Senin, 07 Januari 2013

Bukan Sekadar Kenangan


Bukan Sekadar Kenangan
Adi Nugroho ;  Direktur Pesisir dan Lautan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
SUARA MERDEKA,  07 Januari 2013


Membangun merek (brand) ibarat upaya menepati janji: mengubah konsep abstrak yang melekat di kepala menjadi persepsi. Hasilnya dua, yakni positif jika kita menepati, dan negatif jika kenyataan tidak terwujud. Dalam merancang strategi membangun merek (kita kenal sebagai branding) kadang pelaku mengabaikan penepatan janji. 

Dengan percaya diri ketika meluncurkan sesederhana apa pun logo atau tagline, pelaku merek berpikir sasaran yang dituju akan percaya begitu saja citra yang dimunculkan tanpa memperhatikan hal kecil, seperti aktivasi dan proses engagement dengan mereka. 

Contoh sederhana, anggota Satpol PP berseragam lengkap menertibkan pengendara motor supaya tidak parkir di trotoar tapi mereka, atau beberapa di antara mereka, memarkir motor dinas di atas trotoar. Kesalahan kecil namun berefek besar seperti ini kita sebut brand strategy gap, yang akan menghasilkan image gap.

Dalam konteks pembangunan fisik kota Semarang, kendati belakangan ini mencuri banyak perhatian, acap citra yang muncul di pikiran audiens (tamu, wisatawan) tidak dikelola dengan baik karena nirstrategi yang jelas dari pelaku merek (pemerintah). 

Pada tahapan prakunjungan, wisatawan (pengunjung) mengangankan citra sebuah tempat yang biasanya ditanamkan oleh sumber informasi sekunder melalui cara pemasaran konvensional. Bentuk promosi iklan di berbagai media yang menampilkan gambar indah menjadi umum dipakai. Hal ini tidak salah bila gambar itu serupa dengan faktanya. Pasalnya, kondisi itu kerap terbalik. 

Bayangkan, wisatawan termakan janji bahwa Semarang adalah Pesona Asia. Faktanya, tempat wisata di kota ini masih kabur menerjemahkan maksud ’’Asia’’, termasuk  pesonanya. Akibatnya, muncul konflik persepsi setelah mengunjungi objek itu, semisal Semarang ternyata biasa-biasa saja, hingga mengecewakan, sebagai cerminan citra kota. 

Kini Pemkot mengusung konsep brand image dengan tagline Kota Kenangan (SM, 12/11/12). Tanpa didahului riset memadai, bukan tak mungkin inisiatif promosi tersebut menghasilkan jurang citra seperti sebelumnya. Menurut Gartner dan Hunt (1987) hal tersebut terjadi akibat komunikasi satu arah pelaku merek sebuah tempat yang cenderung mengabaikan keinginan dari (calon) pengunjung.

Komunikasi Visual

Belajar dari trilogi Lord of The Ring (2001, 2002, 2003), 70% turis yang datang ke Selandia  Baru mengatakan ingin menonton dan mengetahui bahwa syuting film dengan sutradara Peter Jackson itu dilakukan di sana (Govers dan Go, 2009). 

Wisatawan mengaku ingin merasakan pengalaman langsung dengan dorongan imajinasi; di sinilah lokasi Frodo Baggins berliku-liku memperjuangkan hidup para Hobbit, Kurcaci, Elf, dan manusia selama 13 bulan kalender Hob-biton. 

Lantas, siapa tidak kenal Doraemon? Kucing robot masa depan kreasi Fujiko F Fujio dinobatkan sebagai duta besar kebudayaan Jepang 2008. Penanaman citra Jepang tak berhenti hanya pada Dorae-mon. Anak muda sekarang lebih fasih bicara J-Pop dan saudara serumpunnya, K-Pop. 

Contoh paling mutakhir tentu saja Gangnam Style. PSY atau Doraemon bicara hal sama, memperkenalkan cerita tempat bernama Jepang dan Gangnam (Korsel) melalui kemasan budaya populer. Jika Pemkot Semarang bersedia berkolaborasi dengan warga, pelaku bisnis, akademisi, dan  calon wisatawan maka model diskursus aktif bisa segera mengambil bentuk. Eksekutif bisa cepat mendapatkan hasil positif, yakni pengingat bersahabat sekaligus solusi bahwa membangun merek adalah proses ilmiah. 

Artinya, ada proses meneliti, menganalisis, menggali, membuat sintesis, dan merancang, lalu konsisten mengevaluasi. Itu sekaligus untuk mempertegas bahwa branding bukanlah sekadar memunculkan gagasan seketika: sebuah kota yang masih menapaki masa ke depan adalah sekadar kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar