Kamis, 10 Januari 2013

Spirit Internasional tanpa RSBI


Spirit Internasional tanpa RSBI
Biyanto ;   Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA POS,  10 Januari 2013



MAHKAMAH Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan yang "memakamkan" status rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Bisa jadi keputusan ini meresahkan sekolah berstatus RSBI. Tetapi, jika dilihat alasan yang dikemukakan, putusan MK terasa sangat tepat. MK berpendapat bahwa status RSBI bertentangan dengan spirit UUD '45 yang mengamanahkan setiap warga negara berhak memperoleh layanan pendidikan.

MK pun membeberkan fakta bahwa mayoritas sekolah berstatus RSBI hanya menerima siswa dengan latar belakang ekonomi mampu. Akibatnya, terjadi kastanisasi pendidikan yang mewujud dalam kelas reguler dan RSBI.

MK juga menyoroti kecenderungan komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan banyaknya pungutan. Bahkan, di kalangan masyarakat RSBI, hal itu dipelesetkan dengan rintisan sekolah "bertarif" internasional. Hanya tarifnya yang internasional, sementara mutunya lokal. Ini jelas sindiran terhadap mahalnya biaya pendidikan di sekolah berstatus RSBI.

Persoalan jati diri anak bangsa juga menjadi kekhawatiran karena kurikulum RSBI diadopsi dari pendidikan luar negeri. Apalagi, dalam pembelajaran, penggunaan bahasa Inggris ditekankan sebagai pengantar. Sementara itu, alokasi materi yang berkaitan dengan nilai-nilai keindonesiaan dirasa sangat kurang (Jawa Pos, 9 Januari 2013).

Putusan MK sekaligus mengakhiri perdebatan mengenai keberadaan sekolah berstatus RSBI. Sebab, pasca putusan MK, sekolah tidak boleh lagi menggunakan status RSBI.

Yang menarik ditunggu adalah sikap Kemendikbud. Sejauh ini Kemendikbud masih berniat untuk melanjutkan program yang digulirkan sejak 2005 itu. Bahkan, penganggaran untuk mendukung program RSBI telah dialokasikan. Sebab, dalam perspektif Kemendikbud, program RSBI dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di tingkat internasional. Program ini juga merupakan ikhtiar untuk menjalankan amanah konstitusi (UU Sisdiknas 20/2003, pasal 50 ayat 3).

Sejak Januari 2012 Kemendikbud sejatinya mengevaluasi 1.305 sekolah jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK yang berstatus RSBI. Hasil evaluasi menyimpulkan bahwa program RSBI dianggap gagal. Indikatornya, belum ada satu pun sekolah berstatus RSBI yang statusnya naik menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Padahal, untuk menjadi SBI, jenjang SD hanya membutuhkan tiga tahun, SMP empat tahun, dan SMA/SMK lima tahun.

Kegagalan itu menunjukkan bahwa program RSBI tidak dirancang dengan serius dan berkelanjutan. Padahal, program RSBI telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah dari APBN dan APBD.

Beberapa sekolah berstatus RSBI sejatinya telah lama menanyakan keberlanjutan program ini kepada pemerintah. Pertanyaan yang diajukan terutama berkaitan dengan perubahan status RSBI menjadi SBI. Karena tidak ada kepastian dari pemerintah, sebagian sekolah pun khawatir. Apalagi subsidi pemerintah mulai dikurangi.

Di tengah ketidakpastian itu, sekolah melakukan fundraising guna menutupi biaya operasional. Ironinya, ikhtiar sekolah ini dianggap tidak sejalan dengan program pemerintah mengenai pendidikan gratis. Sebab, pungutan tersebut dapat mereduksi kampanye pendidikan gratis yang selama ini digelorakan pemerintah. Faktanya, kampanye pendidikan gratis cenderung menyesatkan karena tidak pernah ada dalam kenyataan.

Beda Tak Selalu Diskriminasi 

Karena MK telah mengumumkan putusan, Kemendikbud tidak memiliki pilihan lain. Program yang selama ini dirancang untuk mempertahankan RSBI harus dialihkan untuk kegiatan lain. Tetapi, Kemendikbud tidak boleh kehilangan semangat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Apa pun namanya, semangat untuk menginternasionalisasikan mutu pendidikan tetap penting.

Pada konteks itulah, sekolah dapat menginisiasi program RSBI dengan menciptakan kelas-kelas unggulan. Rasanya tidak adil jika mengatasnamakan kesamaan hak warga negara dalam memperoleh pendidikan kemudian menafikan anak-anak yang bertalenta hebat. Mereka yang bertalenta luar biasa jelas berhak memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Pada mereka selayaknya kita berharap munculnya generasi emas yang akan menentukan perjalanan bangsa di masa mendatang.

Salah satu prinsip pendidikan holistis (holistic education) menekankan pentingnya perlakuan yang berbeda sesuai dengan keunikan anak. Proses pendidikan harus menghargai peserta didik sebagai pribadi yang unik (honoring students as individuals, individual uniqueness). Setiap orang yang lahir di dunia ini pasti dianugerahi potensi oleh Tuhan sebagai bekal hidup. Karena itu, seharusnya tidak ada lagi pendidik yang menvonis anak dengan status "anak nakal" atau "anak bodoh". Semua anak harus dipandang sebagai mutiara dengan potensi bawaan yang berbeda-beda. Tugas pendidik adalah memfasilitasi anak-anak agar menyadari potensi itu dan mengembangkannya sehingga menjadi kekuatan yang luar biasa.

Dengan memahami prinsip dalam pendidikan holistis, jika ada perlakuan berbeda pada anak, tidak dapat digeneralisasi bahwa telah terjadi diskriminasi. Anak yang bertalenta hebat di bidang akademis harus difasilitasi sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga anak yang memiliki bakat di bidang nonakademis.

Untuk memberikan layanan terbaik, jelas dibutuhkan dana yang besar. Dalam konteks inilah, negara jika mau konsisten seharusnya menyediakan semua kebutuhan pendidikan anak. Tetapi, kita tahu persis, kemampuan negara sangat terbatas jika harus membiayai pendidikan yang bermutu untuk semua anak bangsa.

Karena itulah, pemerintah membutuhkan stakeholder pendidikan dari kelompok swasta sehingga tugas mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terlaksana dengan baik. Sinergi pemerintah dan swasta ini penting untuk mewujudkan kelas-kelas unggulan yang mewadahi anak dengan berbagai bakat. Kelas-kelas unggulan inilah yang diharapkan dapat menggantikan program RSBI.

Untuk merealisasikan keinginan tersebut, yang dibutuhkan hanya political will dari pemerintah. Pemerintah harus memberikan kelonggaran kepada sekolah untuk memobilisasi sumber daya masyarakat. Ikhtiar ini jelas tidak termasuk kategori komersialisasi pendidikan sebagaimana diduga MK. Justru secara otomatis terjadi subsidi antara anak orang kaya dan miskin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar