Selasa, 08 Januari 2013

Memberdayakan Kedigdayaan Rakyat


Memberdayakan Kedigdayaan Rakyat
J Kristiadi ;  Peneliti Senior CSIS
KOMPAS,  08 Januari 2013



Kesaktimandragunaan rakyat setidak-tidaknya diungkapkan dalam dua aksioma yang sudah menjadi dalil dalam negara yang berkedaulatan rakyat: suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi (salus populi suprema lex). Dalam kedua adagium itu sangat dirasakan nuansa absolut sejauh menyangkut kepentingan rakyat.

Ungkapan bijak tersebut dikemukakan karena rakyat Indonesia pada 2014 akan memilih pengelola kekuasaan negara yang dapat membebaskan rakyat dari segala impitan kesulitan hidup sehari-hari. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menentukan orang-orang yang dipercaya menjadi nakhoda kapal induk bernama Indonesia menuju ”Tanjung Harapan”, tempat rakyat mencecap dan menikmati kesejahteraan lahir batin.

Hanya saja, tampaknya harapan itu masih jauh dari kenyataan. Kedigdayaan rakyat seakan lumpuh karena dimanipulasi dan disalahgunakan pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Distorsi inilah yang selama hampir 15 tahun reformasi yang menegaskan rakyat berdaulat, tetapi nasib rakyat tidak mengalami perbaikan signifikan.

Politik citra yang mengakibatkan kebijakan negara semakin memperlebar jurang antara kelompok kaya dan masyarakat miskin terus dilakukan. Mereka tak mau menyadari bahwa kebijakan yang tidak memihak rakyat merupakan kejahatan politik yang dapat berakibat sangat buruk bagi bangsa dan negara. Elite politik bahkan tega menukar kedaulatan sebagai milik rakyat yang sangat bernilai dengan bahan pokok.

Oleh karena itu, tahun 2013 sangat bermakna karena dalam kurun waktu yang hanya lebih kurang setahun rakyat harus benar-benar aktif dalam proses rekrutmen para pengelola kekuasaan. Kesadaran publik perlu digugah karena kemapanan demokrasi prosedural ternyata berjalan seiring dengan merajalelanya korupsi politik serta menguatnya politik kekerabatan. Penetrasi politik dan politisasi hampir di segala bidang kehidupan kenegaraan telah memorakporandakan tatanan kekuasaan. Politik kepentingan merambah di sekujur tubuh negara sehingga roda pemerintahan seakan lumpuh, paralisis, serta mandul karena digerogoti interes politik yang tidak berkiblat pada kepentingan publik. Situasi semakin buruk karena kepemimpinan nasional yang lembek dan bersandarkan pada pemujaan politik imaji.

Suara publik yang cerdas, meski kadang-kadang pedas mengkritik perilaku korup mereka, ditanggapi dengan silogisme sesat yang intinya justru rakyat yang harus bertanggung jawab atas kelakuan mereka yang tidak terpuji. Alasannya, rakyatlah yang memilih semua pemegang kekuasaan. Argumentasi sungsang tersebut menjungkirbalikkan logika dan nalar sehat. Wajib hukumnya bagi mereka yang memperoleh mandat publik memberikan akuntabilitas kepada rakyat pemilik kedaulatan.

Tahun 2013 harus dijadikan momentum untuk memperkokoh kedigdayaan rakyat agar tak terperangkap dalam skenario politik, yang dirancang dengan sistematis dan canggih, untuk melumpuhkan kekuatan rakyat. Ancaman yang paling merusak adalah semakin dekat dengan pemilu, aktor-aktor politik akan semakin membabi buta menguras kekayaan negara untuk memperoleh, mempertahankan, atau membangun imperium kekuasaan. Peringatan keras Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas bahwa sepanjang 2012 aktor-aktor dalam pidana korupsi sebagian besar adalah dari elite parpol dan anggota DPR. November 2012, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan, 474 pejabat daerah bermasalah dengan hukum. Sebagian besar terlibat tindak pidana korupsi.

Selain menguras kekayaan negara, elite politik dapat dipastikan akan melakukan segala manuver untuk mencapai tujuan, seperti mengobral janji, blusukan menjajakan citra, mengobral air mata buaya, dan politik uang. Cara terakhir ini sangat merusak karena dikhawatirkan mereka tak hanya membeli suara, tetapi juga akan membeli penyelenggara pemilu. Maka, hampir dapat dipastikan tahun 2013 akan menjadi ajang pemanasan pertarungan hidup dan mati bagi para elite politik yang sudah kesurupan roh kekuasaan tanpa amanah.

Rakyat harus melawan kecenderungan tersebut. Kalau didiamkan tahun ini akan menjadi annus horribilis, tahun horor yang menakutkan. Rakyat harus dapat mengubah ancaman itu sehingga tahun 2013 menjadi annus mirabilis, tahun yang elok dan menggembirakan. Karena itu, kontrol publik terhadap proses Pemilu 2014 di segala tingkatan adalah keniscayaan. Tanpa kontrol yang ketat, sensasi kenikmatan kekuasaan sangat mudah membuat elite politik mengalami ekstase kolektif yang mengakibatkan mereka kehilangan kontrol dan pengendalian diri terhadap nalar dan persepsi indrawi. Pengawasan publik akan membuat mereka selalu terjaga dan sadar bahwa kekuasaan yang mereka genggam adalah untuk dikelola guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Rakyat tak perlu ragu dengan kekuatannya. Kedigdayaannya telah dibuktikan dengan kemampuan rakyat menjinakkan buasnya perebutan kekuasaan dengan membakukan proses dan prosedur pemilihan secara demokratis. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan, apalagi sebagai bangsa yang heterogen. Kedigdayaan tersebut tidak datang tiba-tiba, tetapi diperoleh melalui sikap askestis serta semangat juang yang pantang menyerah para pendiri dan pemimpin bangsa. Oleh sebab itu, tahun 2013 harus dijadikan tahun pemberdayaan kedigdayaan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar