Senin, 07 Januari 2013

Insiden Mobil dalam Politik


Insiden Mobil dalam Politik
Bandung Mawardi ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS,  07 Januari 2013

  
PERISTIWA kecelakaan bisa lekas menggegerkan jagat politik di Indonesia. Gegeran berkaitan dengan tokoh, pemilu, teknologi. Peristiwa kecelakaan mobil tak sekadar peristiwa biasa. Kecelakaan di tol Jagorawi, 1 Januari 2013, memicu sekian opini, melibatkan sekian argumentasi. Rasyid Amirullah Rajasa menggunakan mobil BMW X5, melaju kencang, menabrak mobil Daihatsu Luxio, dua meninggal, sekian orang luka. 

Publik menerima berita dan mengolah opini, bersinggungan dengan dampak politik. Rasyid adalah anak menteri dan pemimpin partai politik: Hatta Rajasa. Publik bercuriga, polisi rikuh mengurusi kasus itu berkaitan dengan posisi Hatta Rajasa. Publik juga mulai masuk ke edaran opini politik, kecelakaan maut berpengaruh kepada elektabilitas Hatta Rajasa untuk Pemilu 2014. 

Informasi-informasi beredar cepat, melesat jauh. Dugaan-dugaan diajukan, berpamrih hukum dan politik. Mobil BMW X5 itu tak masud ke daftar pelaporan harta Hatta Rajasa ke KPK. Gosip politik pun menderas. Pihak keluarga segera memberi jawab, mobil itu aset perusahaan milik Hatta Rajasa. Kecelakaan mengandung dampak politis. Mobil juga rawan di ranah persaingan politik. Kita mafhum bahwa kecelakaan dan mobil sulit mengelak dari serbuan opini politik.

Polisi terus ingin mengungkap kasus kecelakaan, memperlakukan Rasyid Rajasa sebagai manusia biasa, tak berlabel anak menteri. Hatta Rajasa justru mengumumkan agar polisi menangani secara profesional, tidak perlu ada diskriminasi. 

Gempar kecelakaan dan mobil juga menyangkut Dahlan Iskan dan mobil listrik Tucuxi. Sang menteri mengendarai mobil Tuxuci pada Minggu, 5 Januari 2013, dari Solo menuju Surabaya. Pemberangkatan dilakukan di Solo dengan upacara tolak bala oleh dalang kondang Ki Manteb Sudarsono. Mobil sebagai pengejawantahan gagasan dan teknologi modern diladeni dengan ritual tradisional. Ki Manteb Sudarsono menampilkan adegan permainan wayang, menyiramkan air dan bunga melati ke mobil Tucuxi. Dahlan Iskan pun turut mengguyur mobil itu dengan menggunakan air dan bunga melati. Doa dipanjatkan demi keselamatan.

Kejutan terjadi sore harinya. Mobil Tucuxi mengalami kerusakan, rem blong, di jalan sekitar lereng Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur. Kondisi jalan menurun bisa mengakibatkan kefatalan. Dahlan Iskan memilih menabrakkan mobil ke tebing demi keselamatan diri dan para pengguna jalan. Mobil Tucuxi rusak, Dahlan Iskan selamat. Berita beredar cepat ke publik. Opini politik pun mulai muncul, meramaikan cerita tanpa epilog.

Sulit mengelak dari serbuan opini. Keterangan-keterangan resmi mesti diajukan agar publik tak bercuriga. Dahlan Iskan juga menyadari adanya nuansa politik dari peristiwa kecelakaan dan penggunaan mobil Tucuxi. Politisasi mungkin terjadi, tapi Dahlan Iskan tidak tampak ''tergeret'' ke permainan opini politik. Dahlan Iskan memberikan keterangan meredakan opini dengan optimisme atas pengembangan teknologi mobil listrik di Indonesia. Kita masih menanti kelanjutan berita dan cerita tentang kecelakaan dan dua mobil (BMW X5 dan Tucuxi).

Mobil Hatta dan Soekarno 

Kita mesti mengingat peristiwa dan tokoh di masa silam untuk mencari keberkaitan antara mobil dan politik. Mohamad Hatta pernah mengalami kecelakaan mobil pada tahun 1932 saat mengurusi PNI di Maninjau. Hatta adalah tokoh politik, penggerak nasionalisme, melakukan kunjungan ke kota-kota demi bara politik melawan kolonialisme. Kecelakaan mobil terjadi di persimpangan Padang Luar. Hatta dalam buku Memoir (1982) menceritakan:  ''... oto (mobil) kami ditabrak oleh sebuah oto yang datang dari Padang Panjang. Sekalipun oto kami sudah minggir ke tepi jalan, tabrakan tidak dapat dielakkan. Oto kami yang beratapkan layar, patah jari-jari yang menupang layar itu dan jari-jari itu menimpaku, sehingga keningku luka. Tanganku terkilir karena terantuk pada dinding bangku-bangku di muka. Oto rusak dan aku luka-luka.'' 

Hatta selamat, tapi kunjungan politik terpaksa dibatalkan. Peristiwa itu segera menjadi berita heboh di Bukittinggi. Kecelakaan itu diurusi oleh polisi. Hatta malah tambah terkenal, mendapat perhatian atas cobaan dalam menggerakkan agenda politik di Sumatera. Mobil sebagai alat tranportasi masuk ke diskursus politik. Hatta memang naik mobil dengan pertimbangan ''kecepatan'' dalam agenda kunjungan ke pelbagai kota. Kecelakaan sebagai risiko memberikan tanda seru bahwa politik di tahun 1930-an adalah ''politik kecepatan'' ibarat mobil. Publik tak sekadar mengetahui berita kecelakaan dan mobil. Publik pun menerima efek politik dan ketokohan Hatta.

Hubungan mobil dan politik juga pernah dialami oleh Soekarno. Bambang Widjanarko dalam Sewindu Dekat Bung Karno (1988) menceritakan bahwa ada peristiwa politik di Makassar pada suatu masa. Soekarno naik mobil Indonesia 1, bergerak dari gubernuran ke suatu tempat untuk memberikan pidato politik. Senja telah berlalu, tapi suasana belum menggelap. Rombongan presiden mendapat serangan. Granat jatuh dan meledak di depan mobil Indonesia 1. Soekarno selamat. Peristiwa itu tak membatalkan agenda Soekarno untuk memberikan pidato di hadapan ribuan orang.

Bambang Widjanarko menceritakan bahwa Soekarno melanjutkan perjalanan. Adegan saat sampai di tempat tujuan: ''Bung Karno turun dari mobil dengan muka cerah melempar senyum, berjabatan tangan dengan para pejabat tinggi setempat, dan terus berjalan gagah menuju ruangan.'' Peristiwa pelemparan-peledakan granat dengan sasaran mobil Indonesia 1 itu tak terdengar oleh publik di Makassar. Peristiwa itu tak sempat menjadi berita dan cerita heboh. 

Tokoh, mobil, kecelakaan sering berkaitan dengan politik. Indonesia memang negeri sesak opini politik. Signifikansi mobil di ranah politik memang berlangsung sejak lama. Pemaknaan kecelakaan beraroma politik juga dimunculkan sejak masa silam. Kita selalu mendapat tanda seru saat mengurusi politik di Indonesia dengan referensi mobil dan kecelakaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar