Rekening
Gendut Kemenag
Jabir Alfaruqi ; Ketua PW Ansor Jawa Tengah,
Koordinator KP2KKN Jawa Tengah 2008-2010
|
SUARA
MERDEKA, 03 Januari 2013
ANEH bin
nyata, kementerian yang mengurusi masalah agama dan berada pada garda
terdepan pembinaan moralitas bangsa ternyata tidak steril dari korupsi.
Padahal semua tahu korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merupakan buah
akhlak yang paling rendah di antara akhlak yang rendah. Jika Kementerian
Agama (Kemenag) yang mengurusi moralitas bangsa saja terseret ke lembah
korupsi, bagaimana dengan ke-menterian yang lain? Atau sebaliknya, karena
Kemenag itu serbareligius maka segala bentuk korupsi dianggap bukan korupsi
sehingga aman.
Rerasan orang bahwa ada
indikasi korupsi di Kemenag sebetulnya sudah lama terdengar, dari sistem
pengangkatan pegawai yang tidak transparan, pengelolaan dana haji, pungutan
liar dalam pernikahan, hingga ada biaya gugat cerai di pengadilan dan
sebagainya.
Pernyataan Irjen Kemenag
Muhammad Yasin bahwa sejumlah pejabat Kemenag memiliki rekening gendut
merupakan langkah awal membuka tabir yang selama ini tersembunyi rapi. Publik
pun mulai bertanya-tanya seandainya benar para petinggi Kemenag memiliki
rekening gendut, lalu apa bedanya Kemenag dari kementerian lain? Apa bedanya
petinggi Kemenag dari beberapa petinggi Polri, yang sama-sama memiliki
rekening gendut? Pertanyaan berlanjut apakah modus korupsi di ke-menterian
atau lembaga lain dengan Ke-menag itu sama atau berbeda?
Berbaju Agama
Apa yang disampaikan oleh Muhammad
Yasin bahwa ada petinggi Kemenag memiliki rekening gendut makin memperjelas
apa yang selama ini disampaikan oleh para pegiat antikorupsi. Bahwa korupsi
itu lintas gender, lintas kementerian, lintas agama, lintas suku, dan lintas
usia. Korupsi sudah menggurita pada semua tingkatan, semua sendi kekuasaan.
Hanya di Kemenag mungkin agak
berbeda dari kementerian atau instansi lain mengenai modus dan persepsi
tentang korupsi. Misalkan bagi pemilik rekening gendut di lingkungan Kemenag,
uang yang membuncitkan rekening mereka bisa saja diasumsikan bukan dari
korupsi dan bukan perbuatan korupsi. Bisa saja uang yang mengalir itu
dianggap sebagai sedekah, uang syukuran, atau tabarukan atas jasa
petinggi Kemenag itu. Karena itu, persepsi korupsi yang dipahami secara umum
bisa-bisa tidak berlaku di Kemenag.
Begitu juga ketika berita di
media massa merilis pernyataan Irjen M Yasin, penulis coba membagi info ini
ke para facebooker. Hasilnya bermacam-macam tangggapan. Ada yang
berpendapat,'' Wah itu keterlaluan''. Ada yang mengomentari,'' Bubarkan saja
Kemenag''. Ada yang membalas,'' Jangan berprasangka buruk terhadap petinggi
Kemenag''.
Dalihnya adalah seandainya
korupsi, mereka mudah melebur dosa karena tiap tahun bisa menunaikan ibadah
haji. Bahkan bisa menjadi pembimbing haji. Jika tiap tahun berhaji atau
membimbing haji dan hajinya menjadi mabrur maka tiada balasan kecuali
surga. Itu artinya segala dosa terampuni.
Inilah beda kementerian lain
dari Kemenag. Apa yang oleh publik dan kemen-terian lain dianggap korupsi,
belum tentu dianggap korupsi oleh beberapa orang di Kemenag. Di Kemenag itu
korupsi bisa dibungkus dengan bahasa-bahasa agama sehingga bisa dianggap
bukan bagian dari korupsi.
Wujud Mensyukuri
Ketika seseorang bisa menjadi
PNS di lingkungan Kemenag, tidak bakal ada suap atau sogok sama sekali karena
suap itu haram. Tetapi orang yang mendapatkan kenikmatan atau kesuksesan
sebaiknya melakukan syukuran. Demikian juga dengan orang-orang yang memiliki
kerja sama dengan Kemenag dilarang keras menyuap tetapi diperbolehkan
menggelar syukuran setelah proyek selesai.
Begitu juga dengan anggapan
publik bahwa biaya pernikahan yang dipungut pegawai KUA dalam akad
nikah yang tidak ada patokan pastinya adalah bagian dari pungli, dan
itu termasuk gratifikasi. Tetapi dalam bahasa Kemenag tidak demikian. Biaya
nikah di luar kantor KUA itu menjadi tanggung jawab yang hendak menikah.
Besar kecilnya bergantung pada waktu pernikahannya. Karena meminta waktu yang
sesuai selera, jadi wajar saja kalau harus mengeluarkan ongkos berlebih
dan tak perlu ada harga patokan. Itu bentuk syukur atas dikabulkannya
permintaan untuk menikahkan.
Dengan demikian, pejabat di
Kemenag yang disinyalir memiliki rekening gendut itu dianggap bukan karena
korupsi karena uang itu bisa diperoleh lewat syukuran, sedekah,
tabarukan atau lainnya.
Bila bahasa-bahasa yang
digunakan di Kemenag itu bisa dibenarkan secara hukum positif maka tidak ada
korupsi di Kemenag. Sebaliknya, kalau bahasa yang dipakai itu tidak bisa
dibenarkan secara hukum positif maka barulah itu menjadi masalah.
M Yasin, mantan komisioner KPK
mungkin melihat segala bentuk pemberian atau pungutan di Kemenang dengan
kacamata hukum positif, tidak seperti tradisi di Kemenag yang membungkus
semua pungutan dengan baju agama. Pertanyaannya, apakah tradisi penghalusan
korupsi dengan bahasa agama ini, yang menyuburkan korupsi di Kemenag? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar