Jumat, 04 Januari 2013

Peran Negara dalam Kebinekaan


Peran Negara dalam Kebinekaan
Mohammad Bisri ; Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Batang
SUARA MERDEKA,  03 Januari 2013



"Pilkada DKI Jakarta 2012 membuktikan kehendak  kebhinnekaan yang masih menjadi arus utama di masyarakat"

DALAM konteks penghargaan terhadap hak asasi manusia, Indonesia termasuk negara yang sejak dini merangkum perbedaan melalui penghargaan hak asasi dalam konstitusi. Pembukaan UUD 1945 memuat penghargaan terhadap kemerdekaan, kemanusiaan, dan keadilan. Para pendiri bangsa pun sejak dini menyelesaikan perdebatan tentang masalah perbedaan doktrin dan kebebasan beragama lewat perubahan rumusan Pasal 29 UUD 1945 menjadi ”negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Meskipun landasan kebangsaan ini disetujui bersama oleh anak bangsa, sejarah mencatat, ribuan orang telah menjadi korban dari perjuangan mewujudkan hak-hak asasi, termasuk kebebasan beragama. Pada masa Orde Baru, cara-cara represif sering digunakan negara untuk membungkam suara kelompok agama dan penghayat kepercayaan yang dinilai mengganggu stabilitas.

Pasca-Orba, berbagai produk hukum lahir sebagai hasil dari kontestasi etnopolitik kelompok masyarakat. Selain konstitusi, lahir pula UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik. Meski demikian, efektivitas praktis dari perundangan itu belum mampu memperbaiki keadaan. Landasan kebhinnekaan relatif rapuh di hadapan sikap agresivitas kelompok radikal.

Prof Musdah Mulia dalam buku Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi menyebutkan bahwa iklim kebebasan beragama di Indonesia sulit mewujud karena krisis peranan dan krisis kesadaran. Dia menulis bahwa negara semestinya menyadari peran objektif untuk mengatasi masalah kebebasan beragama, bukan malah menjadi kekuatan yang membelenggu kebebasan tersebut.

Ketegangan antara agama dan negara, dalam ilmu politik melahirkan teori kedaulatan. Pertama; paham teokrasi, yang mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan Tuhan. Paham ini menghendaki agar Tuhan bisa mengatasi semua realitas, termasuk realitas negara. Pengelolaan sebuah negara harus mendasarkan pada prinsip-prinsip keagamaan.

Kedua; paham demokrasi berpendapat bahwa ke­daulatan ada di tangan rakyat. Pengelolaan terhadap se-buah negara harus mendasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa campur tangan agama. Agama di­pandang sebagai urusan pribadi, tak boleh dibawa ke wi­layah publik. Bahkan negara harus dapat menjinak-kan agama agar tidak mengintervensi wilayah publik.

Memperhatikan dua teori tersebut, sekilas masalah itu sederhana, namun dalam tataran praktis ada sejumlah kerumitan yang tak mudah diselesaikan. Kerumitan tersebut tidak terlepas dari watak dari masing-masing paham yang cenderung intervensionis. Pertama; kecenderungan negara mengintervensi terhadap semua realitas, termasuk realitas agama. Hal itu merupakan hegemoni negara terhadap agama. Mati hidup agama terserah negara, sah tidak agama juga tergantung negara.

Logika Kekuasaan

Beberapa contoh semisal konflik di Solo pada Setember 2012, antara warga dan kelompok tertentu bisa diselesaikan dan tidak meluas. Juga risiko konflik yang muncul di Yogyakarta terkait dengan pembangunan tempat ziarah kelompok agama tertentu pada Maret 2011. Dari dua peristiwa tersebut terlihat peran negara sangat krusial. Kedua masalah itu berhasil ditengahi dan warga diajak tetap menghormati kebebasan beragama kelompok lain sambil bersikap tegas terhadap mereka yang melakukan kekerasan.

Kedua; intervensi seringkali dimaknai sebagai keharusan logis dari keberadaan negara modern untuk menunjukkan kekuatan. Sebuah negara yang kuat harus mampu mengatasi semua hal yang dianggap mengganggu wibawanya, dan komunitas agama adalah kelompok yang dianggap paling berisiko mengganggu kewibawaan negara.

Ketiga; agama dan negara punya logika berbeda. Logika agama adalah kebenaran: ia menyatakan tatanan paradigmatik tentang realitas dengan transendensi sebagai acuan dasar. Adapun paradigma negara adalah kekuasaan yang memberikan pandangan pragmatis mengenai sesuatu. Watak negara yang demikian menjadikannya ingin menguasai apa saja yang terlihat, demi mempertahankan logika utama, yaitu kekuasaan.

Memperhatikan proposisi itu, saya membayangkan sebuah tatanan masyarakat dengan agama yang benar-benar independen, dan negara tidak bernafsu mencampuri urusan agama warga negaranya, atau lewat ungkapan agak ekstrem yaitu ”agama tanpa negara”. Maksud dari ungkapan itu adalah bagaimana antara agama dan negara berdiri pada wilayah masing-masing, dan tidak ada intervensi satu sama lain, bukan agama yang mena­fikan kehidupan bernegara, dan bukan pula negara yang menjadi polisi agama. Negara tetap menjaga kebi-nekaan.

Pilkada DKI Jakarta 2012 telah membuktikan kehendak kebhinnekaan yang masih menjadi arus utama di masyarakat. Di tengah gelombang kampanye berbau SARA terhadap calon wakil gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok), para pemilih bergeming untuk tetap memilihnya. Sikap toleran dan prokebinekaan seperti itulah yang merupakan modal untuk kembali menguatkan peran negara dalam mengukuhkan kebinekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar