Selasa, 08 Januari 2013

Akal Sehat Bonceng “Mlangkah”


Akal Sehat Bonceng “Mlangkah”
Tri Marhaeni P Astuti ;  Guru Besar Antropologi
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SUARA MERDEKA,  08 Januari 2013

  
SAYA merasa heran ketika wali kota Lhokseumawe Nangroe Aceh Darussalam mengeluarkan kebijakan yang melarang perempuan membonceng sepeda motor dengan menghadap ke depan alias mlangkah.

Kebijakan itu, menurut saya sangat mengada-ada, tidak masuk dalam logika sehat apabila beralasan demi sopan santun dan sesuai dengan budaya lokal. Pemikiran tersebut tidak berdasar, bahkan merugikan masyarakat karena mengabaikan unsur keselamatan, tidak saja bagi pembonceng tetapi juga pengendara, bahkan pengguna jalan lain.

Hak Kenyamanan

Deklarasi Hak Asasi Manusia jelas menyebutkan, manusia berhak atas kemerde-kaan, berhak bebas dari rasa takut, hak untuk hidup, dan hak untuk dilindungi. Pada perkembangan berikutnya hak asasi ini meliputi juga hak menentukan nasib sendiri, termasuk menentukan pilihan kenyamanan dan keselamatan bagi diri sen-diri.

Hak-hak dasar tersebut berlaku bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda. Perempuan membonceng sepeda motor dengan mlangkah menghadap ke depan sama sekali bukan persoalan "ingin disamakan dengan laki-laki", bukan karena persoalan "kalau laki-laki bisa bebas naik motor dan membonceng mlangkah maka perempuan juga harus mlangkah". Bukan itu masalahnya melainkan lebih pada pilihan kenyamanan, keselamatan, dan keamanan di jalan raya.

Bahkan dalam berbagai kasus yang saya alami dan saya lihat, pengendara motor akan lebih nyaman dan tenang jika yang diboncengkan itu mlangkah karena laju motor bisa lebih stabil dan seimbang. Dengan demikian mbonceng mlangkah adalah urusan semua orang, menyangkut kenyamanan dan keselamatan semua orang bukan karena "harus menyopankan para perempuan".

Apakah perempuan menjadi tidak sopan ketika mereka membonceng mlangkah sehingga "harus disopankan"? Justru menghargai hak setiap orang, menghargai pilihan kenyamanan dan keselamatan untuk setiap orang yang berdampak pada keselamatan umum dan kenyamanan umum itulah yang "sopan" dan beradab.

Jadi kebijakan pelarangan mbonceng mlangkah untuk perempuan menurut saya tidak perlu, karena masyarakat --termasuk perempuan-- sudah mengerti persis batas-batas kesopanan dan nilai-nilai luhur budaya lokal. Masyarakat akan lebih memilih keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, daripada sopan tetapi tidak selamat dan membahayakan pengguna jalan lain.

Kebijakan Menyengsarakan

Suatu kebijakan pada dasarnya adalah terobosan, ide, gagasan, dan tindakan yang harus berorientasi kemaslahatan untuk masyarakat luas. Kebijakan haruslah dilihat pada unsur kemanfaatan dan implikasinya. Ide pelarangan mbonceng mlangkah untuk perempuan adalah kebijakan yang merugikan dan melanggar hak perempuan untuk menentukan pilihan dalam keselamatan dan kenyamanan.

Saya membayangkan betapa "sengsara" para anggota polisi lalu lintas jika setiap saat harus "menyaksikan dan menangani" kasus kecelakaan sepeda motor "hanya karena motor hilang keseimbangan akibat berat sebelah". Mayarakat umum juga "miris" ketika melihat ada pembonceng sepeda motor yang tidak mlangkah karena rawan kecelakaan akibat ketidakseimbangan.

Kebijakan tersebut jelas tidak membuat nyaman semua orang. Keselamatan, ketenangan, keamanan pengendara dan pengguna jalan juga terusik. Bukankah para orang tua justru menyarankan anak-anak perempuannya jika membonceng motor harus mlangkah agar aman dan tidak menyulitkan pengendaranya. Apakah kemudian hal itu bisa dijustifikasi bahwa orang tua tersebut mengajarkan "ketidaksopanan"? Tentu saja tidak.

Karena itu jika dasar kebijakan tersebut adalah demi kesopanan dan nilai-nilai budaya lokal adalah sungguh naif dan mengada-ada. Masih banyak persoalan masyarakat yang lebih penting untuk dipikirkan dan perlu kebijakan nyata daripada sekadar "menyopankan perempuan dengan membonceng tidak mlangkah". Bukan berarti saya mendukung ketidaksopanan melainkan masih banyak cara untuk membuat masyarakat sopan dan beradab.

Demi Kesopanan

Jika masyarakat ditanya, "Sopankah perempuan yang memakai celana panjang dan membonceng motor dengan mlangkah?", saya yakin sebagian besar akan menjawab "sopan", bahkan mungkin mereka tidak pernah berpikir perempuan mbonceng mlangkah itu dianggap tidak sopan. Konstruksi sosial umum akan menganggap perempuan yang membonceng sepeda motor mlangkah itu tidak sopan jika memakai rok sangat mini, akan tetapi jika memakai celana panjang atau rok panjang pasti tidak masalah, bahkan akan lebih aman dan selamat.

Anak-anak sekolah pun sekarang berseragam rok panjang sampai mata kaki, meskipun mereka bukan pemakai kerudung atau jilbab. Dan, anak-anak itu juga lebih nyaman dan aman gonceng mlangkah daripada memakai rok panjang gonceng nyamping karena bisa ribet dan tidak aman.

Justru kebiasaan yang dilakukan masyarakat tersebutlah yang "sopan" daripada menganggu keselamatan orang lain yang malah menjadi "tidak sopan". Masih banyak nilai kesopansantunan yang dapat diinternalisasikan kepada masyarakat ketimbang mengeluarkan kebijakan demi kesopanan namun malah mengabaikan keselamatan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar