Senin, 07 Januari 2013

Sirkusitas Persepakbolaan Nasional


Sirkusitas Persepakbolaan Nasional
Agus Kristiyanto ;  Kaprodi Magister
Ilmu Keolahragaan Pascasarjana UNS Surakarta  
SUARA MERDEKA,  07 Januari 2013


SIRKUSITAS, menunjuk istilah ketercabutan karakter asli dari suatu masyarakat. Adalah Mendikbud M Nuh yang kali pertama memopulerkan, saat mengawali pencanangan pendidikan karakter. Sirkusitas diikuti dengan berbagai situasi paradoks, anomali, bahkan berbagai persoalan yang ironi dan memprihatinkan. 

Tidak berlebihan jika persoalan sirkusitas ini dapat kita tempatkan pada sesuatu yang sebenarnya terjadi pada persepakbolaan nasional kita, menyusul dualisme, arogansi. Semua itu bukan berefek pada keunggulan melainkan justru inferioritas di bawah tekanan ancaman pembekuan oleh FIFA, walau akhirnya ditunda hingga Maret 2013. 

Keprihatinan atas kemunculan sirkusitas, sebenarnya juga stereotipe yang melingkupi komunitas persepakbolaan kita. Pelatih termahal dunia saat ini, Jose Mourinho, pernah membuat pernyataan dahsyat dan didokumentasikan di berbagai media dunia,’’ Sisi negatif sepak bola adalah sisi negatif masyarakatnya. 

Banyak orang bahkan membawa misi negatif ke masyarakat melalui sepak bola’’. Apa yang diungkapkan pelatih yang membawa sukses Chelsea sebagai klub berkelas dunia itu merupakan pendapat yang bisa jadi merupakan lecutan pengamatan tajam secara pragmatis. 

Dari sisi tersebut kiranya persoalan sepak bola tak boleh dianggap sederhana. Pertarungan antara timnas kita dan timnas negara lain bukan sekadar adu teknik, strategi, fisik, dan kematangan juara. Pertandingan bukan sekadar persoalan kalah dan menang melainkan juga racikan yang terkait dengan miniatur karakter bangsa. Apa yang dapat diharapkan ketika karakter asli itu tercabut dari roh kesebelasan?

Bangsa kita konon suka mencontoh (jangan dibaca menyontek) hal-hal baik yang dimiliki dan mampu dilakukan bangsa lain. Saking asyiknya mencontoh, kadang lupa bahwa kita itu sebenarnya dikaruniai potensi luar biasa. 
Kita menjadi terhenyak sadar ketika muncul sosok-sosok dunia yang memiliki garis keturunan atau unsur hereditas keindonesiaan.

Keturunan orang Indonesia yang berjaya di dunia olahraga menimbulkan pesona tersendiri. Kira-kira tiga tahun lalu, masih segar dalam ingatan kita tentang debut awal getolnya pemerintah mengembangkan program naturalisasi atlet. Orang yang dibidik dalam naturalisasi atlet tentu siapa saja warga asing yang berniat untuk menjadi warga negara Indonesia. 

Naturalisasi atlet sebenarnya diilhami oleh rasa kepincut pada figur atau sosok atlet luar negeri yang berprestasi yang kebetulan memiliki darah keindonesiaan. Awalnya ini sah-sah saja dan merupakan bagian dari program pemerintah mendongkrak prestasi olahraga secara instan. Akhirnya, banyak bermunculan atlet naturalisasi, seperti Irfan Bachdim, Kim Jeffrey Kurniawan, dan beberapa nama atlet beken di cabang lain.

Dalam perjalanannya, naturalisasi ini menimbulkan persoalan dilematis. Bahkan kemudian banyak pihak menolak secara tegas karena tidak sesuai dengan semangat kejuangan dan perjuangan bangsa untuk unggul dalam bidang keolahragaan. Naturalisasi hanya akan meninabobokan karena menjalankan sesuatu yang bernilai konsumtif prestasi di tengah masyarakat, serta sekadar usaha instan.

Ada sebuah perpaduan nilai dan sikap kolektif masyarakat kita terkait dengan kekaguman dan keterikatan dengan sesuatu yang mendunia. Perpaduan sikap tersebut menghasilkan tren memfavoritkan sosok yang berbau manca negara menjadi lebih tinggi dibanding lokal. Layar kaca kita pun banyak dihiasi sosok bintang baru yang kurang begitu bagus aktingnya, tetapi diterima masyarakat.  

Mendewakan Asing

Tapi mereka seperti mendapat tempat karena keturunan Indo itu memiliki pesona tersendirik bagi sebagia masyarakat kita. Itulah sisi negatif dari sikap kolektif masyarakat yang tanpa disadari jika dibiarkan, akan terjerembab dalam mindset inferioritas. Semisal, banyak selebritis memilih nikah dengan bule dengan alasan memperbaiki keturunan.
Pada sisi lain, hal-hal yang berbau impor lebih memiliki nilai gengsi tinggi ketimbang produk lokal. Bahkan ada sebagian masyarakat sudah pada taraf mendewakan produk asing dan meremehkan produk lokal. Manajemen tim olahraga pun banyak yang lebih suka memercayai pelatih asing. Padahal, kita memiliki beberapa pelatih hebat yang kualifikasi, kompetensi, integritas, dan dedikasinya di atas pelatih asing. 

Tantangan besar bagi era kebangkitan olahraga prestasi nasional sebenarnya amat bergantung pada kesanggupan bangsa ini keluar dari inferioritas. Kita masih suka mengagumi sosok asing dan meremehkan potensi domestik. Kita masih belum bisa menjadi diri sendiri. Kita perlu banyak belajar dari kura-kura. 

Kura-kura tidak perlu kagum dan menirukan kecepatan lari si kancil untuk menghindari bahaya. Kura-kura ternyata cukup membenamkan tubuhnya ke ’’rumahnya’’ ketika ada ancaman bahaya. Kita memiliki potensi untuk unggul. Jauhkan bangsa, masyarakat, dan komunitas sepak bola nasional dari sirkusitas. Bisa jadi, kemunculan jati diri itu akan menjadi solusi konflik berkepanjangan terkait dengan kepengurusan PSSI kita selama ini. ’’Menyembuhkan’’ organisasi itu tidak cukup dengan mengembangkan resep-resep penyusunan road map yang bersifat teknis dan manajemen mikro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar