Kamis, 10 Januari 2013

KPK Dikepung Perompak


KPK Dikepung Perompak
Donal Fariz ;   Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW 
KORAN TEMPO,  10 Januari 2013



Pidato Presiden dalam peringatan Hari Antikorupsi dan HAM Sedunia (10 Desember) tahun lalu seolah ikrar bahwa negara harus menyelamatkan pejabat yang melakukan korupsi namun tidak paham bahwa yang dilakukannya merupakan korupsi. 
Nasib Komisi Pemberantasan Korupsi diprediksi memburuk pada 2013. Selain menghadapi problem internal terberat sepanjang sejarah lembaga tersebut berdiri, KPK akan dikepung persoalan yang berasal dari kekuasaan eksekutif, legislatif, bahkan hingga yudikatif. 
Dengan bermodal tidak lebih dari 60 orang penyidik, rasanya tidaklah berlebihan menyebut KPK berada dalam kondisi terburuk sepanjang 9 tahun lembaga antirasuah tersebut berdiri. Lembaga ini menghadapi guncangan yang luar biasa akibat konflik yang tengah terjadi antara KPK dan Polri. Penarikan besar-besaran penyidik oleh Polri menciptakan jurang pemisah antara tumpukan kasus dan ketersediaan tenaga penyidik. 
Bukan hanya jumlah yang semakin menipis, mereka para penyidik yang masih bertahan pun tidak dapat berkonsentrasi penuh menangani kasus-kasus yang ada saat ini. Upaya kriminalisasi dengan cara mencari-cari kesalahan masa lalu tengah membayangi mereka sebagaimana yang tengah dialami salah seorang rekannya, Novel Baswedan, saat ini. Dengan demikian, tidak berlebihan, ada penyidik KPK yang paranoid di tengah kondisi yang tidak menentu. 
Selubung persoalan akan terus berlanjut pada 2013 ini. Bahkan sangat mungkin memburuk dan semakin "keras" manakala kasus yang menyeret Irjen Djoko Susilo, jenderal aktif Polri yang menjadi tersangka kasus driving simulator, masuk ke proses persidangan. Gesekan dua institusi tersebut akan semakin terbuka seiring dibongkarnya "aib" sang jenderal bersama institusinya di persidangan Tipikor. 
Dikepung Persoalan 
Namun permasalahan penyidik ini hanya salah satu dari persoalan yang akan menghadang KPK. Sebab, problem eksternal yang tidak kalah seriusnya muncul dari tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, bahkan hingga yudikatif. 
Kekuasaan legislatif, yang diwakili DPR, diprediksi akan tetap menjadi penghadang terbesar kerja-kerja yang dilakukan KPK. Ini bukan cerita baru, karena publik sudah merekam dengan sangat baik setiap jengkal serangan yang dilakukan oleh sejumlah oknum politikus Senayan yang gerah dengan keberadaan KPK. 
Namun serangan tersebut akan semakin intensif mengingat tahun 2013 merupakan momentum bagi elite predator untuk menumpuk logistik menjelang pesta demokrasi pada 2014. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hajatan politik semacam pemilu akan membuat partai politik berburu mencari sumber-sumber dana untuk partai masing-masing. Berbagai cara ditempuh, dari yang legal sampai cara-cara ilegal. 
Cara paling mudah untuk menumpuk pundi-pundi menjelang pemilu adalah menggerogoti APBN. Lalu, pertanyaannya, bagaimana cara memudahkan persekongkolan merampok uang rakyat tersebut? jawabannya tentu dengan menyingkirkan penghadang atau setidaknya mengganggu "radar" aparat penegak hukum. 
Sinyal gangguan terhadap KPK sudah terlihat ketika DPR masih tetap mencantumkan revisi Undang-Undang KPK dalam salah satu daftar Program Legislasi Nasional tahun ini. Padahal revisi UU KPK yang sempat digulirkan tahun lalu mendapat penolakan masif dari masyarakat luas, karena kewenangan KPK dipangkas signifikan dalam draf revisi tersebut. Ketika upaya revisi tetap terus digulirkan, patut dicurigai hal tersebut didesain sebagai sebuah serangan terencana yang tengah dipersiapkan parlemen untuk menjegal dan mengganggu KPK. Dengan demikian, energi lembaga ini sengaja digiring kepada persoalan revisi undang-undang tersebut. Ujung-ujungnya, konsentrasi KPK dalam penanganan kasus kembali buyar. 
Persoalan kedua muncul dari eksekutif yang semakin menunjukkan inkonsistensi terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pidato Presiden dalam peringatan Hari Antikorupsi dan HAM Sedunia (10 Desember) tahun lalu seolah ikrar bahwa negara harus menyelamatkan pejabat yang melakukan korupsi namun tidak paham bahwa yang dilakukannya merupakan korupsi. Publik pun langsung mengaitkan pidato tersebut dengan kasus hukum yang tengah melilit mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Presiden SBY. 
Pidato tersebut seolah menandai aksi cabut dukungan upaya pemberantasan korupsi oleh Istana terhadap aksi KPK yang telah menjerat seorang menteri aktif. Pada masa mendatang, mungkin Presiden tidak akan mengintervensi secara langsung KPK dalam proses hukum. Namun, setidaknya, Presiden berpotensi semakin bersikap pasif terhadap problem-problem yang akan dihadapi KPK di kemudian hari. 
Persoalan terakhir muncul dari yudikatif melalui Pengadilan Tipikor. Sulit dibantah, Pengadilan Tipikor saat ini justru menjadi salah satu titik lemah upaya pemberantasan korupsi. Dalam catatan ICW, hingga saat ini tidak kurang dari 70 kasus korupsi divonis bebas oleh pengadilan khusus tersebut. Putusan-putusan yang buruk tersebut dapat dilacak dari banyaknya putusan di tingkat pertama dengan amar membebaskan tersangka korupsi yang dianulir dan dihukum bersalah di tingkat Mahkamah Agung. 
Lemahnya pengawasan dan buruknya proses seleksi terhadap hakim karier serta non-karier yang dilakukan oleh Mahkamah Agung masih menjadi dua persoalan utama. Namun hingga saat ini kedua persoalan tersebut masih belum mendapatkan perbaikan yang serius. Tentu hal ini menjadi sinyal yang harus diwaspadai oleh KPK. Walaupun conviction rate KPK saat ini masih 100 persen dari keseluruhan kasus yang ditangani, bukan tidak mungkin pengalaman pahit vonis bebas dalam kasus Muchtar Muhammad, mantan Wali Kota Bekasi, akan terulang. 
Persoalan-persoalan yang muncul dari semua lini kekuasaan akan membuat perahu KPK berlayar oleng pada tahun ini. Kemampuan para nakhoda KPK diuji untuk membawa negara ini selamat dari badai korupsi dan kepungan para perompak yang ingin membenamkan perahu pemberantasan korupsi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar