Resolusi 2013
dan Perubahan Iklim
Handa S Abidin ; Pengajar
Tamu Mata Kuliah
Hukum Perubahan Iklim
Internasional di University of Edinburgh, Inggris
|
KOMPAS,
07 Januari 2013
Pada akhir 2012, dunia kembali diingatkan
betapa berbahaya dampak perubahan iklim bagi manusia.
Di Amerika Serikat, badai Sandy memakan
korban sedikitnya 125 jiwa. Di Filipina, 1.000 jiwa lebih jadi korban topan
Bopha. Baru-baru ini diberitakan badai musim dingin kembali menelan korban di
Amerika Serikat dan Rusia (Kompas, 28/12/2012). Harian ini juga memberitakan
cuaca ekstrem yang terjadi di Irak dan Malaysia yang turut merenggut korban
jiwa.
Bencana akibat perubahan iklim diperkirakan
akan terus terjadi. Sekitar 100 juta
orang terancam apabila masalah perubahan
iklim tidak segera diatasi (DARA dan Climate Vulnerable Forum, 2012).
Mengapa rezim hukum perubahan iklim
internasional belum efektif mengurangi dampak perubahan iklim? Jawaban
singkatnya: sejumlah pemimpin dunia dan negosiator perubahan iklim, sejak
berdirinya rezim hukum perubahan iklim internasional pada 1992, belum mampu
memprioritaskan kepentingan dunia dan kepentingan generasi akan datang di
atas kepentingan domestik jangka pendek.
Tunda-Menunda
Pada 2012, usia rezim hukum perubahan iklim
internasional mencapai 20 tahun. Selama 20 tahun rezim ini berjalan, tampak
adanya permainan tunda-menunda dalam melaksanakan komitmen penurunan emisi.
Pada 1992, Konvensi Kerangka Kerja PBB
mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) disepakati, tetapi baru pada 1994 berlaku
efektif secara hukum. Meski berupa traktat yang mengikat secara hukum, UNFCCC
tak punya kesepakatan spesifik untuk menurunkan tingkat gas rumah kaca suatu
negara.
Oleh karena itu, pada 1997 disepakatilah
Protokol Kyoto. Namun, Protokol Kyoto baru berlaku efektif secara hukum pada
2005. Meskipun sudah berlaku efektif tahun 2005, Protokol Kyoto baru
benar-benar efektif pada 2008, yaitu ketika ”komitmen pertama” penurunan
emisi dari negara maju yang terdaftar dalam Annex B dimulai.
Komitmen pertama Protokol Kyoto yang
kedaluwarsa pada akhir tahun 2012 telah disepakati diperpanjang mulai tahun
2013 sampai akhir tahun 2020. Meski demikian, penting digarisbawahi bahwa
komitmen pengurangan emisi Protokol Kyoto tidak akan menyelesaikan masalah
perubahan iklim secara maksimal selama negara penghasil emisi tinggi belum
bergabung.
Perlu diingat, sampai saat ini AS belum
meratifikasi Protokol Kyoto. Negara berkembang dengan tingkat emisi tinggi,
seperti China dan India, tidak termasuk sebagai negara yang wajib menurunkan
emisinya pada komitmen pertama ataupun kedua Protokol Kyoto. Padahal, AS,
China, dan India memiliki tingkat emisi signifikan yang turut memperburuk
dampak perubahan iklim secara global.
Dalam pertemuan Konferensi Para Pihak (COP)
dari UNFCCC ke-17, tahun 2011, disepakati terbentuknya Ad Hoc Working Group
on the Durban Platform (ADP). Fungsi utama ADP adalah mempersiapkan protokol,
instrumen hukum, ataupun suatu kesepakatan mengikat secara hukum dalam hal
penurunan emisi dari semua pihak paling lambat pada 2015. Tujuannya agar COP
ke-21 tahun 2015 dapat menyepakati suatu produk hukum mengenai penurunan
emisi yang akan dilaksanakan pada 2020.
Apabila produk hukum pada 2015 berhasil
disepakati, negara berkembang emisi tinggi, seperti China dan India, akan
turut menurunkan tingkat emisinya mulai 2020. Namun, lagi-lagi kita melihat
permainan tunda-menunda terjadi kembali. Nasib ratusan juta jiwa yang
terancam akibat dampak perubahan iklim ditunda sampai 2015. Setelah tahun
2015, dunia kembali menunggu sampai tahun 2020.
Resolusi 2013
Waktu sangat berharga. Tahun 2013 harus
dijadikan momentum bagi semua negara untuk lebih serius mengatasi masalah
perubahan iklim.
Jika para pemimpin dunia dan negosiator
perubahan iklim benar-benar serius ingin mengatasi masalah perubahan iklim,
naskah protokol atau instrumen hukum baru yang mengikat semua pihak dalam
menurunkan emisinya seharusnya dapat selesai pada 2013. COP ke-19 akhir tahun
2013 nanti dapat dijadikan ajang untuk menyepakati produk hukum tersebut. Tak
perlu menunggu sampai tahun 2015.
Idealnya, produk hukum tersebut harus
berlaku efektif secara hukum dengan cepat. Paling tidak mulai tahun 2014. Tak
perlu menunggu sampai tahun 2020. Korban akan terus berjatuhan apabila
permainan tunda-menunda terus dilaksanakan.
Sesuai mandatnya, ADP harus jadi panglima
dalam merumuskan naskah tersebut. Pihak lain, seperti organisasi
internasional serta LSM yang peduli dengan isu perubahan iklim, juga dapat
turut menyumbang naskah produk hukum tersebut. Indonesia pun dapat turut
menyumbang naskah tersebut jika Indonesia benar-benar serius ingin mengatasi
masalah perubahan iklim.
Naderev Sano, salah seorang delegasi dari
Filipina, menyampaikan suatu pernyataan menggugah pada pertemuan perubahan
iklim di Doha pada Desember 2012 (COP ke-18). Sano mengatakan, ”Saya bertanya
kepada semua yang ada di sini. Kalau bukan kita, kemudian siapa? Kalau tidak
sekarang, kemudian kapan? Kalau tidak di sini, di mana?”
Semoga COP ke-19 di Polandia akhir tahun
2013 nanti dapat mengakhiri permainan tunda-menunda di rezim hukum perubahan
iklim internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar