Jumat, 18 Januari 2013

Saat Terdakwa Korupsi Tersenyum


Saat Terdakwa Korupsi Tersenyum
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINDO, 18 Januari 2013



Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (10/1/2013) terus menuai kontroversi di ruang publik. Betapa tidak, hakim tipikor lagi-lagi menjatuhkan putusan ringan kepada penggerogot uang negara dengan tidak berani melakukan penafsiran hukum secara progresif. 

Mereka malah membuat terdakwa “senyum semringah” saat ketua majelis hakim mengetuk palu tanda sidang ditutup. Mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu terlihat senang mendengar vonis. Tidak hanya wajahnya yang berubah cerah dan tersenyum, tetapi juga jabat tangan dari keluarga dan kenalan menjadi bukti Angie puas terhadap vonis penjara 4,5 tahun. 

Publik dan para penggiat antikorupsi tergelitik melihat putusan Angie yang dianggap ringan, sebab penuntut umum menuntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara, serta membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan USD 2,35 juta. Dari satu sisi tentu putusan hakim tetap dihargai, tetapi pada sisi lain rasa keadilan masyarakat tercederai. Memang putusan hakim secara yuridis sudah sah, tetapi rasa keadilan masyarakat belum terpenuhi. Lebih celaka lagi, karena vonis ringan bisa berdampak hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi. 

Memiskinkan Koruptor 

Memang hakim memutus berdasarkan keyakinan atas fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan. Tetapi penuntut umum melalui dakwaan primer Pasal 12 huruf-a UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 18 UU Nomor 31/1999, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. 

Hakim menilai dakwaan Pasal 11 UU Nomor 20/2001 yang terbukti yang diancam pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Setidaknya putusan hakim sangat jauh dari gembar-gembor yang mencuat ke ruang publik bahwa koruptor perlu dimiskinkan. 

Meski KPK mendakwa Angie Pasal 18 ayat (1) huruf-a UU Nomor 31/1999 agar dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, tetapi hakim berpendapat lain. Dakwaan Pasal 12 huruf-a UU Nomor 20/2001 diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Pasal ini melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Tampaknya hakim menilai bahwa meskipun Angie anggota Banggar DPR, tetapi tidak sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menetapkan besarnya anggaran.

Keputusan di Banggar dilakukan secara kolektif, sehingga meskipun Angie terbukti menerima hadiah tetapi tidak memiliki kewenangan secara penuh untuk menetapkan anggaran di DPR. Ini yang kedua kalinya KPK menuntut pembayaran uang pengganti terhadap terdakwa suap, tetapi selalu dimentahkan oleh hakim.Sebab pembayaran uang pengganti terhadap terdakwa suap, meskipun tidak berasal dari uang negara seperti dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999, tetapi seharusnya tetap dikenakan pidana uang pengganti.

Selain sebagai upaya progresif terhadap korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa, juga mengelaborasi ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 31/1999 bahwa jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya, dan harus ditentukan dalam putusan hakim. 

Artinya, pembayaran uang pengganti dapat diganti dengan pidana penjara yang tidak mengarah pada pemiskinan. Tetapi umumnya koruptor lebih memilih pidana penjara ketimbang membayar uang pengganti dengan cara menyembunyikan (mengaburkan) harta yang diperoleh dari hasil korupsi. Maka itu, UU Pencucian Uang menjadi keharusan untuk menutup celah terhadap akal bulus para koruptor. 

Pewarisan Korupsi 

Tidak adanya terapi kejut dalam putusan hakim setidaknya akan mendorong lahirnya regenerasi koruptor. Para calon koruptor yang tersebar di institusi pemerintahan, legislatif, dan yudikatif bisa saja berpikir: siap dipenjara satu hingga lima tahun asal hasil korupsi yang miliaran rupiah tidak disita negara. Ini merupakan potret suram yang menggambarkan upaya memerangi korupsi belum berhasil karena tidak menciptakan efek takut.

Susah dibantah telah berlangsung sebuah proses ”pewarisan korupsi” yang melahirkan talenta baru koruptor secara sistematis. Ia tumbuh secara estafet lantaran hukum dan pelaksananya kehabisan tenaga menghentikannya. Putusan ringan terhadap Angie bisa merupakan langkah mundur dalam perang total terhadap korupsi.

Maka itu, harus ada upaya progresif agar putusan hakim benar-benar sepadan. Selain KPK melakukan banding, juga perlu menyimak sentilan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (SINDO,12/1/2013) yang menyebut terobosan yang sering dipakai di MK adalah terobosan untuk menegakkan keadilan substantif. 

Sekiranya para hakim tipikor berani melakukan terobosan hukum dengan mengabaikan belenggu hukum tertulis yang acap kali tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, boleh jadi hal itu akan memutus mata rantai pewarisan korupsi. Para hakim tipikor tidak mengedepankan formalitas kepastian hukum yang dalam realitasnya bisa dimanipulasi sehingga melukai rasa keadilan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar