Jumat, 18 Januari 2013

Banjir dan Aksi Eko-Teologi


Banjir dan Aksi Eko-Teologi
Hasibullah Satrawi ;  Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
JAWA POS, 18 Januari 2013

  
BANGSA ini seperti tak pernah mengambil pelajaran. Hampir di setiap musim hujan Indonesia dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu banjir bersama serta seluruh bencana turunannya. Banjir terus berulang dari musim ke musim. Hal yang jamak terjadi justru sekadar janji-janji politik untuk menarik perhatian pemilih dalam kampanye. Tapi, setelah terpilih, acap tak ada bedanya antara satu pemimpin/rezim dan pemimpin/rezim yang lain. Korban bencana selalu berjatuhan.

Dalam perspektif teologi, bencana terjadi karena perbuatan manusia, yakni karena adanya pengabaian lingkungan secara bersama-sama. Rahmat (seperti hujan) pun berubah menjadi laknat dan bencana (seperti banjir). 

Ketika sudah terjadi, bencana tidak lagi membedakan antara warga yang peduli dan tidak peduli lingkungan. Semua menderita. Itulah yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah iza nazala al-'azab 'amma as-shaleh wa at-thaleh (bencana/azab tak membedakan antara orang yang saleh atau thaleh/jahat).

Tiga Level Pengabaian 

Di sini dapat ditegaskan, setidaknya ada tiga level pengabaian terhadap lingkungan yang mengundang bencana. Pertama, pengabaian pada level individual. Misalnya, membuang sampah sembarangan atau membiarkan saluran tersumbat. Dosa-dosa kecil itu dipastikan menumpuk bila dilakukan secara terus-menerus. Sampah pun menggunung. Gunung sampah kian tinggi bila kebiasaan buruk itu dilakukan bersama banyak individu lain. 

Kesalahan-kesalahan kecil tersebut kerap dinihilkan karena kekecilannya. Padahal, dalam bahasa agama, tidak ada dosa kecil bila terus dilakukan. Sebaliknya, tidak ada dosa besar bila disertai penyesalan dan komitmen untuk tidak kembali melakukannya (tobat dan istigfar).

Pada ranah individual, Islam sangat menekankan pentingnya perhatian terhadap lingkungan. Dalam salah satu riwayat, yang menurut sebagian ulama disebut hadis, ditegaskan bahwa kebersihan adalah bagian tak terpisah dari keimanan (an-nadzafatu minal iman).

Kedua, pengabaian lingkungan pada level perusahaan atau organisasi. Pengabaian lingkungan pada level itu bisa dilihat dari banyaknya bangunan usaha seperti mal, perhotelan, apartemen, dan lainnya. Sebaliknya, area-area hijau semakin terkikis. Bencana seperti banjir tinggal menghitung hari. Apalagi ditambah pengabaian lingkungan pada level individual seperti di atas.

Bila sungai atau saluran sudah tersumbat, bila wilayah serapan sudah teraspal atau dikeramik semua, terus ke mana lagi air hujan akan mengalir kecuali ke jalan-jalan atau bahkan ke perumahan masyarakat? Itulah yang sudah kerap terjadi secara berulang-ulang tanpa adanya pembelajaran yang berarti.

Islam memberikan sejumlah ketentuan terkait dengan sebuah usaha. Selain tidak mengandung unsur tipu muslihat, bisnis harus tidak mengandung efek mudarat bagi kedua pihak, terlebih mudarat bagi kehidupan masyarakat luas.

Rasulullah SAW menegaskan, la dharara wala dhirara fil islam (tak ada kemudaratan dan saling memudaratkan dalam Islam). Sebuah usaha maupun transaksi harus bersih dari bentuk-bentuk kemudaratan apa pun.

Ketiga, pengabaian lingkungan pada level pemerintah atau pengambil kebijakan. Pengabaian pada level ini jauh lebih bersifat destruktif dan mematikan. Ada dampak struktural sistemik.

Bahkan, bisa dikatakan, pengabaian lingkungan di level pemerintah ini turut menentukan terjadinya pengabaian lingkungan di dua level sebelumnya. Bila pemerintah mempunyai kebijakan ketat dan terukur terkait dengan pembangunan tempat-tempat usaha, hampir dipastikan tidak akan ada gedung-gedung usaha yang merusak lingkungan. Pemerintah yang tegas juga mendorong tumbuhnya kesadaran pelestarian lingkungan dalam masyarakat.

Karena itu, dalam Islam, kebijakan pemerintah harus selalu memperhatikan kemaslahatan publik. Sebab, apa pun kebijakan pemerintah dipastikan berdampak luas dalam kehidupan masyarakat. Bila kebijakan bukan demi kemaslahatan publik, berarti pemerintah sama dengan melempari kehidupan masyarakat luas dengan kotoran atau bahkan bom molotov. 

Dalam hukum Islam, hal itu dikenal dengan tasharruful imam 'ala ar-ra'iyah manuthun bilmashlahah (kebijakan pemerintah atas kehidupan masyarakat harus sesuai dengan kemaslahatan publik). Bahkan, sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah menegaskan, hanya pemerintah yang melahirkan kebijakan prorakyat yang harus didukung masyarakat dengan segala loyalitas. Klop dengan ayat Alquran yang berbunyi, athiu allaha wa athi'u ar-rasula wa ulil amri minkum (taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan kepada pengambil kebijakan/pemerintah).

Mandat Kekhalifahan 

Dalam konteks tersebut, adanya teologi lingkungan (eko-teologi) menjadi sebuah keniscayaan. Eko-teologi tidak hanya menekankan pentingnya manusia meyakini akan wujud Allah dengan semua sifat dan asma-Nya. Lebih dari itu, keyakinan harus bersenyawa dengan kesadaran pelestarian lingkungan. Hingga keyakinan manusia tentang wujud Allah mempunyai dampak riil terhadap aksi pelestarian lingkungan maupun makhluk lain ciptaan Allah SWT.

Setidaknya, ada dua hal yang dapat dijadikan instrumen bagi teologi lingkungan itu. Pertama, mandat kekhalifahan yang diberikan Allah kepada manusia. Salah satu tugas utama kekhalifahan manusia adalah memakmurkan kehidupan dunia (Qs Hud: 61).

Cukup disayangkan, mandat utama kekhalifahan manusia itu justru kerap diabaikan umat beragama. Sebaliknya, yang jamak terjadi adalah perebutan kekuasaan politik, bahkan atas nama khalifah.

Kedua, keberadaan segala makhluk merupakan petunjuk untuk beriman kepada Sang Khaliq atau Pencipta. Itulah yang oleh filsuf muslim terkemuka, Ibnu Rusyd, dikenal dengan pendekatan ikhtira' untuk beriman kepada Allah SWT. Yaitu, semua yang ada di dunia ini, termasuk lingkungan sekitar, bila dipikirkan menunjukkan adanya Zat Yang Maha Pencipta, Allah SWT.

Dengan demikian, aksi keimanan terhadap ketuhanan tidak akan terpisah dari perhatian terhadap lingkungan. Pun demikian sebaliknya, perhatian terhadap lingkungan membawa energi yang bersifat keimanan dan ketuhanan. Itulah salah satu pesan penting yang ingin diwujudkan oleh eko-teologi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar