 angka nol) pada 1995; atau Meksiko (3 angka nol) pada 1993. Rusia pun pernah menghilangkan 3 angka nol dalam 3 kali operasi pada 1947, 1961, dan 1998. Begitu juga yang terjadi di Islandia (2 angka nol) pada 1981.

Langkah tersebut sudah teruji di berbagai negara dan membuat ekonomi menjadi lebih baik. Memang ada yang gagal. Pemerintah Zimbabwe yang dipimpin Robert Mugabe melakukan redenominasi 3 angka nol. Namun, karena harga barang tidak diredenominasi, hiperinflasi tetap membubung.

Indonesia akan menerapkan kebijakan berbeda. Selain meredenominasi mata uangnya, Indonesia bakal melakukan redenominasi harga-harga barang. Redenominasi versi Indonesia akan membuat harga beras semula Rp 8.000 per kg kini akan menjadi Rp 8. 

Masa transisi adalah masa yang penting. Para penjual barang juga harus menempelkan dua jenis harga pada label harga dengan harga apabila dibeli dengan uang bukan redenominasi dan harga jika dibeli dengan uang redenominasi. Di toko-toko negara maju juga ada banyak konversi dalam mata uang asing pada satu label harga, misalnya harga dalam USD, dalam EUR, atau mata uang lain. Ketika masa transisi sudah dianggap selesai, tanda khusus redenominasi pada mata uang bisa dihilangkan. Meskipun, tanda itu sebetulnya bisa dipakai seterusnya.

Persoalannya bagaimana kans perdagangan barang Indonesia untuk ekspor? Dengan redenominasi, kini nilai tukar rupiah terhadap dolar menguat seribu kali, nilai USD 1 tiba-tiba menjadi Rp 9. Sepintas menguatnya rupiah akan mengancam komoditas dari Indonesia, namun dari simulasi ternyata tidak sama sekali.

Untuk barang ekspor, misalnya, mebel berharga Rp 1 juta sebelum redenominasi akan bernilai USD 111,1 pada nilai tukar Rp 9.000 per dolar. Setelah redenominasi harga mebel tersebut akan senilai Rp 1.000 atau tetap USD 111,1. Harga produk ekspor kita tak lebih mahal dibanding sebelum redenominasi.

Redenominasi membuat simplifikasi hitung-hitungan. Begitu lama rakyat harus berhitung-hitung dalam jumlah 1.000 kali lipat lebih berat, padahal dengan nilai barang seperseribu. Kontrak-kontrak Indonesia dengan negara lain, jika dengan mata uang rupiah, akan bernilai miliaran dengan banyak sekali deretan angka nol. Namun, jika dengan mata uang asing, kelihatan lebih ''kecil'' nilainya. Redenominasi bisa meredakan inferioritas tersebut.

Jangan dilupakan, ada kalanya beberapa kebutuhan penduduk Indonesia tidak sampai satu rupiah per satuan barang dan ini memerlukan uang di bawah satu rupiah. Belajar dari ''inflasi'' Rp 1.000 yang mengalami eskalasi dengan sendirinya ke Rp 2.000 disebabkan pecahan Rp 1.000 mulai hilang, maka pecahan kecil (berupa sen) harus dicetak lebih banyak.

Pada 2012, jumlah uang yang diedarkan (EYD) oleh Bank Indonesia mencapai Rp 392,6 triliun dan hanya 7,6 persen dalam bentuk pecahan kecil. Struktur pecahan kecil itu adalah pecahan Rp 10 ribu (2,7 persen), Rp 5.000 (2 persen), Rp 2.000 (1,1 persen), dan Rp 1.000 (1,8 persen). Pecahan kecil sebetulnya menjadi tulang punggung riil ekonomi.

Uang pecahan kecil itulah yang sering digunakan di pasar-pasar tradisional, dibawa oleh sekitar mayoritas penduduk Indonesia, dan beredar hampir 80 persen dalam transaksi riil sampai pelaku ekonomi terkecil (Sukiadi, 2012). Harga sektor riil menjadi mahal kalau uang kecil langka.

Penduduk desa pun sangat siap. Sudah lama, misalnya, mereka menyebut harga jual sapi Rp 8.000 untuk maksud Rp 8 juta. Tampaknya mereka malu dengan rendahnya nilai rupiah, maka melakukan ''redenominasi'' dengan caranya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar