Jumat, 04 Januari 2013

Rekening Gendut Kemenag


Rekening Gendut Kemenag
Jabir Alfaruqi ; Ketua PW Ansor Jawa Tengah,  
Koordinator KP2KKN Jawa Tengah 2008-2010
SUARA MERDEKA,  03 Januari 2013



ANEH bin nyata, kementerian yang mengurusi masalah agama dan berada pada garda terdepan pembinaan moralitas bang­sa ternyata tidak steril dari korupsi. Padahal semua tahu korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merupakan buah akhlak yang paling rendah di antara akhlak yang rendah. Jika Kementerian Agama (Kemenag) yang mengurusi moralitas bangsa saja terseret ke lembah korupsi, bagaimana dengan ke-menterian yang lain? Atau sebaliknya, karena Kemenag itu serbareligius maka segala bentuk korupsi dianggap bukan korupsi sehingga aman.
Rerasan orang bahwa ada indikasi korupsi di Kemenag sebetulnya sudah lama terdengar, dari sistem pengangkatan pegawai yang tidak transparan, pengelolaan dana haji, pungutan liar dalam pernikahan, hingga ada biaya gugat cerai di pengadilan dan sebagainya.

Pernyataan Irjen Kemenag Muhammad Yasin bahwa sejumlah pejabat Kemenag memiliki rekening gendut merupakan langkah awal membuka tabir yang selama ini tersembunyi rapi. Publik pun mulai ber­tanya-tanya seandainya benar para petinggi Kemenag memiliki rekening gendut, lalu apa bedanya Kemenag dari kementerian lain? Apa bedanya petinggi Kemenag dari beberapa petinggi Polri, yang sama-sama memiliki rekening gendut? Pertanya­an berlanjut apakah modus korupsi di ke-menterian atau lembaga lain dengan Ke-menag itu sama atau berbeda?

Berbaju Agama

Apa yang disampaikan oleh Muham­mad Yasin bahwa ada petinggi Kemenag memiliki rekening gendut makin memperjelas apa yang selama ini disampaikan oleh para pegiat antikorupsi. Bahwa korupsi itu lintas gender, lintas kementerian, lintas agama, lintas suku, dan lintas usia. Korupsi sudah menggurita pada semua tingkatan, semua sendi kekuasaan.

Hanya di Kemenag mungkin agak berbeda dari kementerian atau instansi lain mengenai  modus dan persepsi tentang korupsi. Misalkan bagi pemilik rekening gendut di lingkungan Kemenag, uang yang membuncitkan rekening mereka bisa saja diasumsikan bukan dari korupsi dan bukan perbuatan korupsi. Bisa saja uang yang mengalir itu dianggap sebagai sedekah, uang syukuran, atau tabarukan  atas jasa petinggi Kemenag itu. Karena itu, persepsi korupsi yang dipahami secara umum bisa-bisa tidak berlaku di Kemenag.

Begitu juga ketika berita di media massa merilis pernyataan Irjen M Yasin, penulis coba membagi info ini ke para facebooker. Hasilnya bermacam-macam tangggapan. Ada yang berpendapat,'' Wah itu keterlaluan''. Ada yang mengomentari,'' Bubarkan saja Kemenag''. Ada yang membalas,'' Jangan berprasangka buruk terhadap petinggi Kemenag''.

Dalihnya adalah seandainya korupsi, mereka mudah melebur dosa karena tiap tahun bisa menunaikan ibadah haji. Bahkan bisa menjadi pembimbing haji. Jika tiap tahun berhaji atau membimbing haji dan hajinya menjadi  mabrur maka tiada balasan kecuali surga. Itu artinya segala dosa terampuni.

Inilah beda kementerian lain dari Ke­me­nag. Apa yang oleh publik dan kemen-terian lain dianggap korupsi, belum tentu dianggap korupsi oleh beberapa orang di Kemenag. Di Kemenag itu korupsi bisa dibungkus dengan bahasa-bahasa agama sehingga bisa dianggap bukan bagian dari korupsi.

Wujud Mensyukuri

Ketika seseorang bisa menjadi PNS di lingkungan Kemenag, tidak bakal ada suap atau sogok sama sekali karena suap itu haram. Tetapi orang yang mendapatkan kenikmatan atau kesuksesan sebaiknya melakukan syukuran. Demikian juga dengan orang-orang yang memiliki kerja sama dengan Kemenag dilarang keras menyuap tetapi diperbolehkan menggelar  syukuran setelah proyek selesai.

Begitu juga dengan anggapan publik  bahwa biaya pernikahan yang dipungut pegawai KUA dalam akad nikah yang tidak  ada patokan pastinya adalah bagian dari pungli, dan itu termasuk gratifikasi. Tetapi dalam bahasa Kemenag tidak demikian. Biaya nikah di luar kantor KUA itu menjadi tanggung jawab yang hendak menikah. Besar kecilnya bergantung pada waktu pernikahannya. Karena meminta waktu yang sesuai selera, jadi wajar saja kalau  harus mengeluarkan ongkos berlebih dan tak perlu ada harga patokan. Itu bentuk syukur atas dikabulkannya permintaan untuk menikahkan.

Dengan demikian, pejabat di Kemenag yang disinyalir memiliki rekening gendut itu dianggap bukan karena korupsi karena uang itu  bisa diperoleh lewat syukuran, sedekah,  tabarukan atau lainnya.

Bila bahasa-bahasa yang digunakan di Kemenag itu bisa dibenarkan secara hukum positif maka tidak ada korupsi di Kemenag. Sebaliknya, kalau bahasa yang dipakai itu tidak bisa dibenarkan secara hukum positif maka barulah itu menjadi masalah.
M Yasin, mantan komisioner KPK mungkin melihat segala bentuk pemberian atau pungutan di Kemenang dengan kacamata hukum positif, tidak seperti tradisi di Kemenag yang membungkus semua pungutan dengan baju agama. Pertanyaannya, apakah tradisi penghalusan korupsi dengan bahasa agama ini, yang menyuburkan korupsi di Kemenag?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar