Problema Tata
Kelola Pemerintahan
Abdul Basid ; Dosen Tata Negara STT
Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo |
SUARA
KARYA, 08 Januari 2013
Carut marutnya
penegakan hukum, rumitnya dunia pendidikan, tingginya angka kemiskinan dan
kesenjangan sosial-budaya, buruknya moral, dan semakin suburnya kejahatan
korupsi sangat erat hubugannya dengan tata kelola pemerintahan yang kurang
profesional dan akuntabel di negeri ini.
Karena itu, perlu mendorong
tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih untuk mencegah dan
meminimalisir buruknya birokrasi. Sebab hal itu, berdampak pada terhambatnya
keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat. Dalam kaitan itu diperlukan
penopangan dari dua unsur penting yang saling terkait, yaitu negara dan
masyarakat madani yang di dalamnya terdapat sektor swasta.
Negara dan birokrasi
pemerintahannya yang selama ini cendrung melayani publik dengan birokrasi
elitis (dilayani) harus bisa merubah dengan birokrasi populis (melayani).
Dengan kata lain, negara dan birokrasinya harus menjemput bola tidak menunggu
bola dalam pelayanan publiknya.
Pada saat yang sama,
sebagai komponen di luar birokrasi, masyarakat dengan sektor swastanya
bertanggung jawab dalam proses pengelolaan sumber daya alam dan perumusan
kebijakan yang akan publik dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra
strategis. Contoh kecilnya seperti mewujudkan program-program pengembangan
masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup.
Selain itu, pemerintah
juga harus memperhatikan sembilan poin penting yang kemudian menjadi prinsip
dari tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Pertama, partisipatif
dalam artian pemerintah harus selalu mengikut sertakan rakyat dalam
pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan.
Kedua, penegakan hukum harus berwibawa yang disertai aturan hukum dan
penegakannya secara konsekwen dan konsisten, sehingga tidak terjadi tindakan
publik yang anarkis dan tidak bisa dibeli.
Ketiga, transparan
dalam proses kebijakan publik, khususnya bagi kalangan pemerintah (pusat
maupun daerah) yang selama ini tertanam budaya korup di ranahnya. Keempat,
responsif terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Dengan kata lain,
pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat, bukan menunggu keluhan dan
keinginannya. Kelima, konsensus, dalam artian menjadikan segala keputusan
dilakukan melaui proses musyawarah. Keenam, kesetaraan dan kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan publik tanpa harus mengenal perbedaan keyakinan,
suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.
Ketujuh, efektifitas
dan efisiensi, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kedelapan, akuntabilitas
dengan artian bertanggung jawab atas segala perbuatannya, baik dalam
kebijakan, perbuatan, moral, dan netralitasnya. Dan, kesembilan pemerintah
harus mempunyai visi strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Kebijakan apa pun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya
pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.
Sementara, kejahatan
korupsi yang banyak menyita perhatian masyarakat di negeri ini sudah tidak
bisa diaggap enteng. Dari waktu ke waktu bukannya berkurang, tapi sebaliknya
malah tambah subur. Kesuburannya tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga
merusak peradaban dan tatanan masyarakat yang ada. Untuk itu, kejahatan itu
harus diberantas dengan intim, komprehensif, sistematis, dan terus menerus.
Jeremy Pope menawarkan
sebuah strategi jitu yang mengedapankan control kepada dua unsur paling
berperan di dalam tindak korupsi. Pertama, peluang korupsi dan kedua keinginan
korupsi. Menurutnya, korupsi terjadi jika peluang dan keinganan dalam waktu
bersamaan. Peluang dapat diminimalisir dengan cara mengadakan perubahan
secara sistematis, sedangkan keinginan dapat dikurangi dengan cara
membalikkan siasat "laba tinggi, risiko rendah" menjadi Plaba
rendah, risiko tinggi, dengan cara menegakkan hukum (disertai ancaman secara
efektif) dan menegakkan mekanisme akuntabilitas (pertanggung jawaban).
Meskipun demikian,
penanggulangan ala Jeremy Pope di atas akan lebih efektif jika didukung
dengan beberapa reaksi, antara lain, pertama, adanya political will dan
political action dari pejabat pemerintah negara dan pimpinan lembaga
pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah
proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana korupsi.
Wacana pemberantasan korupsi tidak hanya sebagai slogan kosong.
Kedua, hukum ditegakan
secara tegas dan berat, sehingga hukum tidak bisa dibeli. Cina, Korea
Selatan, Singapura, dan Jepang patut menjadi gambaran, di mana sejumlah
pejabat tinggi dan pengusaha di negeri itu menjadi jera untuk melanggar dan
melakukan korupsi karena aturan dan penegakan hukumnya tegas dan berat.
Ketiga, gerakan anti
korupsi sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Dan keempat,
gerakan agama antikorupsi yang membangun kesadaran keagamaan dan
mengembangkan spritualitas anti korupsi.
Alhasil, berbagai
kenyataan pahit yang melanda semua lini negeri ini, mulai dari hukum,
pendidikan, sosial, moral, hingga berbagai modus kejahatan, akan teratasi
jika terlaksana tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, di mana hal
itu akan tercipta seiring dengan prinsip dan langkah-langkah tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar