Paradoks
Senjata AS
Heru Susetyo ; Staf Pengajar Hak
Asasi Manusia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA,
19 Januari 2013
Penembakan demi
penembakan massal terjadi begitu telanjang di Amerika Serikat (AS). Terjadi
di sekolah, kampus, shopping center,
jalanan, sampai di dalam bioskop. Korban jiwa yang tewas dan luka-luka tak
terhitung banyaknya.
Parahnya, pelakunya adalah orang biasa, warga sipil. Bukan militer, bukan polisi,
juga bukan dalam rangka penegakan hukum. Mereka adalah warga biasa yang
stres, psycho, yang gerah karena menjadi korban bullying, dan serangkaian sebab lain yang berhubungan dengan
masalah kejiwaan dan disintegrasi sosial.
Tindakan `terorisme'
skala nasional ini hampir merata terjadinya. Sejak tahun 1982 sampai
peristiwa Sandy Hook Elementary School
14 Desember 2012, telah terjadi 61 penembakan mas- sal di Amerika Serikat.
Kemudian, setelah peristiwa berdarah di Columbine
High School Colorado, 20 April 1999, tempat dua siswa menembak tewas 13
rekannya (yang kemudian menjadi ikon kasus penembakan massal di AS), paling
tidak, telah terjadi lagi 31 penembakan massal di dalam sekolah atau kampus
di AS.
Data statistik
menunjukkan bahwa jumlah korban tewas oleh senjata api yang dimuntahkan oleh
warga sipil di AS adalah 19,5 kali lebih tinggi daripada semua negara maju di
dunia. Begitu banyaknya penembakan massal di dalam negeri AS tersebut tentu
nya melahirkan pertanyaan awam, menga pa Pemerintah AS serius mengatasi
`terorisme' di luar negeri, tapi tak mampu menanggulangi `terorisme' di dalam
negeri sendiri?
Ketidakberdayaan
Pemerintah AS terungkap ketika pemerintahan Obama sulit sekali untuk
meloloskan Undang-Undang Pengetatan Kepemilikan Senjata Api bagi warga sipil
di tingkat kongres, juga di kalangan masyarakat. Asosiasi Senjata Nasional (National Rifle Association) menentang
usulan tersebut karena dinilai melanggar konstitusi. Sementara itu, pengusaha
senjata khawatir lebih karena alasan ekonomi (Republika, 16/01/2013).
Ironi berikutnya
adalah ketika di dalam negeri tak berdaya, di luar negeri militer dan senjata
AS begitu digdaya menebar kekerasan. Atas nama perang melawan terorisme (war against terrorism) dalam perang Afghanistan
2001. Atas nama preemptive strike (sebelum
diserang maka menyerang duluan) dan menghancurkan senjata pemusnah massal
dalam perang Irak 2003. Atas nama `menegakkan kedamaian dan keamanan
internasional,' alias menjadi polisi dunia atas kehendak sendiri. Semua
tindakan kekerasan dijustifikasi sendiri.
Korban jiwa yang jatuh
oleh serangan tentara AS dan koalisinya, baik pasukan asing maupun warga
sipil asing begitu banyak. Utamanya di Afghanistan dan Irak. Belum lagi
korban jiwa yang jatuh di Gaza, Palestina, tempat AS selalu memberikan
justifikasi terhadap kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga
Gaza-Palestina.
Dalam serangan ke
Afghanistan sejak Oktober 2001 sampai pertengahan Januari 2002 saja, sekitar
4.500 warga sipil Afghanistan tewas karena serangan langsung, luka parah,
kelaparan, dan sebab-sebab lain yang terkait dengan serangan pasukan koalisi
pimpinan AS (data dari Project on
Defense Alternative). Bahkan the Guardian menyebutkan sekitar 20 ribu
warga Afghanistan tewas, baik karena serangan udara maupun serangan darat
koalisi yang mengatasnamakan `war against
terrorism'.
Dalam serangan AS ke
Irak sejak Maret 2003 atas nama menghancurkan senjata pemusnah massal, yang
belakangan tidak diketemukan, paling tidak telah jatuh 654.965 korban tewas
sampai Juni 2006 (versi Lancet Survey)
atau 1.033.000 sampai Agustus 2007 (versi Opinion
Research Business Survey). Kemudian, dalam serangan Israel ke Gaza,
Palestina, pada Desember 2008 - Januari 2009 (Operation Cast Lead) sekitar 926 warga sipil Gaza tewas.
Ironisnya, AS selaku
`polisi dunia', tidak menentang serangan berdarah tersebut. Lebih buruk
lagi, dalam serangan Israeli Defense
Force terhadap MV Mavi Marmara dalam misi Freedom Flotilla pada 31 Mei 2010. UN Human Rights Council Fact Finding Mission menyimpulkan bahwa
serangan tersebut adalah sangat jelas melanggar hukum (clearly unlawful) dan Palmer Report (2011) menyebutkan bahwa
serangan tersebut berlebihan (excessive).
Sebaliknya, AS lebih mempercayai laporan investigasi Israel dalam kasus
tersebut dengan mengatakan bahwa laporan Israel adalah kredibel, imparsial,
dan transparan (hurriyet, 25/01/2011).
Hak asasi seperti apa?
Kebingungan berikutnya
adalah tentang tafsir hak asasi apa yang dianut pemerintah dan masyarakat AS
sehingga memiliki senjata api dianggap sebagai hak asasi. Bahkan, dilindungi
oleh konstitusi. Amendemen Kedua Konstitusi AS yang diadopsi pada 15 Desember
1791 menjamin hak warga untuk memiliki dan menyandang senjata api (right of the people to keep and bear arms).
Antara lain, untuk tujuan yang tidak melawan hokum, seperti membela diri (self defense) di tanah sendiri dan
bukan merupakan bagian dari suatu milisi.
Pada praktiknya,
tujuan untuk `self defense' dan
penggunaan yang tidak melawan hukum ini tidak selalu terlaksana. Enam puluh
satu kasus penembakan massal yang terjadi sejak 1999, yang 31 kasus di
antaranya terjadi di dalam sekolah/kampus adalah contoh buruk
ketidakberdayaan negara melindungi rakyatnya. Ini juga bukti bahwa penggunaan
senjata api oleh warga sipil sangat bisa melawan hukum.
Inilah ironisnya,
kalau tidak bisa dibilang paradoks. Karena, menilik dari serangan ke
Afghanistan (sejak 2001) dan Irak (sejak 2003) dan pembiaran AS terhadap
kekerasan Israel yang dilakukan di Palestina, utamanya Gaza, Pemerintah AS
begitu mudah menebar kekerasan di luar negeri dengan segala macam
justifikasinya.
Perang melawan teroris, mempertahankan kebebasan (enduring freedom), memperjuangkan
keadilan yang tak terbatas (infinite
justice), dan menghancurkan senjata pemusnah massal selalu disebut
sebagai alasan.
Sebaliknya, begitu
sulitnya mencegah penembakan massal di negeri sendiri yang telah mengorbankan
ribuan jiwa warga tak berdosa. Isu `terorisme'
memang barangkali lebih seksi untuk di luar negeri. Tidak untuk `terorisme' yang terjadi di dalam negeri sendiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar