Sabtu, 05 Januari 2013

Membangun Harapan melalui Pendidikan


Membangun Harapan melalui Pendidikan
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen
PW Muhammadiyah Jatim  
SINDO,  05 Januari 2013



Mantan senator Amerika Serikat (AS) dan penggagas yayasan beasiswa Fulbright, William Fulbright, pernah berujar: the education is slow movement, but powerful force. 

Ungkapan ini bermakna bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang pergerakannya lambat, tetapi memiliki daya dobrak luar biasa kuat. Pernyataan Fulbright ini layak direnungkan karena kini ada begitu banyak harapan yang dialamatkan pada dunia pendidikan. Institusi pendidikan diharapkan dapat berkontribusi dalam penyelesaian berbagai soal bangsa. Nalar inilah yang melandasi keinginan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mengganti kurikulum.

Pergantian kurikulum 2006,yang lebih dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), menjadi kurikulum 2013 saat ini telah melewati masa uji publik. Berdasar hasil uji publik itulah Kemendikbud berkesempatan untuk merevisi naskah akademik kurikulum sehingga siap dilaksanakan mulai tahun ajaran 2013/2014. Jika ditelisik lebih jauh memang banyak soal yang kini dihadapi bangsa. 

Sebagai contoh, sendi-sendi kehidupan berbangsa terus digerogoti virus korupsi sehingga negeri tercinta ini kian rapuh. Publik pun bertanya-tanya, apa sumbangsih lembaga pendidikan untuk mengatasi problem korupsi? Apalagi jika diamati, ternyata mereka yang terlibat kasus korupsi banyak yang berasal dari kalangan terpelajar. Bahkan sebagian mereka adalah lulusan pendidikan tinggi bergelar doktor dan profesor. 

Pertanyaannya, apakah lembaga pendidikan turut memproduk koruptor? Pada konteks inilah publik menganggap penting untuk memberikan materi pendidikan antikorupsi mulai tingkat taman kanak-kanak hingga pendidikan tinggi. Ironisnya bangsa ini ternyata tidak hanya menghadapi persoalan korupsi. Budaya kewargaan (civic culture) seperti keramah tamahan, toleran, dan berkeadaban yang selama ini menjadi identitas bangsa mulai tergerus seiring munculnya radikalisme di tengah-tengah masyarakat. 

Publik pun mulai membandingkan era reformasi dengan masa lalu.Sebagian kemudian menyimpulkan bahwa budaya kewargaan terus tergerus karena kalangan terdidik tidak lagi memperoleh pendidikan Pancasila secara memadai. Tuntutan untuk memasukkan Pancasila dalam kurikulum pendidikan pun terus menguat. Nilai-nilai Pancasila perlu diajarkan untuk menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan kaum muda. 

Yang penting diingat dalam kaitan ini, pembelajaran Pancasila harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih dialogis dan manusiawi. Ini dimaksudkan agar pendidikan mampu melahirkan generasi bangsa yang lebih berkarakter. Berbagai ironi yang terjadi di dunia pendidikan juga kian menjadi sehingga membutuhkan solusi. 

Kasus ketakjujuran saat ujian, tawuran antarpelajar, demonstrasi anarkistis, narkoba, seks bebas, video mesum, human trafficking, dan tindakan asusila lain yang melibatkan kalangan terpelajar telah menyedot begitu banyak perhatian. Kasus mutakhir yang membuat publik, termasuk guru dan orang tua, mengelus dada adalah arisan pekerja seks komersial (PSK) yang melibatkan pelajar SMA di Situbondo, Jatim.

Yang lebih ironis, ternyata PSK yang dijadikanpialabergilirpelajaritu ternyata telah positif terkena virus HIV.Hati siapa yang tidak miris membaca berita tersebut. Pertanyaannya,rentetan berita negatif inikah hasil pendidikan yang telah menyedot anggaran negara hingga mencapai 20%? Untuk merespons kasus seks bebas yang melibatkan pelajar, sebagian elemen mengusulkan agar ada kurikulum pendidikan seks. 

Ide ini jelas baik asal materi pendidikan seks tidak diberikan secara vulgar. Sebab, jika pembelajaran dilakukan secara vulgar, yang terjadi adalah dorongan yang semakin kuat untuk mengetahui lebih jauh atau bahkan ingin mencobanya. Melalui kurikulum pendidikan seks,pelajar diharapkan memperoleh informasi dari sumber yang benar sehingga terhindar dari praktik seks bebas. Di samping itu, anak-anak juga dapat menjaga kesehatan reproduksinya. 

Sebagai institusi yang diharapkan begitu banyak elemen, praktisi pendidikan harus menemukan strategi yang tepat untuk mengajarkan materi yang menjadi tuntutan publik. Paling tidak ada dua strategi yang dapat dilakukan. Pertama, menyiapkan kurikulum sesuai dengan materi yang dikehendaki. Jika ini yang menjadi pilihan, dapat dibayangkan betapa gemuk struktur kurikulum dalam satuan pendidikan. Kedua, melalui strategi penyisipan (inserting) materi pendidikan. Strategi penyisipan materi ini terasa paling memungkinkan. 

Melalui strategi inserting penyampaian materi pendidikan sesuai dengan topik yang akan diajarkan dapat dilakukan lebih fleksibel. Itu berarti tidak harus ada mata pelajaran baru. Strategi kedua ini juga terasa sejalan dengan semangat yang dikembangkan Kemendikbud. Dalam naskah akademik kurikulum 2013, Kemendikbud menekankan adanya perampingan kurikulum sehingga ada beberapa mata pelajaran yang harus diintegrasikan. 

Pendidikdanpemerhatipendidikan tetap dapat berkreasi untuk menyusun sebanyak mungkin modul berkaitan dengan pendidikan antikorupsi, lingkungan hidup, civic culture, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, serta pencegahan virus HIV/AIDS. Selanjutnya, modul ini dijadikan sebagai salah satu sumber belajar. Yang perlu diingat, pendidikan berbagai materi yang dibutuhkan bangsa ini tidak boleh sekadar transfer pengetahuan. 

Yang jauh lebih penting dari sistem pendidikan adalah menumbuhkan afeksi anak sehingga mewujud dalam perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Selain melalui mata pelajaran, sesungguhnya ada satu variabel yang terasa hilang dari proses pembelajaran,yaitu keteladanan. Berbagai ironi yang terjadi di dunia pendidikan salah satu faktornya sangat mungkin disebabkan tiadanya keteladanan. Keteladanan mutlak dibutuhkan untuk membentuk pribadi anak sehingga berintegritas dan berakhlak mulia. Pada konteks inilah setiap orang yang memiliki keprihatinan terhadap nasib generasi mendatang wajib menghadirkan keteladanan di sekolah, rumah, dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar