Rabu, 02 Januari 2013

Martabatkan Bahasa Indonesia Lewat Kurikulum 2013


Martabatkan Bahasa Indonesia Lewat Kurikulum 2013
Maryanto ; Pemerhati Politik Bahasa
KORAN TEMPO,  02 Januari 2013


Kurikulum sekolah berubah lagi. Tentu, ada saja pro dan kontra terhadap perubahan ini. Belum lama, memang, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) berlaku. Kurikulum terakhir itu bergulir menggantikan konsep kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada 2004 sebagai perubahan atas kurikulum 1994. Bagi pihak kontra, perubahan kurikulum sekolah sangat menjemukan dan menjengkelkan.
Kurikulum 2013 akan tercatat sebagai perubahan ketiga selama era politik reformasi. Pada era Orde Baru, dengan stabilitas politik yang dijaga ketat, kurikulum sekolah tampak lebih mapan sehingga uang belanja jasa pendidikan tidak seboros sekarang. Dulu, dengan kurikulum 1975, satu buku bisa dipakai lintas generasi oleh adik dan kakak kelas. Di buku pelajaran sekolah pun bahasa Indonesia sangat kuat dan bermartabat: sekuat bahasa di lidah Soeharto, ketika itu.
Lewat KTSP, bahasa Indonesia cenderung dilemahkan; dilecehkan pada setiap satuan pendidikan. Di tingkat sekolah dasar dan-bahkan-prasekolah, bahasa Indonesia mulai digeser posisi pentingnya sebagai bahasa pendidikan dengan bahasa selain Indonesia, terutama bahasa Inggris. Bahasa Cina juga menggeser bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tertentu. Di sana, bahasa Indonesia bukan bahasa "buku" (baca: literasi) yang bergengsi. Dengan menggadai martabat bahasa Indonesia, para penyelenggara KTSP sudah meraup untung dari urusan pendidikannya.
Pengintegrasian
Sudah semestinya-antara lain karena celah dan cela terjadinya komersialisasi pendidikan-KTSP diganti. Penggantian KTSP dengan kurikulum 2013 juga dilandasi niat baik untuk memartabatkan bahasa Indonesia. Melalui penyusunan kurikulum 2013, mata pelajaran (mapel) yang jumlahnya terlalu banyak, terutama di tingkat sekolah dasar (SD), sudah dirampingkan, dan bahasa Indonesia dipilih untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan alam serta ilmu pengetahuan sosial.
Integrasi IPA dengan IPS dalam mapel bahasa Indonesia tersebut membawa konsekuensi kewajiban menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pencarian dan penemuan ilmu. Dengan kata lain, jadikanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Martabat bahasa Indonesia rusak ketika tidak dibangun untuk kepentingan ilmu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekarang sudah bertekad membenahi kembali karakter bangsa yang mulai rusak di sekolah.
Semangat integrasi mapel tersebut diharapkan bukan cuma cambuk bagi semua lembaga pendidikan sekolah di bawah kendali Kementerian Pendidikan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga sudah saatnya dicambuk agar lebih percaya diri memartabatkan bahasa Indonesia. Di LIPI, sudah terlihat kecenderungan pengembangan dan pembinaan ilmu pengetahuan Indonesia dengan cita rasa asing. Misal, karya tulis ilmiah yang hanya berbahasa Indonesia masih dianggap cacat atau tidak sempurna kalau belum tertulis dalam bahasa lain, khususnya bahasa Inggris.
Bahasa ilmu pengetahuan Indonesia haruslah tumbuh dan berkembang atas dasar karakter bangsa Indonesia yang tecermin dan ternilai dengan perilaku berbahasa Indonesia. Penanaman nilai perilaku itu sulit berhasil tanpa pendidikan dasar yang berjati diri dan berkarakter kuat. Untuk itu, penguatan bahasa Indonesia di SD bisa menjadi secercah harapan ke depan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang kekal.
Penguatan mapel bahasa Indonesia di SD tidak berarti paralel dengan pelemahan mapel IPA dan IPS. Dalam integrasi mapel itu, semua pelajaran akan sejajar dan saling menguatkan. Tidak akan ada lagi anggapan, dari kalangan anak sekolah, IPA lebih superior daripada IPS. Tidak juga bahasa Indonesia dianggap inferior. Inferioritas bahasa Indonesia-yang di dunia pekerjaan sudah terlampau parah-perlu segera dikikis habis. Kurikulum 2013 diharapkan mampu mengatasi kegagalan dunia pendidikan dalam pemartabatan bahasa Indonesia.
Kesinambungan
Tidaklah mudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Jangankan sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia belum tentu ada dalam komunikasi sehari-hari. Pada diri anak dan orang dewasa sekali pun, keberadaan bahasa Indonesia masih merupakan sebuah proses konstruksi. Bahasa Indonesia bukanlah "barang jadi" yang selalu siap dipakai untuk mengkomunikasikan ilmu kepada anak sekolah. Proses bahasa Indonesia ini harus berlangsung di dunia pendidikan lewat penyelenggaraan kurikulum sekolah dengan prinsip kesinambungan.
Kurikulum 2013 perlu memproses bahasa Indonesia-agar menjadi bahasa IPA dan IPS-secara berkesinambungan dengan bahasa daerah. Konsep pengembangan kurikulum seperti itu agaknya sejalan dengan gagasan A. Chaedar Alwasilah, yang khawatir akan hilangnya peran bahasa daerah dalam pencerdasan daya nalar anak bangsa. Dalam buku terbarunya, Pokoknya Rekayasa Literasi, Alwasilah (2012) mengajukan konsep etnopedagogi untuk merancang pendidikan berbasis kearifan lokal dengan memasukkan bahasa daerah yang ada dalam setiap suku bangsa.
Kurikulum 2013, khususnya untuk anak SD, sudah tampak sangat kental dengan konsep etnopedagogi. Menurut konsep mapel bahasa Indonesia integrasi IPA dan IPS yang disusun oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan, anak pada tahap awal ditargetkan memiliki kompetensi "menerima anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa bahasa Indonesia yang dikenal sebagai bahasa persatuan dan sarana belajar di tengah keberagaman bahasa daerah". Dimensi spiritual kompetensi itu akan terlihat dari sikap sosial pada anak yang bangga atas keberadaan bahasa daerah (etnik) yang sangat beragam di Indonesia.
Sekadar ilustrasi proses untuk mencapai target pendidikan nilai sikap tersebut, wujud dan sifat benda "batu" yang terdapat dalam materi kurikulum kelas I SD dapat dikenalkan dengan kata "watu" untuk anak di daerah suku Jawa. Kata "batu", bagi anak yang berlatar bahasa (daerah) Jawa, akan merujuk pada benda (baterai) yang bersifat listrik. Bagi mereka, ilmu pengetahuan tentang benda padat non-listrik itu akan mudah ditemukan dari kata "watu". Mereka pun bangga akan adanya bahasa daerah. 
Bantuan bahasa daerah sangat diperlukan untuk memahami dan menyajikan setiap jenis teks, misalkan deskripsi wujud dan sifat benda, bagi anak sekolah yang mulai mengenal bahasa Indonesia. Pengenalan bahasa Indonesia dengan pusparagam bahasa daerah akan memperkuat jati diri dan karakter (perilaku verbal) pada anak menuju tahapan lebih lanjut dalam pelembagaan bahasa Indonesia. Selain itu, teks pelajaran seperti itu mendidik anak untuk turut mengadakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang bermartabat tanpa meniadakan bahasa daerah.
Bahasa nasional dan bahasa daerah merupakan sebuah bentuk kesinambungan. Isi kurikulum 2013 yang dikonsep oleh Badan Bahasa untuk anak SD dengan teks (genre) sebagai basis integrasi IPA dan IPS akan berimplikasi sangat jauh. Seberapa jauh Badan Bahasa beserta unit-unit teknisnya di daerah (balai/kantor bahasa) didayagunakan untuk membangun pendidikan sekolah akan menentukan keberhasilan konsep kurikulum baru ini. Ini adalah taruhan bagi pemartabatan bahasa Indonesia.
Pada tahun baru 2013, publik diminta menyambut kehadiran kurikulum baru. Kurikulum 2013, yang akan mulai diterapkan pada tahun ini, tidak boleh bagus hanya pada tataran konsep. Jika praktek penyelenggaraannya di sekolah buruk, semua pihak-baik yang sekarang mengaku kontra maupun pro-akan kecewa dan menggerutu: gonta-ganti melulu; buang-buang uang aja, deh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar