Kamis, 03 Januari 2013

Preman Lindungi Koruptor


Preman Lindungi Koruptor
Donal Fariz ; Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, 
Indonesia Corruption Watch
KOMPAS,  03 Januari 2013
  


Sejumlah oknum preman menggagalkan upaya eksekusi Kejaksaan Agung terhadap Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, terpidana kasus korupsi penggunaan dana APBD 2006. Penegakan hukum tercoreng karena hukum takluk oleh aksi premanisme.

Theddy Tengko, yang sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ambon dalam kasus korupsi senilai Rp 48 miliar, akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung. MA mengganjarnya empat tahun penjara.

Walau sudah divonis bersalah, Theddy Tengko tak mau menyerah. Melalui kuasa hukumnya, ia mengajukan permohonan tak- tereksekusi atas putusan MA karena dinilai tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 Ayat 1 Huruf k KUHAP sehingga putusan batal demi hukum.

Permohonan Theddy Tengko diproses oleh PN Ambon dan menunjuk hakim Syafruddin memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan itu. Hasilnya di luar dugaan: permohonan tersebut justru dikabulkan. Di titik ini hakim ataupun PN Ambon seolah-olah lupa diri pada hierarki peradilan karena putusan pengadilan tertinggi, yakni MA, tak bisa dibatalkan oleh pengadilan terendah.

Maka, untuk kali kedua PN Ambon ceroboh fatal setelah memvonis bebas yang bersangkutan. Sesuai hasil Rakernas MA di Manado, 31 Oktober 2012, hakim Syafruddin yang memutus penetapan itu dapat dikategorikan unprofessional conduct karena telah melampaui batas kewenangannya.

Penetapan tak-tereksekusi oleh PN Ambon inilah yang selama ini dijadikan alibi oleh Theddy Tengko beserta kuasa hukumnya untuk tidak dieksekusi. Sungguh penegakan hukum kacau-balau dibuatnya karena secara hukum penetapan berada di ruang perdata yang tak boleh mengeliminasi putusan pidana.

Maka, MA kembali lagi harus melakukan koreksi melalui Penetapan MA Nomor 01/WK.MA.Y/ PEN/X/2012 untuk membatalkan penetapan PN Ambon yang kontroversial itu. Di titik ini sesungguhnya tidak ada celah lagi bagi Theddy Tengko untuk lari dari jeruji besi.

Harus Dieksekusi

Peristiwa gagalnya eksekusi terhadap terpidana korupsi seyogianya tidak hanya menampar wajah Kejaksaan Agung selaku eksekutor negara. Akan tetapi, juga sekaligus Kepolisian Negara RI yang terkesan kompromi dengan aksi premanisme karena tidak mampu bertindak tegas.

Sungguh ironis ketika kita membaca beberapa berita dari media online (Kompas, 13/11) yang menyebutkan pihak kepolisian justru bertindak sebagai negosiator antara kejaksaan dan oknum preman yang mencoba menghalangi eksekusi itu. Mustahil penegak hukum dan pengadang berunding karena yang akan berlaku tentu hukum rimba. Siapa kuat akan menang, soal kebenaran urusan belakang. Maka, akhirnya jaksa terpaksa menyusun langkah mundur

Kenyataan ini menunjukkan kepolisian seolah-olah gagap me- mosisikan dirinya sebagai penegak hukum. Padahal, eksekusi yang dilakukan para jaksa jelas dilindungi undang-undang. Sementara itu, tindakan oknum preman itu telah melanggar Pasal 212 KUHP karena melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas. Mereka dapat diproses pidana, bahkan hingga pihak yang berada di balik aksi itu.

Kejaksaan Agung harus segera mengeksekusi ulang yang bersangkutan. Korps Adhyaksa tidak perlu ragu dengan alibi yang dibangun Theddy Tengko bersama kuasa hukumnya. Dalam pandangan ICW, setidaknya ada empat argumentasi yuridis yang mereka dapat lakukan untuk eksekusi bupati yang sudah berstatus terpidana tersebut.

Pertama, MA sudah mengeluarkan putusan berkekuatan hukum tetap, in kracht van gewijsde, terhadap perkara itu.

Kedua, tugas jaksa dalam melakukan eksekusi dilandasi ketentuan Pasal 270 KUHAP. Dalam melakukan eksekusi, mereka membawa salinan putusan dan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan nomor 167/ S.1.16/Fu.1/11/2012 tertanggal 9 November 2012. Penting dipahami: dalam eksekusi tak diperlukan surat perintah penahanan seperti yang didengung-dengungkan oleh kuasa hukum Theddy Tengko selama ini. Yang dibutuhkan adalah dua hal di atas sehingga tuntutan mereka jelas sebuah kekeliruan besar.

Ketiga, Penetapan MA Nomor 01/WK.MA.Y/PEN/X/2012 yang membatalkan penetapan yang pernah dibuat PN Ambon terkait putusan tak-tereksekusi. Penetapan MA itu merupakan koreksi menyeluruh atas penetapan PN yang cacat hukum karena melampaui kewenangannya

Terakhir, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/ 2012. Putusan MK ini menjadi landasan konstitusional yang kuat bagi jaksa karena MK menilai, putusan-putusan pengadilan yang tidak mencantumkan Pasal 197 (1) Huruf k dapat tetap dieksekusi. Hal ini didasarkan pendapat mahkamah bahwa kebenaran materiil yang sudah terungkap di persidangan menjadi dasar seseorang dijatuhi pidana sehingga ketiadaan perintah ditahan apabila membatalkan putusan merupakan sesuatu yang jauh dari substansi keadilan.

Aksi premanisme tersebut sesungguhnya hanyalah ujian kecil bagi jaksa dalam pemberantasan korupsi. Jika jaksa tidak mampu melewatinya, publik akan sangat meragukan kemampuan kejaksaan melewati ujian terbesar yang muncul dari penguasa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar