Sabtu, 19 Januari 2013

Ini Dia Gratifikasi Seks


Ini Dia Gratifikasi Seks
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi 
SINDO, 19 Januari 2013


Ketika kita dihebohkan oleh pemberitaan adanya gratifikasi seks yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemparkan sejak pekan lalu, saya teringat pada suatu hari pertengahan 2012 lalu ketika saya didatangi seorang pengacara.

Pengacara itu mengatakan kepada saya, isu saling sandera di kalangan pejabat dan penegak hukum yang menyebabkan terhambatnya secara serius pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, yang sering saya ungkap kepada publik, itu kurang lengkap. Seperti diketahui, saya termasuk orang yang paling gencar mengatakan, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia ini mandek dan seakan selalu terserimpung disebabkan terjadinya saling sandera antarpolitisi dan/atau pejabat dan antarpenegak hukum.

”Bapak mengatakan bahwa saling sandera antarpolitisi, pejabat, dan penegak hukum itu dilatarbelakangi oleh korupsi jabatan dan penyuapan dalam bentuk uang atau promosi jabatan.Padahal ada juga yang tak kalah canggih dari itu, yaitu penyuapan dalam bentuk layanan seks,” kata pengacara itu. ”Haaah, bagaimana ceritanya,” tanya saya.

Berceritalah sang pengacara bahwa dalam banyak pengurusan proyek dan kasus hukum di negeri ini, tak jarang orang menggunakan jasa perempuan selingkuhan pejabat atau perempuan nakal yang pernah dinakali oleh pejabat. Perempuan nakal itu, dengan imbalan tertentu, diminta menghubungi pejabat yang pernah mengencaninya atau pernah menjadikannya sebagai istri gelap agar menyelesaikan masalah dan meloloskan kasus sesuai dengan kehendak sang peminat proyek atau sang pengacara.

”Bayarnya tak mahal-mahal juga, paling mahal hanya Rp500 juta, urusan beres dan kita mendapat untung lebih banyak,” katanya sambil tertawa cekakakan. Cerita teknis-operasionalnya lebih seru.”Perempuan nakal” itu cukup menelepon sang pejabat atau aparat agar suatu proyek diloloskan ke pihak tertentu atau agar suatu kasus hukum ditutup, diambangkan, dan dibelokkan. Ada yang menelepon dengan suara genit merayu-rayu dicampuri rangsangan dengan cerita porno, ada yang mengancam akan membongkar perselingkuhannya kepada publik, ada juga yang mengancam akan membongkar kepada istri aslinya.

Menghadapi itu biasanya pejabat atau oknum aparat yang bersangkutan tak berkutik. Ada yang langsung menyanggupi meloloskan proyek untuk seseorang sekaligus menjegal orang-orang lain, ada yang langsung memerintahkan anak buahnya agar membebaskan seseorang dari tahanan atau membelokkan kasus dan mengambangkannya.

Adakalanya si perempuan nakal itu tidak langsung memerintah pejabat yang bertanggung jawab langsung untuk melakukan sesuatu, melainkan menelepon atasan yang bersangkutan agar memerintahkan petugas langsung di lapangan untuk melakukannya. Atasan itulah yang sebenarnya menyelingkuhi perempuan nakal tadi. Misalnya, seorang yang sangat penting di sebuah departemen menelepon bupati atau seorang berbintang di institusi penegak hukum memerintahkan petugas lapangan agar melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak perempuan nakal.

”Astagfirullah, betapa bobrok, menjijikkan,dan mengerikan. Masalah-masalah besar di negeri ini diatur oleh perempuan nakal seperti itu,” ujar saya dengan serius. Sang pengacara menertawai saya dan melanjutkan ceritanya dengan lebih merangsang. Dia lalu mencontohkan mobil dengan nomor pelat tertentu yang bisa dibaca sebagai nomor simbolik untuk pasangan peselingkuh itu. Misalnya M 4 FUD itu kode Mahfud, B 4 GUS itu piaraan si Bagus, B 3 BY panggilan si Beby dari penyelingkuhnya. Yang membuat saya terperangah, dia kemudian menelepon seseorang dengan handphone yang suaranya diperdengarkan.

”Hai, sedang apa, honey,” katanya. Terdengar jawaban dengan genit dari seorang wanita. ”Hai oleh-olehnya dari Singapura sudah saya terima. Yang dulu sudah beres, yaaah. Kalau belum akan saya telepon lagi dia. Pokoknya harus, harus...,” jawab si perempuan itu. Kemudian keduanya bertukar cerita tentang hal-hal yang agak merangsang nafsu, termasuk (maaf) menyebut-nyebut warna celana dalam, merek beha, dan ukuran anu.

Ketika pekan lalu KPK melempar isu gratifikasi seks, saya jadi berpikir, cerita dari teman saya itulah contohnya. Nyatanya kita sering dikagetkan oleh pengakuan seorang perempuan yang setelah dicampakkan berteriak-teriak menyebut-nama pejabat, bahkan memerasnya. Kepada salah seorang pimpinan KPK saya pernah menyampaikan masalah itu sekaligus ingin mempertemukannya dengan pengacara tersebut, tetapi sebelum kesampaian, tahu-tahu sudah mencuat di media massa.

Makanya ketika pers bertanya, apakah gratifikasi seks benar adanya, saya langsung mengatakan, ”Saya yakin ada dan itu tak kalah dahsyatnya daripada suap uang.” Inipun sebenarnya bukan hal baru. Pada zaman Orde Baru meluas cerita bahwa jika pejabat pusat mau melakukan kunjungan ke daerah, terutama pejabat pemeriksa, sering disediakan atau minta disediakan perempuan yang sering diistilahkan ”ayam”.

Ada ayam kampung, ayam horn, ayam buras, dan sebagainya, tergantung jenis perempuan yang disajikan atau dipesan. Sayangnya, kalau dilihat dari sudut hukum pidana masalah ini belum bisa disebut sebagai gratifikasi yang menjadi bagian dari tindak pidana korupsi. Kalau mau dipidanakan perbuatan ”terkutuk” ini mungkin hanya masuk perbuatan asusila yang selain ancaman hukumannya sangat ringan juga merupakan delik aduan yang untuk memprosesnya perlu pengaduan dari yang merasa dirugikan secara langsung, misalnya istri si pejabat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar