Kamis, 17 Januari 2013

Program Studi Internasional Bagaimana?


Program Studi Internasional Bagaimana?
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI  
SINDO, 17 Januari 2013
  

Hari masih pagi saat rombongan peer reviewer dari beberapa negara mengunjungi MMUI, Senin, pekan lalu. Mereka menjalankan tugas dari sebuah badan akreditasi internasional untuk mereviu manajemen dan kualitas proses lembaga yang saya pimpin.
Ketika mendengar kata world class university, mereka pun mengajukan pertanyaan sangat mendalam. Apa yang dimaksud world class? Seorang pimpinan di tingkat universitas menyebutkan kata “world class” sebagai “go international”. Tentu saja kata “world class” bisa bermakna lebih dari sekadar “go international”. Namun peer dari luar negeri tidak puas dan bertanya lagi, bagaimana diversity? 

Berapa jumlah student internasional dan seterusnya? Bagi mereka, world class bukanlah sekadar berbahasa Inggris, melainkan bagaimana pendidikan kita bisa bertarung dalam standar internasional. Anda tahu pekan lalu Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan sekelompok anggota masyarakat terhadap pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan 1.300-an sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). 

Dengan keputusan MK ini, berarti status RSBI harus dihapus. Tapi sesungguhnya pasal itu pula tak bisa dilepaskan dari gejala internasionalisasi universitas-universitas negeri di sini. Bisakah kita mengisolasi diri dari standar internasional? Sudah bukan rahasia umum belakangan ini kampus-kampus universitas negeri pun membuka program-program studi internasional yang ditawarkan dalam bahasa Inggris, dengan nilai sumbangan orang tua yang tinggi, ruang lebih nyaman, dan ada kerja sama internasional. 

Beda program beda biaya, beda pelayanan dan beda kulturnya. Sudah bukan rahasia umum pula bahwa kampus universitas negeri tidak hanya diisi anak-anak rakyat jelata yang butuh subsidi, melainkan juga kaum berduit yang berangkat ke kampus naik mobil mahal. Bila para politikus dan pengamat menilai keadilan hanya bisa diciptakan kalau uang kuliah dibuat sama rata dengan harga rendah, anak-anak kaum jelata justru bertanya, “Mengapa mereka yang mampu membayar sama dengan kami?” Beda ruang membuat pikiran berbeda, kemiskinan perspektif melahirkan pahlawan yang tersesat dalam hutan belantara opini. 

Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia 

Masyarakat kita sungguh mendua. Di satu pihak marah-marah kalau membaca berita peringkat universitas atau posisi pendidikan kita mengalami kemerosotan dan bangganya minta ampun kalau nama kampusnya masuk dalam top list kampus dunia. Namun di lain pihak dalam diskusinya menuntut agar jangan “go international”. Bangga jadi anggota G-20, tapi tak merasa sudah hidup di negara kaya. Bayar pulsa telepon Rp 200.000 setiap bulan, tapi merasa tak mampu membayar listrik Rp 200.000 buat sekeluarga. 

Menuntut harga bensin tidak naik, tetapi merasa sedih ketika melihat saudara-saudaranya yang tinggal di perbatasan tak punya jalan yang bagus. Semua itu sebenarnya akibat dari pilihan-pilihannya sendiri, baik ketidakmampuan pemimpin mengarahkan maupun keinginan kelompok tertentu yang terus menekan. Bagaimana di era globalisasi Anda bisa mengisolasi dunia pendidikan kita dari kurikulum internasional? 

Tahukah Anda, sebentar lagi pasar bersama ASEAN dan beberapa mitranya (China, Jepang, Uni Eropa, dan lain-lain) akan bergabung sehingga hampir semua bangsa bebas bersaing dengan SDM kita di sini? Tahukah Anda bahwa para tenaga kerja wanita kita pun sudah berbahasa asing? Ada lebih dari 150.000 bekerja di Taiwan dan lebih besar lagi di Hong Kong. Tahukah para pendidik, nilai seorang tenaga kerja diukur dari kemampuannya melakukan pekerjaan dengan standar internasional? 

Tahukah Anda, universitas terkenal dan terbaik di dunia sekarang telah berpindah ke Google University? Tahukah Anda kesulitan yang dialami Indonesia dalam mendaftarkan warisan kekayaan budaya tak benda (seperti angklung dan batik) bukan karena pada kualitas budayanya, melainkan jarangnya karya-karya itu ditulis secara ilmiah dalam bahasa internasional? Bahkan salah satu warisan budaya itu diterima berkat kerja keras seorang dalang bule yang tidak dididik di sini yang menulis untuk kita di jurnal ilmiah internasional. 

Di zaman seperti ini, memiliki sumber daya alam yang berlimpah saja belum bisa dipakai untuk menciptakan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Punya minyak bumi belum bisa dipakai menjadi BBM, sebab untuk menjadi BBM diperlukan manusia berpengetahuan yang didukung oleh teknologi tinggi. Ada teknologi, riset, pendidikan, bahasa internasional, dan manajemen yang sophisticated untuk menghasilkan itu semua. Tak ada bangsa yang mampu menciptakan sebuah teknologi hanya dari rasa kesukuan, dari pikirannya sendiri. Setiap bangsa saling berketergantungan dan saling membutuhkan untuk mengeksplorasi kekayaan alam, menghasilkan kesejahteraan.

Program Studi Internasional 

Saya sering bertanya mengapa belakangan ini banyak kampus kelas dunia yang datang saling menawarkan kerja sama. Ada yang motifnya komersial, tetapi juga banyak yang motifnya mendapatkan manusiamanusia berbakat terbaik dunia. Mereka sadar betul, daya saing dan keunggulan suatu bangsa sudah tidak ada urusannya lagi dengan otot, melainkan bakat. 

Dan untuk membentuk bakat yang kuat, bangsa itu harus masuk ke dalam kecakapan bakat (bukan kecakapan nilai ujian), merit system, bukan etnik atau golongan. Hasilnya sudah kita lihat dalam sepak bola dan basket. Atlet-atlet mancanegara menjadi rebutan, tak peduli apa pun kewarganegaraan mereka. Di negara-negara itu, ilmuwan-ilmuwan yang berasal dari sebuah desa di Pakistan atau Iran, dari Seoul atau Moscow berbaur meneliti hal yang sama, menciptakan inovasi-inovasi kelas dunia. 

Bahasa apa yang bisa menyatukan mereka? Bisakah mereka membangun teori baru tanpa bahasa asing yang diterima secara luas? Apakah mereka yang sudah berbahasa asing itu akan melupakan bahasa ibunya? Jawabannya adalah tidak. Bahkan Cinta Laura pun yang tengah belajar di luar negeri tetap mampu berbahasa Indonesia kendati lidahnya tetap sulit dibentuk seperti lidah kita. Banyak pendidik dan penegak hukum yang tak menyadari, kemampuan berbahasa Inggris tak bisa dibentuk hanya oleh mata pelajaran bahasa Inggris yang hanya mengajarkan grammar. 

Mengajarkan grammar sama dengan membentuk atlet hanya melalui teori olahraga. Tahu banyak, tapi tak bisa menggunakannya. Bahkan dengan bahasa yang diajarkan secara intensif sekalipun, kemampuannya berbahasa asing yang diajarkan dalam bangsa yang tak berbahasa itu paling tinggi hanya mampu menyerap sekitar 40%. Namun, apakah secara otomatis sebuah program internasional mampu menjadi seperti yang dikehendaki? Jawabannya sederhana saja, tak ada perubahan yang bisa dibangun dalam satu malam seperti legenda Sangkuriang. 

Dunia riil dibangun dengan pergulatan dan perkelahian-perkelahian intelektual dan pertarungan manajerial yang membutuhkan bimbingan, coaching, pengendalian, dan disiplin. Bayangkan saja apa jadinya bila suatu bangsa melakukan transformasi tanpa disiplin, tanpa kerelaan berkorban. Apalagi bila kecemburuan tinggi dan orang-orang yang merasa ahli hanya ingin menjadi substitusi, bukan komplemen dari sebuah kekuatan yang dibangun bersama. 

Saya tidak tahu bangsa ini mau bergerak ke arah mana membangun masa depan, selain mengajak para ahli hukum dan politisi (termasuk aktivis guru) lebih terbuka menatap masa depan. Hidup terus bergerak ke depan dan anak-anak kita berhak mendapatkan standar yang lebih baik dari apa yang pernah kita dapatkan. Dan saya tak akan diam menerima kenyataan ini. Kita harus terus membuka ruang, baik bagi anak-anak di kota maupun yang terpinggirkan. Semua berhak mendapatkan peningkatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar