Jumat, 04 Januari 2013

Lembaga Akreditasi Mandiri


Lembaga Akreditasi Mandiri
Ki Supriyoko ; Anggota BAN-PT
KOMPAS,  04 Januari 2013

  

Mungkinkah Muhammadiyah yang memiliki puluhan perguruan tinggi dengan ratusan program studi membentuk lembaga akreditasi mandiri?

Pertanyaan menggelitik ini diajukan kepada penulis ketika diminta berbicara tentang sistem penjaminan mutu perguruan tinggi, yang diikuti puluhan pemimpin Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), di Yogyakarta, baru-baru ini. 

Mengapa tidak? Dalam UU Pendidikan Tinggi (UU PT) dijamin, masyarakat bisa membentuk lembaga akreditasi mandiri (LAM). Tentu sepanjang mendapat pengakuan pemerintah dan mendapat rekomendasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). 

Apabila Muhammadiyah ingin membentuk LAM, kasusnya tak jauh berbeda dengan keinginan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) membentuk LAM. Salah seorang pemimpin Aptisi, Budi Djatmiko, bahkan menyatakan, Aptisi sudah siap membentuk LAM. 

Mengakreditasi Prodi

Sekarang ini pembicaraan mengenai LAM memang sedang hangat, khususnya di kalangan pengelola perguruan tinggi. Pasalnya, ke depan akreditasi terhadap program studi (prodi) pada perguruan tinggi tak lagi dilakukan BAN-PT, tetapi oleh LAM. 

Dasar hukumnya jelas. Pasal 55 Ayat (4) UU PT menyatakan, akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh BAN-PT. Selanjutnya, Ayat (5) pasal yang sama menyebutkan, akreditasi prodi sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan oleh LAM. Memang BAN-PT tak lepas sama sekali terhadap masalah akreditasi. Di samping harus memberikan rekomendasi terhadap pembentukan LAM juga tetap harus mengembangkan sistem akreditasi.

Pembentukan LAM dapat didasarkan pada rumpun ilmu dan dapat didasarkan kewilayahan. Sementara itu, dalam UU PT disebutkan, enam rumpun ilmu: agama, humaniora, sosial, alam, formal, dan ilmu terapan. Kalau kita mendasarkan pada pengelompokan rumpun ilmu itu, dimungkinkan nantinya dibentuk LAM Agama, LAM Humaniora, LAM Sosial, LAM Alam, LAM Formal, dan LAM Terapan. 

Di Amerika Serikat ada lembaga serupa yang khusus mengakreditasi prodi rekayasa dan teknologi, yaitu Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET). Lembaga ini hanya mengakreditasi program studi, bukan jurusan, fakultas ataupun universitas. Lembaga ini sangat kredibel sehingga banyak perguruan tinggi dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, ”mengakreditasikan” program studi rekayasa dan teknologinya. 

Ilustrasi konkretnya: beberapa program studi ITB Bandung, seperti S-1 Teknik Kimia dan S-1 Teknik Fisika, sengaja meminta diakreditasi oleh ABET. Kenapa? Program studi rekayasa dan teknologi yang berhasil terakreditasi oleh ABET menjadi sangat bergengsi.

Mirip BAN-S/M

Di samping berdasarkan rumpun ilmu, pembentukan LAM juga dimungkinkan berdasarkan kewilayahan. Berdasarkan pada kewilayahan, dimungkinkan dibentuk LAM Indonesia timur, LAM Indonesia tengah, LAM Indonesia barat, LAM Aceh, LAM DKI Jakarta, LAM Kalimantan, dan sebagainya. 

Di Australia ada lembaga serupa yang pembentukannya juga didasarkan kewilayahan. Misalnya The Victorian Registration and Qualifications Authority (VRQA) yang hanya berkiprah pada lembaga pendidikan di wilayah Victoria. Tidak di wilayah lainnya, seperti New South Wales (NSW), Queensland, Australia Barat, dan Tasmania. 

Di Indonesia, struktur seperti itu mirip Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-S/M). Kalau di tingkat pusat ada BAN-S/M, di setiap provinsi ada Badan Akreditasi Provinsi Sekolah dan Madrasah (BAP-S/M). Pembagian tugasnya sangat jelas: BAN-S/M mengembangkan sistem akreditasi terhadap sekolah dan madrasah, sedangkan BAP-S/M yang ”mengeksekusi” sistem yang telah dikembangkan oleh BAN-S/M.

Dalam UU PT dijelaskan bahwa akreditasi program studi dijalankan oleh LAM. Meski demikian, ditegaskan bahwa pengembangan sistem akreditasi tetap dilakukan oleh BAN-PT. Kemiripannya, akreditasi sekolah dan madrasah dijalankan oleh BAP-S/M, tetapi pengembangan sistem akreditasi tetap dilakukan oleh BAN-S/M. 

Berbagai pengalaman empiris tersebut kiranya layak diacu untuk mengembangkan LAM. Kendati demikian, perlu diingat bahwa pembentukan LAM tidak mungkin dilakukan kalau belum ada peraturan menteri yang mengaturnya. 

Sekarang inilah waktu yang tepat memberikan masukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyusun peraturan tentang persyaratan dan tata cara pembentukan LAM serta mekanisme kerjanya nanti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar