Sabtu, 19 Januari 2013

RSBI Sparuh Aku, Separuh Rancu


RSBI Sparuh Aku, Separuh Rancu
Fajar S Roekmanto ;  Dosen Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia
SINDO, 19 Januari 2013


Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang tujuannya untuk menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI) akhirnya dibubarkan karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan atas UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Ketua MK Mahfud MD menjelaskan bahwa dalam UU Sisdiknas tidak dijelaskan mengenai bentuk pendidikan bertaraf internasional sehingga akhirnya MK memutuskan Pasal 50 ayat 3 ini dibatalkan. Apa sebenarnya yang mendasari lahirnya SBI sehingga pemerintah melakukan inisiatif pengembangan sekolah bertaraf internasional? 

Dasar pemikirannya barangkali sebagai upaya merespons terhadap globalisasidalamhal benchmarking dan mengakomodasi tuntutan masyarakat terhadap mutu pendidikan yang kompetitif. Selain itu juga dalam melaksanakan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 50 ayat (3) yang mengamanatkan agar pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional di mana akhirnya pasal tersebut yang dibatalkan. 

Dasar hukum yang mendasari SBI adalah UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat (3),PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 61 Ayat (1), PP No 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan, PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Permendiknas No 63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, serta Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. 

Berdasarkan landasan hukum tersebut kemudian dirumuskan bahwa pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi standar nasional pendidikan (standar) dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. Hasil akhir dari SBI adalah meningkatkan kualitas dan daya saing baik di tingkat regional maupun internasional serta dalam upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. 

Harus diakui, dalam perencanaan, pemerintah memang hebat sebagaimana perencanaan- perencanaan bidang pendidikan sebelumnya. Hanya, pemerintah selalu kedodoran ketika rencana yang dibuatnya diimplementasikan di lapangan. Keinginan pemerintah untuk menjadikan peserta didik menjadi berkualitas sebenarnya bagus dan harus didukung. Kendati demikian, apakah RSBI merupakan sebuah solusi untuk mencapai tujuan tersebut? Realitas pendidikan tidak berada di gedung-gedung ber-AC di mana kebijakan ini dibuat atau menjadi milik peserta didik yang ada di kotakota besar. 

Pendidikan yang sebenarnya berada di pegunungan, di pantai, di pedalaman, dan di daerah-daerah yang selama ini tidak mampu mengakses informasi sebagaimana dilakukan oleh mereka yang tinggal di kota-kota besar. Meminjam istilah Joseph Stiglitz, kebijakan yang disusun di Jakarta tersebut seperti sebuah bom yang dijatuhkan dari ketinggian 5000 kaki di mana Kemendikbud yang berkedudukan di Jakarta seringkali abai atau berpura-pura tidak tahu dengan kondisi di lapangan saat kebijakan itu diimplementasikan. 

Cacat Bawaan 

RSBI sudah sejak kelahirannya memiliki banyak persoalan. Pertama, RSBI tidak memiliki dasar filosofis dan strategi kebudayaan. Tidak ada kejelasan ke arah mana sebenarnya peserta didik ini mau dibawa. Pejabat-pejabat terkait sering memberikan jawaban yang sifatnya normatif, sebagai akibatnya program ini hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek dan bersifat pragmatis atau yang lebih ekstrem, memenuhi keinginan kelompok tertentu yang memiliki kewenangan dalam pembuatan kebijakan. 

Kedua, RSBI merupakan upaya untuk mengomersialisasikan pendidikan karena RSBI yang nanti berhasil menjadi SBI tak ada bedanya dengan sekolah swasta. Jika sudah menjadi sekolah SBI, mereka tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah dan memiliki kebebasan untuk memungut biaya dari masyarakat, dan yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan dan hal ini terlihat bahwa secara sistematis pemerintah akan membawa pendidikan pada mekanisme pasar. 

Ketiga, pemerintah tidak menyadari bahwa saat ini yang terjadi di dunia pendidikan adalah krisis di dalam kelas, di mana terlalu banyak hal yang tidak pernah dipertanyakan dan diuji kebenarannya karena siswa,apa pun model pendidikannya, hanya disuruh menghafal sebagaimana terjadi pada masa lalu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Persoalannya terletak pada kualitas guru yang tidak pernah dibekali filosofi pendidikan tertentu juga pelatihan yang memadai ketika menjadi guru. 

Dampak yang ditimbulkan dari kondisi yang semacam ini adalah sekolah-sekolah menjadi, apa yang disebut oleh Raymond Callahan (1962),“sekte pemujaan administrasi.” Keyakinan keyakinan akan pendidikan dengan mudah dikorbankan pada “altar”kelancaran pencapaian target administratif. Kepala sekolah dan wakil-wakilnya sibuk mengurusi akreditasi dan berjuang dengan segala cara agar sekolahnya mencapai atau mempertahankan peringkat “A”. 

Mereka berusaha matimatian agar banyak peserta didiknya yang lulus dan untuk itusekolah-sekolah “membuang” murid–murid yang sekiranya pada saat ujian nasional (UN) nanti tidak akan lulus atau mendapatkan nilai buruk melalui kesediaan orang tua untuk menarik anaknya dari sekolah dan meminta untuk memindahkannya ke sekolah lain. Kalaupun terpaksa murid-murid tersebut naik kelas,pada saat UN dengan tanpa berdosa guru-guru tersebut membiarkan murid-muridnya menyontek atau bahkan memberikan kunci jawaban. 

Pada sisi lain guru-guru sibuk mengurusi persyaratan sertifikasi guru bahkan dengan berbagai macam cara agar mendapatkan sertifikat seminar atau meminta orang lain menuliskan karya-karya ilmiah demi persyaratan mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran RSBI tentu justru akan memperparah kondisi pendidikan karena semua dilakukan bagi kepentingan administrasi, 

bukan pada substansi pendidikan itu sendiri yakni mengangkat harkat derajat manusia setinggi-tingginya yang tentunya dilakukan tanpa ada unsur diskriminasi sebagaimana yang terjadi saat ini. Keempat, RSBI jangan-jangan merupakan salah satu upaya untuk menghabiskan anggaran 20% APBN karena pemerintah tidak memiliki strategi pendidikan yang jelas dan cara termudah untuk menyerap anggaran melalui kegiatan yang bersifat pemberian bantuan tunai. 

Filosofi Pendidikan 

Kalau kita mau jujur dan rendah hati untuk mempelajari dan bergumul dengan dunia pendidikan, kita dapat menengok Ki Hajar Dewantara yang sebenarnya telah mewariskan filosofi pendidikan yang pas bagi bangsa ini, ing ngarso sung tuladha (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik), ing madya mangunkarsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). 

Pendidikan tidak semata-mata masalah kesejahteraan. Banyak guru-guru yang sudah memiliki pendapatan yang cukup tidak menginvestasikan uangnya untuk memutakhirkan pemikirannya melalui pembelian buku-buku misalnya, tapi malah sibuk membeli barang-barang konsumtif atau menginvestasi dalam bentuk lain yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan. Itulah mengapa kemudian RSBI menjadi “Separuh Aku (RSBI), Separuh Rancu”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar