Minggu, 20 Januari 2013

Paradoks Senjata AS


Paradoks Senjata AS
Heru Susetyo ;  Staf Pengajar Hak Asasi Manusia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
REPUBLIKA, 19 Januari 2013



Penembakan demi penembakan massal terjadi begitu telanjang di Amerika Serikat (AS). Terjadi di sekolah, kampus, shopping center, jalanan, sampai di dalam bioskop. Korban jiwa yang tewas dan luka-luka tak terhitung banyaknya.

Parahnya, pelakunya adalah orang biasa, warga sipil. Bukan militer, bukan polisi, juga bukan dalam rangka penegakan hukum. Mereka adalah warga biasa yang stres, psycho, yang gerah karena menjadi korban bullying, dan serangkaian sebab lain yang berhubungan dengan masalah kejiwaan dan disintegrasi sosial.

Tindakan `terorisme' skala nasional ini hampir merata terjadinya. Sejak tahun 1982 sampai peristiwa Sandy Hook Elementary School 14 Desember 2012, telah terjadi 61 penembakan mas- sal di Amerika Serikat. Kemudian, setelah peristiwa berdarah di Columbine High School Colorado, 20 April 1999, tempat dua siswa menembak tewas 13 rekannya (yang kemudian menjadi ikon kasus penembakan massal di AS), paling tidak, telah terjadi lagi 31 penembakan massal di dalam sekolah atau kampus di AS. 

Data statistik menunjukkan bahwa jumlah korban tewas oleh senjata api yang dimuntahkan oleh warga sipil di AS adalah 19,5 kali lebih tinggi daripada semua negara maju di dunia. Begitu banyaknya penembakan massal di dalam negeri AS tersebut tentu nya melahirkan pertanyaan awam, menga pa Pemerintah AS serius mengatasi `terorisme' di luar negeri, tapi tak mampu menanggulangi `terorisme' di dalam negeri sendiri?

Ketidakberdayaan Pemerintah AS terungkap ketika pemerintahan Obama sulit sekali untuk meloloskan Undang-Undang Pengetatan Kepemilikan Senjata Api bagi warga sipil di tingkat kongres, juga di kalangan masyarakat. Asosiasi Senjata Nasional (National Rifle Association) menentang usulan tersebut karena dinilai melanggar konstitusi. Sementara itu, pengusaha senjata khawatir lebih karena alasan ekonomi (Republika, 16/01/2013).

Ironi berikutnya adalah ketika di dalam negeri tak berdaya, di luar negeri militer dan senjata AS begitu digdaya menebar kekerasan. Atas nama perang melawan terorisme (war against terrorism) dalam perang Afghanistan 2001. Atas nama preemptive strike (sebelum diserang maka menyerang duluan) dan menghancurkan senjata pemusnah massal dalam perang Irak 2003. Atas nama `menegakkan kedamaian dan keamanan internasional,' alias menjadi polisi dunia atas kehendak sendiri. Semua tindakan kekerasan dijustifikasi sendiri.

Korban jiwa yang jatuh oleh serangan tentara AS dan koalisinya, baik pasukan asing maupun warga sipil asing begitu banyak. Utamanya di Afghanistan dan Irak. Belum lagi korban jiwa yang jatuh di Gaza, Palestina, tempat AS selalu memberikan justifikasi terhadap kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza-Palestina.

Dalam serangan ke Afghanistan sejak Oktober 2001 sampai pertengahan Januari 2002 saja, sekitar 4.500 warga sipil Afghanistan tewas karena serangan langsung, luka parah, kelaparan, dan sebab-sebab lain yang terkait dengan serangan pasukan koalisi pimpinan AS (data dari Project on Defense Alternative). Bahkan the Guardian menyebutkan sekitar 20 ribu warga Afghanistan tewas, baik karena serangan udara maupun serangan darat koalisi yang mengatasnamakan `war against terrorism'.

Dalam serangan AS ke Irak sejak Maret 2003 atas nama menghancurkan senjata pemusnah massal, yang belakangan tidak diketemukan, paling tidak telah jatuh 654.965 korban tewas sampai Juni 2006 (versi Lancet Survey) atau 1.033.000 sampai Agustus 2007 (versi Opinion Research Business Survey). Kemudian, dalam serangan Israel ke Gaza, Palestina, pada Desember 2008 - Januari 2009 (Operation Cast Lead) sekitar 926 warga sipil Gaza tewas.

Ironisnya, AS selaku `polisi dunia', tidak menentang serangan berdarah tersebut. Lebih buruk lagi, dalam serangan Israeli Defense Force terhadap MV Mavi Marmara dalam misi Freedom Flotilla pada 31 Mei 2010. UN Human Rights Council Fact Finding Mission menyimpulkan bahwa serangan tersebut adalah sangat jelas melanggar hukum (clearly unlawful) dan Palmer Report (2011) menyebutkan bahwa serangan tersebut berlebihan (excessive). Sebaliknya, AS lebih mempercayai laporan investigasi Israel dalam kasus tersebut dengan mengatakan bahwa laporan Israel adalah kredibel, imparsial, dan transparan (hurriyet, 25/01/2011).

Hak asasi seperti apa?

Kebingungan berikutnya adalah tentang tafsir hak asasi apa yang dianut pemerintah dan masyarakat AS sehingga memiliki senjata api dianggap sebagai hak asasi. Bahkan, dilindungi oleh konstitusi. Amendemen Kedua Konstitusi AS yang diadopsi pada 15 Desember 1791 menjamin hak warga untuk memiliki dan menyandang senjata api (right of the people to keep and bear arms). Antara lain, untuk tujuan yang tidak melawan hokum, seperti membela diri (self defense) di tanah sendiri dan bukan merupakan bagian dari suatu milisi.

Pada praktiknya, tujuan untuk `self defense' dan penggunaan yang tidak melawan hukum ini tidak selalu terlaksana. Enam puluh satu kasus penembakan massal yang terjadi sejak 1999, yang 31 kasus di antaranya terjadi di dalam sekolah/kampus adalah contoh buruk ketidakberdayaan negara melindungi rakyatnya. Ini juga bukti bahwa penggunaan senjata api oleh warga sipil sangat bisa melawan hukum.
Inilah ironisnya, kalau tidak bisa dibilang paradoks. Karena, menilik dari serangan ke Afghanistan (sejak 2001) dan Irak (sejak 2003) dan pembiaran AS terhadap kekerasan Israel yang dilakukan di Palestina, utamanya Gaza, Pemerintah AS begitu mudah menebar kekerasan di luar negeri dengan segala macam justifikasinya. 

Perang melawan teroris, mempertahankan kebebasan (enduring freedom), memperjuangkan keadilan yang tak terbatas (infinite justice), dan menghancurkan senjata pemusnah massal selalu disebut sebagai alasan.

Sebaliknya, begitu sulitnya mencegah penembakan massal di negeri sendiri yang telah mengorbankan ribuan jiwa warga tak berdosa. Isu `terorisme'
memang barangkali lebih seksi untuk di luar negeri. Tidak untuk `terorisme'
yang terjadi di dalam negeri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar