Kamis, 03 Januari 2013

Tahun Politik Uang


Tahun Politik Uang
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO,  03 Januari 2013



Pada pengujung 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi dipandang telah memenuhi ekspektasi publik dalam penuntasan kasus korupsi proyek Hambalang. Penetapan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka menepis tudingan bahwa KPK tebang pilih dalam kasus tersebut. Korupsi proyek Hambalang hanyalah bagian kecil dari fenomena gunung es korupsi yang selama ini menggerogoti pundi-pundi keuangan publik. Daya tarik "uang" dalam kehidupan politik selalu memunculkan keserakahan bagi para pemegang kekuasaan.
Sebagian besar kasus korupsi selalu berhubungan dengan penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan anggaran. Baik sejak proses di perencanaan, penetapan, maupun pelaksanaan anggaran. Semua tak pernah lepas dari jerat kepentingan para elite. Sedangkan sebagian kasus lainnya terindikasi sebagai suap yang berhubungan dengan dunia bisnis/korporasi.
Politik Uang
Uang memang tidak pernah bisa dipisahkan dari hiruk-pikuk kehidupan politik. Di negara mana pun di dunia, uang menjadi salah satu faktor yang mendukung lahirnya sebuah rezim politik tertentu. Apalagi, di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, biaya politik (political finance) dalam konteks materi atau uang menjadi faktor penentu untuk meraih kekuasaan. Lalu, apa yang membuat uang menjadi bumerang bagi kehidupan politik?
Indonesia menjadi contoh paling konkret untuk menggambarkan betapa hubungan antara uang dan politik justru mengubur cita-cita luhur sistem demokrasi. Terjadi perselingkuhan antara politik dan uang yang dampaknya merugikan masyarakat banyak. Semua cerita suram soal perselingkuhan uang dan politik sesungguhnya bermula dari pemilihan umum (pemilu). Desain pemilu yang dibangun adalah desain kelas atas, semua kontestan pemilu dipaksa menyediakan uang sebanyak-banyaknya agar memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi.
Tidak jarang biaya politik didapatkan dari sumber-sumber yang dilarang oleh undang-undang. Alhasil, pemilu juga menjadi ajang pencucian uang, karena didukung oleh sistem akuntabilitas keuangan partai politik dan kampanye yang sangat lemah. Pada sisi yang lain, ada fenomena hadirnya incumbent dalam ajang pemilu berikutnya, di mana peluang untuk memanfaatkan jabatan yang saat ini dipegang untuk kepentingan politiknya sangat terbuka lebar. Sebagian besar dari mereka berkampanye secara "gratis" melalui iklan-iklan yang dibiayai anggaran negara/daerah. 
Lengkaplah sudah cerita soal kampanye dengan "uang haram" (Saldi Isra). Ini sebetulnya mengkonfirmasi soal ketertutupan partai politik dan kontestan pemilu mengenai sumber keuangannya. Setidaknya, penolakan atas permintaan informasi keuangan partai politik yang pernah dilakukan oleh masyarakat sipil menjadi bukti paling nyata.
Harapan tentu saja masih terbuka lebar untuk memperbaiki sistem pemilu yang sudah ada. Transparency International Indonesia (TII) setidaknya telah berusaha memberi arahan dan mendorong bagaimana menghadirkan pelaporan keuangan partai politik yang sesuai dengan standar akuntansi. Di samping juga perbaikan-perbaikan pada konteks tahapan dan komponen pemilu yang lain.
Tamparan
Keterpilihan seseorang dalam jabatan publik dengan cara-cara yang "haram" ini tentu saja berimplikasi buruk pada saat ia menjalankan kekuasaannya. Di situlah terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang melahirkan bibit-bibit korupsi yang semakin lama akan semakin membesar.
Tahun 2012 setidaknya ditutup dengan sebuah "tamparan" di wajah pemerintahan SBY-Boediono. Seorang menteri aktifnya diduga terlibat dalam korupsi Hambalang, yang bernilai triliunan rupiah. Dugaan bahwa proyek ini menjadi salah satu sumber biaya politik juga sangat mungkin terjadi, mengingat beberapa fakta persidangan kasus korupsi yang ada melegitimasi bahwa proyek ini memang didesain untuk itu.
Kita tentu saja tidak menginginkan kasus serupa terjadi pada tahun berikutnya. Tahun 2013 menjadi tahun pembuka bagi perhelatan pemilu pada 2014. Tahun 2013 akan menjadi tahun politik, karena semua kontestan pemilu akan mempersiapkan diri. Kesiapan logistik dan uang tentu saja menjadi salah satu komponen paling penting untuk menghadapi peristiwa pemilu.
Tahun 2013 juga terancam akan menjadi ajang "perampokan" pundi-pundi keuangan publik sebagai sumber biaya politik. Pemegang kekuasaan tentu saja menjadi pihak yang paling diuntungkan jika hal ini terjadi. Publik tentu memiliki caranya sendiri untuk melihat fenomena ini. Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengawasi pelaksanaan anggaran, terutama yang terkait dengan proyek-proyek pemerintah. Dan kedua, dengan tidak menjatuhkan pilihan politik bagi rezim kontestan pemilu yang korup serta tidak memiliki track record yang baik sebagai pemimpin publik.
Pilihannya berada di tangan kita, rakyat Indonesia semuanya: menjadikan 2013 sebagai tahun yang anti-politik uang, atau justru menjadikannya sebagai tahun langgengnya politik uang. Semoga kita menjatuhkan pilihan yang rasional dan selektif bagi keberlangsungan kehidupan demokrasi yang sehat. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar