Preman
Lindungi Koruptor
Donal Fariz ; Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan,
Indonesia Corruption
Watch
|
KOMPAS,
03 Januari 2013
Sejumlah oknum preman menggagalkan upaya eksekusi
Kejaksaan Agung terhadap Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, terpidana kasus
korupsi penggunaan dana APBD 2006. Penegakan hukum tercoreng karena hukum
takluk oleh aksi premanisme.
Theddy Tengko, yang sebelumnya divonis
bebas oleh Pengadilan Negeri Ambon dalam kasus korupsi senilai Rp 48 miliar,
akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung. MA mengganjarnya empat tahun
penjara.
Walau sudah divonis bersalah, Theddy Tengko
tak mau menyerah. Melalui kuasa hukumnya, ia mengajukan permohonan tak- tereksekusi
atas putusan MA karena dinilai tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 Ayat 1
Huruf k KUHAP sehingga putusan batal demi hukum.
Permohonan Theddy Tengko diproses oleh PN
Ambon dan menunjuk hakim Syafruddin memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan itu. Hasilnya di luar dugaan: permohonan tersebut justru
dikabulkan. Di titik ini hakim ataupun PN Ambon seolah-olah lupa diri pada
hierarki peradilan karena putusan pengadilan tertinggi, yakni MA, tak bisa
dibatalkan oleh pengadilan terendah.
Maka, untuk kali kedua PN Ambon ceroboh
fatal setelah memvonis bebas yang bersangkutan. Sesuai hasil Rakernas MA di
Manado, 31 Oktober 2012, hakim Syafruddin yang memutus penetapan itu dapat
dikategorikan unprofessional conduct karena telah melampaui batas kewenangannya.
Penetapan tak-tereksekusi oleh PN Ambon
inilah yang selama ini dijadikan alibi oleh Theddy
Tengko beserta kuasa hukumnya untuk tidak dieksekusi. Sungguh penegakan hukum
kacau-balau dibuatnya karena secara hukum penetapan berada di ruang perdata
yang tak boleh mengeliminasi putusan pidana.
Maka, MA kembali lagi harus melakukan
koreksi melalui Penetapan MA Nomor 01/WK.MA.Y/ PEN/X/2012 untuk membatalkan
penetapan PN Ambon yang kontroversial itu. Di titik ini sesungguhnya tidak
ada celah lagi bagi Theddy Tengko untuk lari dari jeruji besi.
Harus Dieksekusi
Peristiwa gagalnya eksekusi terhadap
terpidana korupsi seyogianya tidak hanya menampar wajah Kejaksaan Agung
selaku eksekutor negara. Akan tetapi, juga sekaligus Kepolisian Negara RI
yang terkesan kompromi dengan aksi premanisme karena tidak mampu bertindak
tegas.
Sungguh ironis ketika kita membaca beberapa
berita dari media online (Kompas, 13/11) yang menyebutkan pihak kepolisian
justru bertindak sebagai negosiator antara kejaksaan dan oknum preman yang
mencoba menghalangi eksekusi itu. Mustahil penegak hukum dan pengadang
berunding karena yang akan berlaku tentu hukum rimba. Siapa kuat akan menang,
soal kebenaran urusan belakang. Maka, akhirnya jaksa terpaksa menyusun
langkah mundur
Kenyataan ini menunjukkan kepolisian
seolah-olah gagap me- mosisikan dirinya sebagai penegak hukum. Padahal,
eksekusi yang dilakukan para jaksa jelas dilindungi undang-undang. Sementara
itu, tindakan oknum preman itu telah melanggar Pasal 212 KUHP karena melawan
pejabat yang sedang menjalankan tugas. Mereka dapat diproses pidana, bahkan
hingga pihak yang berada di balik aksi itu.
Kejaksaan Agung harus segera mengeksekusi
ulang yang bersangkutan. Korps Adhyaksa tidak perlu ragu dengan alibi yang
dibangun Theddy Tengko bersama kuasa hukumnya. Dalam pandangan ICW,
setidaknya ada empat argumentasi yuridis yang mereka dapat lakukan untuk
eksekusi bupati yang sudah berstatus terpidana tersebut.
Pertama, MA sudah mengeluarkan putusan
berkekuatan hukum tetap, in kracht van gewijsde, terhadap perkara itu.
Kedua, tugas jaksa dalam melakukan eksekusi
dilandasi ketentuan Pasal 270 KUHAP. Dalam melakukan eksekusi, mereka membawa
salinan putusan dan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan nomor 167/
S.1.16/Fu.1/11/2012 tertanggal 9 November 2012. Penting dipahami: dalam
eksekusi tak diperlukan surat perintah penahanan seperti yang
didengung-dengungkan oleh kuasa hukum Theddy Tengko selama ini. Yang
dibutuhkan adalah dua hal di atas sehingga tuntutan mereka jelas sebuah
kekeliruan besar.
Ketiga, Penetapan MA Nomor
01/WK.MA.Y/PEN/X/2012 yang membatalkan penetapan yang pernah dibuat PN Ambon
terkait putusan tak-tereksekusi. Penetapan MA itu merupakan koreksi
menyeluruh atas penetapan PN yang cacat hukum karena melampaui kewenangannya
Terakhir, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-X/ 2012. Putusan MK ini menjadi landasan konstitusional yang kuat bagi
jaksa karena MK menilai, putusan-putusan pengadilan yang tidak mencantumkan
Pasal 197 (1) Huruf k dapat tetap dieksekusi. Hal ini didasarkan pendapat
mahkamah bahwa kebenaran materiil yang sudah terungkap di persidangan menjadi
dasar seseorang dijatuhi pidana sehingga ketiadaan perintah ditahan apabila
membatalkan putusan merupakan sesuatu yang jauh dari substansi keadilan.
Aksi premanisme tersebut sesungguhnya
hanyalah ujian kecil bagi jaksa dalam pemberantasan korupsi. Jika jaksa tidak
mampu melewatinya, publik akan sangat meragukan kemampuan kejaksaan melewati
ujian terbesar yang muncul dari penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar