Selasa, 01 Januari 2013

Sekutu Elite dan Pemodal


Sekutu Elite dan Pemodal
Benny Susetyo ;   Sekretaris Dewan Nasional Setara  
SINDO,  01 Januari 2013



Kasus pelanggaran HAM yang semakin marak menunjukkan semakin lemahnya negara dalam membela kepentingan rakyat kecil. Sang pemimpin pun hanya diam melihat semua ini seolah tak mampu melakukan apa-apa. 

Aparatus negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru, bersama para preman, menjadi kaki tangan pemodal untuk membantai rakyat yang melakukan aksi protes. Inilah gambaran suram negeri yang kita cintai ini.Pada 2012 semuanya menjadi semakin jelas kepada siapa negara berpihak saat rakyat kecil diinjak-injak. Jika elite negara mulai bersekutu dengan modal, negara pun semakin menjauhi keadaban publik. 

Maka memasuki 2013 ini pertanyaan besar yang mengemuka di depan kita, sanggupkah kita melakukan perubahan radikal untuk melahirkan keadaban publik baru dengan mengembalikan hak-hak rakyat yang telah dirampas selama ini? Kedaulatan rakyat yang dinyatakan selama ini sekadar kata-kata tanpa makna.Nyata tiada realitasnya.Kedaulatan rakyat hanyalah bahan pidato para pejabat.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari, yang berdaulat sesungguhnya yang berkuasa, memiliki jabatan dan mau bersekutu dengan para pemodal. Menghadapi situasi politik birokrasi yang makin nepotis dan penuh dengan kolusi, para pebisnis perlahan-lahan memasuki dunia hitam. Bersekongkol untuk menghabisi rakyat kecil dengan berbagai cara. Konglomerasi justru tidak memiliki dampak ”tetesan ke bawah” karena penumpukan modal pada akhirnya kembali diputar dalam arena politik untuk menghasilkan dukungan dan pada gilirannya adalah tumpukan modal yang lebih besar lagi. 

Sekutu Elite-Pemodal 

Harus dipahami, tugas pejabat publik adalah mengelola negara dalam mengatur kekayaan publik sebaik-baiknya, bukan memilikinya.Kekayaan publik semestinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini tersirat jelas dalam konstitusi kita. Bumi dan kekayaannya harus diolah demi kemakmuran bersama. Rumusan ini sebenarnya memberi amanat kepada pengelola negara untuk mengatur kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia demi rakyat. 

Sayangnya, para pejabat publik kerap tidak memiliki tanggung jawab dan kesadaran sebagaimana penegasan dalam konstitusi tersebut. Konstitusi sering ditafsirkan secara sembarang dan mengarah pada kepentingan politik kekuasaan semata. Ini membuat kesejahteraan sulit tercipta karena badan publik yang membuat kebijakan acap bermain mata dengan pasar dan sering berkolaborasi dengan komunitas bisnis hitam. 

Para pebisnis hitam memasuki dunia politik untuk melindungi diri. Politik menjadi arena perdagangan semata. Permainan mereka inilah yang sering merugikan masyarakat. Alam Indonesia kering disedot oleh para mafia ini. Di tingkat akar rumput diciptakan potensi konflik dan kekerasan, adu domba. Sering kali ini sebenarnya hanya upaya mengalihkan masalah lebih besar, yakni rusaknya keadaan publik yang ditandai dengan kolusi elite politik yang memproduksi undang dengan kekuatan pasar hitam. 

Inilah yang membuat wajah keadaban publik menjadi muram karena tidak mampu menata pemerintahan yang efisien dan efektif untuk memberikan pelayanan publik sebaik- baik dan seadil-adilnya. Badan publik selalu dipenuhi “titipan politik”. Mereka sering direpotkan oleh manuver partai politik yang meminta jatah setoran untuk kepentingan partai dan pribadi. Karena itu optimalisasi badan publik hanya bisa dilakukan bila kekuasaan politik berhenti melakukan praktik pemerasan terhadap badan publik negara. 

Ketidakberdayaan Negara 

Kepercayaan yang meluntur kepada aparat pemerintah diperkuat dengan pemerintah yang kerap abai terhadap penderitaan rakyat. Ini semua melahirkan jurang sengsara yang semakin dalam. Kenyataan sosial menunjukkan kehidupan semakin sulit, persaingan yang semakin tidak wajar karena regulasi yang tak memihak kaum lemah, upaya mencari pekerjaan yang semakin sulit dan seterusnya. Banyak kejadian yang mencoreng muka bangsa ini pada 2011. 

Sebagian besar dipertontonkan dalam sebuah pertunjukan ketidakberdayaan negara mengemban fungsi asalinya sebagai pelindung warga. Negara justru terjebak dalam permainan dengan konglomerat hitam untuk tujuan politik kekuasaan tertentu. Politik yang tidak berkeadilan, pertentangan antarelite, kebijakan yang memihak kaum berduit, dan seterusnya masih mewarnai kehidupan bangsa ini sepanjang 2012. 

Sepak terjang politisi masih jauh dari harapan rakyat. Mereka kerap dinilai semakin memuakkan. Itulah alasan utama mengapa rakyat pun sering melakukan tindakan di luar kontrol. Mereka tidak segan-segan melakukan penghakiman massa, pembakaran dan tindakan- tindakan anarkistis. Itu semua merupakan puncak dari kekesalan dan apatisme yang kuat terhadap peran negara. Potensi kekerasan ini pun semakin lama semakin meluas dalam berbagai segi, level,dan sebab. Sebuah pertanyaan tersisa dari tahun-tahun sebelumnya kembali mencuat. 

Sejumlah tokoh pun silih berganti bersuara cemas. Mengapa aparat negara justru kerap dituding sebagai biang kerok berbagai pelanggaran HAM dan konstitusi? Mengapa pemimpin seolah diam menyaksikan semua tragedi itu tanpa langkah konkret pemihakan terhadap rakyat kecil sebagai korban? Kita pun bertanya,di mana aparatus negara yang seharusnya berfungsi mengemban tugas untuk melindungi rakyat dan menciptakan ketenteraman? Dari berbagai persoalan yang ada, begitu muram memikirkan wajah masa depan bangsa ini. 

Tidak bisa tidak, kita butuh sebuah loncatan berpikir yang tidak hanya bersikap reaktif serta hanya mementingkan kelompok saja. Dibutuhkan keseriusan semua elite politik untuk duduk bersama dalam menyikapi berbagai kekerasan yang potensial mengancam kehidupan bersama sebagai bangsa. Perubahan sekarang juga! Atau melihat Indonesia akan segera masuk museum sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar