Kamis, 17 Januari 2013

Rekonstruksi Kognitif Hakim Tindak Pidana Korupsi


Rekonstruksi Kognitif Hakim Tindak Pidana Korupsi
Reza Indragiri Amriel ;  Konsultan UNODC Untuk Psikologi Yudisial;
Penerima Asian Public Intellectual Fellowship
KORAN TEMPO, 17 Januari 2013
  

Penghormatan tetap patut diberikan kepada putusan majelis hakim tindak pidana korupsi yang telah memvonis Angelina Sondakh, mantan anggota DPR dari Partai Demokrat, dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara. Ungkapan syukur kepada Tuhan terlontar dari mulut Angie. Sejumlah orang yang duduk di ruang penonton sidang-mungkin sanak keluarga dan handai taulan Angie-juga spontan mengekspresikan kelegaan mereka atas hukuman yang hakim jatuhkan.
Nyata sudah: Angie berstatus terpidana. Oleh pengadilan tipikor, si bekas Ratu Indonesia telah terang-terangan dinyatakan bersalah. Koruptor adalah julukan yang absah ditempelkan kepada dirinya. Keluarganya pun, tak bisa mengelak, terkena getah rupa-rupa stigma. Tapi ironisnya, setelah vonis hakim dibacakan, Angie dan para kerabatnya justru bersyukur. Ketuk palu hakim disambut kelegaan. Vonis bersalah yang sama artinya dengan meresmikan status Angie sebagai manusia durjana penggerus pundi-pundi kesejahteraan rakyat, alih-alih menyadarkan akan kehinaan status dirinya, malah membuat dia menganggap seakan sebagai pemenang.
Tinggal lagi jutaan orang Indonesia, atau setidaknya saya, yang terpukul oleh ringannya hukuman yang hakim jatuhkan kepada Angie. Saya menghindari pernyataan bahwa majelis hakim tipikor bertanggung jawab atas kekecewaan khalayak luas. Kendati demikian, pertanyaan tentang seberapa jauh keberpihakan majelis hakim terhadap para korban tetap pantas diajukan. 
Dikemas ke dalam konstruksi psikologi, pertanyaan tersebut berakar pada bagaimana keberadaan korban di dalam skema kognitif hakim. Asumsinya, hakim yang paling taat pada norma sekalipun, saya yakini, tetap tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari konteks sosial. Jadi, putusan bukan hanya produk kognitif hakim yang dipandu oleh pagar-pagar legal normatif semata, melainkan juga dipengaruhi oleh bagaimana realitas sosial (non-legal normatif) turut membentuk isi dan arah kognisi hakim.
Selaras dengan tulisan-tulisan saya lainnya yang juga mengangkat tema mengenai hakim dan kasus korupsi, saya berpendapat bahwa hakim persidangan pidana biasa dan hakim perkara koruptor terekspos terhadap korban dengan cara berbeda satu sama lain.
Dalam kasus pidana biasa, korban yang "diwakili" oleh jaksa mengacu pada wujud manusia yang otentik. Dalam kasus pembunuhan, misalnya, persidangan dapat dengan gamblang menunjuk individu tertentu sebagai pihak yang dibunuh. Demikian pula dalam kasus pencurian, pihak yang propertinya dicuri juga tertuju pada individu yang nyata. Korban pembunuhan dan korban pencurian diketahui pasti-paling tidak-namanya, alamatnya, dan identitas-identitas demografis lainnya.
Hal itu berbeda dengan perkara korupsi. Kejahatan luar biasa yang satu ini memang mengakibatkan kerugian sangat besar. Namun ironisnya, kejahatan korupsi tidak secara definitif memposisikan individu tertentu selaku korbannya. Anggaplah korban korupsi adalah para pembayar pajak. Tapi, faktanya, kadar dampak psikologis yang mereka alami dari viktimisasi tersebut juga tidak langsung dan tidak nyata. Tambahan lagi, ketika oknum petugas pajak melakukan korupsi, rekan-rekan sejawatnya juga bisa merasakan bahwa mereka turut menjadi korban ulah oknum tersebut.
Semakin sumir, para wajib pajak-siapa pun dia-tetap dikenai keharusan oleh negara melunasi pajak sesuai dengan aturan. Pembayar pajak disebut sebagai korban tapi tetap tidak dibebaskan dari kejahatan yang telah memviktimisasi mereka. Bahkan, alih-alih diberikan restitusi, warga yang bertanggung jawab itu tetap diharuskan patuh pada otoritas yang mengatur perpajakan. Jika melanggar, justru mereka harus siap dikriminalisasi. Di situ terlihat kejahatan korupsi menghasilkan korban yang terdehumanisasi sedemikian rupa. 
Tidak Seimbang
Kembali ke ihwal skema kognitif hakim, ketika para hakim tipikor tidak terekspos pada manusia-manusia korban, kognisi sang pengadil justru secara intens dibombardir dengan diri terdakwa korupsi. Berbagai liputan media tentang terdakwa yang mungkin juga disimak hakim di luar persidangan, berikut drama-drama psikologis yang diperagakan terdakwa, memperkuat kehadiran diri terdakwa di dalam kognisi hakim. Hakim sadar bahwa ia sedang menyidangkan kriminal, tapi keluarbiasaan kejahatan korupsi tidak cukup hadir (tidak cukup operasional) dalam kognisi hakim. Andai emosi hakim terbangkitkan, emosi itu pun lebih terkait dengan diri terdakwa ketimbang dengan diri korban korupsi.
Produk skema kognitif hakim sedemikian rupa akhirnya adalah seperti yang dikeluhkan masyarakat: putusan yang memang menyalahkan dan menghukum terdakwa korupsi namun mengindikasikan dangkalnya empati terhadap korban. Secara legal normatif, putusan hakim bisa jadi terbenarkan. Namun putusannya tersebut jauh dari rasa keadilan.
Konsekuensi putusan tersebut adalah berlangsungnya "pesta syukuran" di ruang persidangan oleh terdakwa korupsi, seperti Angie dan sanak kerabatnya. Pada saat yang sama, rekuiem kepedihan hati dilantunkan publik di luar pengadilan.
Dari situ, menurut saya, upaya untuk memperberat hukuman bagi para terdakwa koruptor adalah menjejali lebih banyak lagi gambaran tentang korban korupsi ke dalam kognisi hakim. Lewat cara itu diharapkan ada keseimbangan skema kognitif hakim, yakni antara terdakwa korupsi dan korban korupsi. Untuk maksud tersebut, cara paling sistematis adalah dengan memasukkan bahasan multiperspektif tentang besaran korupsi dan-lebih penting lagi-kehancuran aktual yang diakibatkan korupsi ke dalam materi pendidikan dan pelatihan hakim.
Pendekatan seperti itu menyajikan konstruksi sosial yang lebih nyata guna mempengaruhi kognisi hakim sehingga lebih mampu memvisualkan korban-korban kejahatan korupsi di benaknya. Pengkondisian psikologis macam inilah yang menjadi inti pendidikan hakim-hakim tipikor, yang pada akhirnya membedakan mereka dengan hakim-hakim pidana biasa.
Alternatif lain adalah, setiap individu hakim tipikor membuka katup kesadaran mereka sendiri bahwa, pada setiap berita yang mereka simak tentang penderitaan rakyat Indonesia, terdapat tangan-tangan tak tampak yang bertanggung jawab atas itu semua. Siapa pemilik tangan-tangan kotor itu, sosoknya tampak nyata pada para manusia busuk yang disidang hakim-hakim tipikor dan tengah duduk di kursi pesakitan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar