Jumat, 18 Januari 2013

The Broken Community


The Broken Community
Komaruddin Hidayat ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 18 Januari 2013



Masyarakat Indonesia yang pada dasarnya sangat komunalistis dan mencintai gotong-royong telah terkena virus fragmentasi (the virus of fragmentation) sehingga sikap egoistis dan individualistis kian menguat. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak memberikan keamanan dan gamang menatap masa depan. 
Perkembangan iptek modern dan laju industrialisasi yang berlangsung di mancanegara sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan sosial di Indonesia. Meminjam tahapan budaya Alvin Toffler yang membagi gerak masyarakat ke dalam tiga jenjang (era pertanian, era industri, dan era informasi), paradigma ini tidak berlaku di Indonesia. 

Ketiga tipe masyarakat tersebut hidup bersamaan di bumi Indonesia, bahkan ada masyarakat yang masih hidup di era prapertanian. Mereka tinggal di hutan. Pada mereka yang sudah masuk era informasi, terutama kalangan kelas menengah kota, apa yang dimaksud dengan the broken community mudah sekali diamati. Ikatan keluarga, sosial, dan persahabatan sangat kendur (loose connections). Masing-masing sibuk dengan agendanya.

Kerja, kerja, kerja, kerja, kerja, kerja, kerja, kerja, kerja. Sibuk, sibuk, sibuk, sibuk, sibuk, sibuk, sibuk. Kalaupun terjadi pertemuan selalu diisi dengan agenda transaksional yang mengacu pada kalkulasi keuntungan materi. Keuntungan materi apa dan berapa yang akan aku dapatkan dari pertemuan ini? Waktu adalah uang. Makanya jika ada agenda pertemuan dan lobi haruslah menghasilkan uang. 

Sedemikian menguatnya pengomoditasan, semua relasi sosial pun ingin dikomersialkan sebagai barang komoditas. Agenda-agenda sosial kehilangan kehangatan, ketulusan, keikhlasan, dan semangat pengorbanan. Kita terseret masuk ke dalam komunitas yang pecah (broken community). Infrastruktur berupa jalan raya yang awalnya dimaksudkan sebagai penghubung antarkomunitas sekarang telah berubah fungsi menjadi pemisah.

Kondisi jalan lebih ganas dan membahayakan ketimbang sungai bagi orang yang hendak menyeberang. Jalan raya di kota besar menjadi lorong bagi orang untuk berkeluh kesah karena macet dan banjir. Masing-masing ingin menyerobot mendahului yang lain. Tingkat mobilitas dan mutasi yang tinggi di kalangan eksekutif juga turut menciptakan hyperindividualism.

Dibandingkan tiga dekade sebelumnya, sekarang ini mereka yang merasa memiliki keahlian tertentu dengan mudah keluar dan pindah ke kantor lain yang lebih menjanjikan gaji lebih tinggi. Situasi ini jelas ikut mendorong munculnya kompetisi yang semakin ketat. Ditambah lagi munculnya fenomena orang bekerja di kota lain–– entah semipermanen atau sekadar tugas––sehingga harus meninggalkan keluarga.

Lagi-lagi, hal ini sering berdampak negatif pada kehidupan keluarga. Fenomena broken community ini juga menjadi lebih buruk lagi akibat dampak dari kultur politik yang tidak sehat, terutama imbas dari kontestasi dan kompetisi pilkada dan pemilihan anggota legislatif yang ikut menciptakan fragmentasi sosial. Dalam masyarakat kelas bawah, rakyat dikelompokkan oleh politisi tanpa disertai pendidikan politik. 

Uang dan provokasi emosional yang dikedepankan ke tengah masyarakat untuk membeli dukungan dalam pilkada atau pemilu telah menciptakan fragmentasi sosial tanpa pemahaman yang jelas tentang makna dan hakikat demokrasi dan kompetisi. Suasana kehidupan desa yang damai dan masih memiliki semangat gotong-royong pelan-pelan terkikis oleh pengaruh kehidupan kota yang individualistis. 

Mimbar televisi menyajikan programprogram hiburan yang membangkitkan mimpi-mimpi anak desa tentang kehidupan kota yang glamor dan hedonistis. Yang juga menyedihkan, kerukunan antarumat beragama sering terganggu oleh ulah sekelompok orang yang mengatasnamakan agama bukannya mendorong kerukunan dan kedamaian, melainkan justru konflik yang meresahkan. 

Demikianlah, yang terjadi tidak saja hubungan horizontal yang retak, melainkan juga hubungan vertikal antara masyarakat dan pemerintah dan elite partai politik yang digerus oleh virus ketidakpercayaan. Beberapa elite politik dan pejabat tinggi yang terlibat skandal megakorupsi membuat rakyat tidak lagi menaruh respek dan kepercayaan kepada mereka, yang imbasnya tidak percaya kepada pemerintah secara keseluruhan. 

Jelas situasi demikian sangat tidak sehat dan merugikan kepentingan bangsa dan masa depan anak-anak kita. Masa depan bangsa dan negara ini di tangan anak-anak muda. Mereka mesti kita selamatkan dari virus pesimisme dan ketidakpercayaan pada dunia politik dan pemerintah. Politik itu pada dasarnya baik dan mulia, untuk mengendalikan pemerintahan. Siapa pun yang mau aktif di dunia politik mesti memiliki ilmu pengetahuan, idealisme, dan integritas untuk menjaga martabat dan kemuliaan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar