Rabu, 02 Januari 2013

Rawayan 2013 : Sebuah Tujuan Bermakna


Rawayan 2013 : Sebuah Tujuan Bermakna
Asep Salahudin ; Esais dan dekan di IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA,  02 Januari 2013



RAWAYAN itu ialah arah yang akan memberikan petunjuk ke mana kita harus melangkah agar sampai tujuan, tidak tersesat. Semacam jalan dalam perspektif kearifan Sunda untuk mencapai hakikat hidup semakna dengan tarekat, tao, din, atau konsep sang kan paraning dhumadi dalam kearif an Jawa.

Jalan yang menginjeksikan ihwal kesadaran terhadap akar dan asal usul hakikat hidup. Purwadaksi, dalam istilah lain. HR Hidayat Suryalaga, filsuf Sunda, menyebutnya dengan Rawayan Jati. Rawayan jatinya itu digali dari naskah-naskah Sunda kuno yang kebanyakan berisi k haluan moral dan jangkar h etika. Sebut saja, misalnya, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK-1518 M), Sewaka Darma (abad ke-17 M), Naskah Ciburuy (abad ke-17 M), dan Prasasti Kawali 7 dan 8 (abad ke-13 dan ke-14 M).

Tentu kita memiliki harapan bahwa pada 2013, jalan yang kita pijak sebanding lurus dengan nilai-nilai kebenaran dan etika sosial. Tahun ini jauh lebih cemerlang. Bukan jalan gelap menyimpang yang kian menjauhkan kehidupan dari cita-cita semula. Jalan yang diretas 2013 bisa mengorbitkan kembali semangat kita sebagai bangsa sekaligus sebagai individu yang boleh jadi sepanjang 2012 dipaksa memudar, mengalami defisit.

Harus kita akui bahwa 2012 yang baru saja kita lewati banyak menyisakan masalah, tidak sedikit persoalan yang alih-alih terselesaikan malah menjadi kian kusut masai. Sebut saja korupsi yang kian menggurita, TKW yang nasibnya terkatung-katung bahkan ada yang sampai meregang di tiang gantungan, politisi yang tidak pernah berhenti mencerminkan diri dengan pencitraan palsu, atau kepala daerah yang berperilaku korup tak ubahnya raja-raja kecil karena salah kaprah dalam menafsirkan otonomi daerah. Ketika ketahuan korupsi, mereka diproses di pengadilan dan selanjutnya malah dikeluarkan hakim tipikor. Dahsyatnya, tidak sedikit di antara mereka yang masih percaya diri untuk men calon kan menjadi bupati dan atau gubernur kendati label koruptor tersemat di kening.

Moralitas kian mengalami erosi, kesederhanaan hanya ada dalam catatan silam. Menjadi jauh panggang dari api membandingkan kemewah an pesta pernikahan para pejabat di negara kita dengan kesederhanaan pernikahan anak Ahmadinejad yang hanya menghabiskan tidak lebih dari Rp40 juta. Kalau di luar negeri ‘selingkuh’ itu sudah cukup bagi pejabat publik untuk meletakkan jabatannya, di kita lain lagi alur ceritanya. Cerita Hambalang dan Century seakan melengkapi bagaimana hukum di negeri ini tak ubahnya sebuah sinetron kacangan yang membuat para penonton ingin muntah.

Rasa frustrasi melihat perjalanan bangsa ini dengan sangat tragis terpantulkan dalam aksi nekat seorang Sondang Hutagalung (7 Desember 2011) yang melakukan aksi bakar diri persis di depan simbol sentrum kekuasaan: istana. Dengan ‘keberanian tuntas’ tanpa banyak kata, tanpa didahului pidato dan retorika bertele-tele, tanpa melibatkan khalayak demo yang acap kali justru dibayar, dia membakar diri seorang diri.

Tentu itu bukan setting politik dramaturgi, melainkan sebuah fakta hilangnya nyawa anak bangsa. Kekuasaan dengan telanjang telah mempertontonkan jati dirinya yang primitif yang kemudian merembes bagi tergelarnya perayaan ‘onani massal’ dalam setiap lapisan kehidupan, semua serbamentah!

Kearifan Perenial

Hanya orang tidak waras yang menginginkan hidup dalam atmosfer kelam. Tahun 2013 harus lebih baik. Harapan tidak hanya harus terus disiram. Setiap kita juga wajib memiliki tanggung jawab menjadikannya sebagai bagian dari sejarah kehidupan keseharian. Apa yang menjadi cita-cita diretas jalannya seoptimal mungkin biar menjadi bagian dari realitas. Antara ucap, tekad, dan langkah diselaraskan agar kehidupan menemukan harkatnya yang luhur.

Tantangan di 2013 dan ke depan bukan semakin mengecil, melainkan akan kian rumit. Kalau tidak sedari awal menata sistemnya agar kukuh, kita bukan hanya tidak akan mampu berkiprah, tapi boleh jadi hanya menjadi bagian dari halaman belakang negara-negara tetangga. Tidak ada jaminan bahwa kapal kebangsaan ini akan terus berlayar justru ketika banyak yang bolong.

Dalam kearifan Sunda, modal sosial untuk merengkuh kehidupan yang positif itu tidak lain ialah cageur (sehat), bageur (dermawan), bener (benar), dan pinter (pintar). Itu tampak normatif memang, tetapi secara aksiologis itulah yang diperlukan. Tak ubahnya Mahfud MD yang bosan berwacana tentang pemberantasan korupsi karena yang dibutuhkan ialah aksi dan keluarlah usulan membangun kebun untuk para koruptor.

Situasi kebangsaan yang nyaris gagal ini, meminjam penjelasan HR Hidayat Suryalaga, mengandaikan terpenuhinya prasyarat: 1) Kesadaran monoteistis akan kehadiran Nu Ngersakeun/Sanghyang Tunggal; 2) Ngertakeun Bumi Lamba, memahami secara utuh ihwal peran profetis dan kultural untuk mendistribusikan kesejahteraan bagi semesta; 3) Dunia akan sejahtera apabila Tri Tangtu di Bumi berperan dengan baik, yang meliputi rama (memiliki makna keluarga yang berfungsi optimal sebagai fondasi keluarga/nucleus family yang harmonis), resi (bermakna sebagai alim ulama/ cendekiawan yang berperan sebagai penjaga moral bangsa dan senantiasa kritis dalam melihat hal ihwal), dan prabu (dapat diartikan sebagai tatanan birokrasi yang berkhidmat kepada rakyat); 4) Luhung Elmuna, yakni memiliki ilmu yang bermanfaat; 5) Pengkuh Agamana, yakni teguh dalam melaksanakan kehidupan beragama yang dianutnya; 6) Jembar Budayana; 7) Silih Asih (proses silaturahim), silih asah (proses saling mencerdaskan), dan silih asuh, dapat menempatkan diri (positioning), proporsional, dan profesional.

Kearifan Sunda atau kearifan perenial yang datang dari etnik mana pun menjadi menarik untuk kita refleksikan di penghujung 2012. Hanya dengan modal seperti itu, kita dan bangsa akan tetap terjaga dalam kewarasan.

Jika tidak, boleh jadi zaman edan yang diprediksi (atau sudah?) oleh Ronggowarsito akan lekas datang. Bennedict Anderson, sebagaimana dikutip A Budi Purnomo, melihat zaman menjadi cacat karena raja, pemegang kekuasaan, kehilangan kasekten (kesaktian, kejayaan). Saat raja masih kasinungan kasekten (dalam kejayaan), semua tatanan kosmis berjalan harmonis. Namun, saat kasekten pudar, kehidupan menjadi mungkar. Penguasa gampang bertengkar. Saat kesaktian penguasa luntur, rakyat babak belur. Alam murka. Berbagai bencana menimpa.

Pudarnya kasekten penguasa membuahkan kehancuran dan penderitaan rakyat. Gejolak sosial, kekerasan, tawuran, serta ekonomi dan politik kian memanas. Kesaktian penguasa yang membuahkan kejayaan dan kesejahteraan rakyat tergantung garis etikakekuasaan Kearifan lama senantiasa meneguhkan bahwa tegaknya negara dan tatanan masyarakat mengacu kepada ajeknya moralitas. Ketika moral sudah runtuh, bangsa itu akan roboh. Selamat Tahun Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar