Peran Negara
dalam Kebinekaan
Mohammad Bisri ; Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Batang
|
SUARA
MERDEKA, 03 Januari 2013
"Pilkada DKI Jakarta 2012 membuktikan
kehendak kebhinnekaan yang masih menjadi arus utama di masyarakat"
DALAM konteks penghargaan terhadap hak asasi manusia, Indonesia termasuk negara yang sejak dini merangkum perbedaan melalui penghargaan hak asasi dalam konstitusi. Pembukaan UUD 1945 memuat penghargaan terhadap kemerdekaan, kemanusiaan, dan keadilan. Para pendiri bangsa pun sejak dini menyelesaikan perdebatan tentang masalah perbedaan doktrin dan kebebasan beragama lewat perubahan rumusan Pasal 29 UUD 1945 menjadi ”negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Meskipun landasan kebangsaan
ini disetujui bersama oleh anak bangsa, sejarah mencatat, ribuan orang telah
menjadi korban dari perjuangan mewujudkan hak-hak asasi, termasuk kebebasan
beragama. Pada masa Orde Baru, cara-cara represif sering digunakan negara
untuk membungkam suara kelompok agama dan penghayat kepercayaan yang dinilai
mengganggu stabilitas.
Pasca-Orba, berbagai produk
hukum lahir sebagai hasil dari kontestasi etnopolitik kelompok masyarakat.
Selain konstitusi, lahir pula UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor
12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik. Meski demikian,
efektivitas praktis dari perundangan itu belum mampu memperbaiki keadaan.
Landasan kebhinnekaan relatif rapuh di hadapan sikap agresivitas kelompok
radikal.
Prof Musdah Mulia dalam buku
Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi menyebutkan bahwa iklim kebebasan
beragama di Indonesia sulit mewujud karena krisis peranan dan krisis
kesadaran. Dia menulis bahwa negara semestinya menyadari peran objektif untuk
mengatasi masalah kebebasan beragama, bukan malah menjadi kekuatan yang
membelenggu kebebasan tersebut.
Ketegangan antara agama dan
negara, dalam ilmu politik melahirkan teori kedaulatan. Pertama; paham
teokrasi, yang mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan Tuhan. Paham ini
menghendaki agar Tuhan bisa mengatasi semua realitas, termasuk realitas
negara. Pengelolaan sebuah negara harus mendasarkan pada prinsip-prinsip
keagamaan.
Kedua; paham demokrasi
berpendapat bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Pengelolaan terhadap
se-buah negara harus mendasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa
campur tangan agama. Agama dipandang sebagai urusan pribadi, tak boleh
dibawa ke wilayah publik. Bahkan negara harus dapat menjinak-kan agama agar
tidak mengintervensi wilayah publik.
Memperhatikan dua teori
tersebut, sekilas masalah itu sederhana, namun dalam tataran praktis ada
sejumlah kerumitan yang tak mudah diselesaikan. Kerumitan tersebut tidak
terlepas dari watak dari masing-masing paham yang cenderung intervensionis.
Pertama; kecenderungan negara mengintervensi terhadap semua realitas,
termasuk realitas agama. Hal itu merupakan hegemoni negara terhadap agama.
Mati hidup agama terserah negara, sah tidak agama juga tergantung negara.
Logika Kekuasaan
Beberapa contoh semisal konflik
di Solo pada Setember 2012, antara warga dan kelompok tertentu bisa
diselesaikan dan tidak meluas. Juga risiko konflik yang muncul di Yogyakarta
terkait dengan pembangunan tempat ziarah kelompok agama tertentu pada Maret
2011. Dari dua peristiwa tersebut terlihat peran negara sangat krusial. Kedua
masalah itu berhasil ditengahi dan warga diajak tetap menghormati kebebasan
beragama kelompok lain sambil bersikap tegas terhadap mereka yang melakukan
kekerasan.
Kedua; intervensi seringkali
dimaknai sebagai keharusan logis dari keberadaan negara modern untuk
menunjukkan kekuatan. Sebuah negara yang kuat harus mampu mengatasi semua hal
yang dianggap mengganggu wibawanya, dan komunitas agama adalah kelompok yang
dianggap paling berisiko mengganggu kewibawaan negara.
Ketiga; agama dan negara punya
logika berbeda. Logika agama adalah kebenaran: ia menyatakan tatanan
paradigmatik tentang realitas dengan transendensi sebagai acuan dasar. Adapun
paradigma negara adalah kekuasaan yang memberikan pandangan pragmatis
mengenai sesuatu. Watak negara yang demikian menjadikannya ingin menguasai
apa saja yang terlihat, demi mempertahankan logika utama, yaitu kekuasaan.
Memperhatikan proposisi itu,
saya membayangkan sebuah tatanan masyarakat dengan agama yang benar-benar
independen, dan negara tidak bernafsu mencampuri urusan agama warga
negaranya, atau lewat ungkapan agak ekstrem yaitu ”agama tanpa negara”.
Maksud dari ungkapan itu adalah bagaimana antara agama dan negara berdiri
pada wilayah masing-masing, dan tidak ada intervensi satu sama lain, bukan
agama yang menafikan kehidupan bernegara, dan bukan pula negara yang menjadi
polisi agama. Negara tetap menjaga kebi-nekaan.
Pilkada DKI Jakarta 2012 telah
membuktikan kehendak kebhinnekaan yang masih menjadi arus utama di
masyarakat. Di tengah gelombang kampanye berbau SARA terhadap calon wakil
gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok), para pemilih bergeming untuk tetap
memilihnya. Sikap toleran dan prokebinekaan seperti itulah yang merupakan
modal untuk kembali menguatkan peran negara dalam mengukuhkan kebinekaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar