Paradoks
Indonesia Itu
Sabam Leo Batubara ; Manggala Pancasila (1996)
|
KOMPAS,
03 Januari 2013
Tulisan Sayidiman Suryohadiprojo di Kompas
(24 November 2012), ”Paradoks Indonesia”, amat menarik karena menyentuh
jantung persoalan Indonesia.
Mantan Gubernur Lemhannas itu mengemukakan
paradoks Indonesia, antara lain tentang pandangan luar negeri yang memuji
Indonesia sebagai negara yang sukses dalam berbagai hal, tetapi pendapat di
dalam negeri mengecam banyaknya kelemahan bahkan kegagalan.
Seluruh bangsa sepakat bahwa dasar bagi
negara Republik Indonesia yang merdeka dan berda- ulat adalah Pancasila sebab
Pancasila tidak hanya mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan perjuangan
hidupnya, malah merupakan jati diri bangsa.
Paradoksnya, para pemimpin Indonesia lalai
secara konsekuen mengimplementasikan Pancasila. Purnawirawan tinggi TNI
tersebut berpendapat bahwa paradoks itu tidak baik untuk bangsa Indonesia dan
mengindikasikan kelemahan struktural berat.
Empat Contoh
Pada hemat saya, empat contoh gambaran
paradoks Indonesia berkontribusi memperburuk wajah Indonesia.
Pertama, Presiden Soekarno adalah penggali
Pancasila dan Presiden Soeharto mendasarkan kebijakan pemerintahannya
berdasarkan Demokrasi Pancasila. Paradoksnya, mereka pulalah pelanggar utama
Pancasila.
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia. Pasal 1 menyebut penyelenggaraan negara
bersendikan kedaulatan rakyat. Namun, dalam implementasinya, pada era Orde
Lama hanya Presiden Soekarno yang berdaulat dan pada era Orde Baru hanya
Presiden Soeharto yang berdaulat.
MPRS/MPR setelah menerima kedaulatan dari
rakyat lalu menggadaikan kedaulatan itu kepada penguasa rezim. Kehadiran
lembaga itu hanya melegitimasi kehendak kedua penguasa rezim itu. DPR pun
hanya mengamini keinginan pemerintah.
Kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
berekspresi hanya berlaku bagi pendukung penguasa rezim. Pers yang berani
mengungkap kelemahan penguasa diberedel dan atau wartawannya dipenjarakan.
Penyelenggaraan negara oleh Presiden Soekarno dan Soeharto yang otoriter dan
tak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila berakibat ikutan: masing-masing
dilengserkan rakyat pemilik kedaulatan.
Kedua, beda temuan tentang karakter dan
jati diri manusia Indonesia. Bung Karno penggali Pancasila mengatakan
Pancasila adalah dasar filosofis-pandangan hidup untuk di atasnya didirikan
gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.
Sementara itu, lewat pemberitaan harian
Indonesia Raja sejak 1956 dan buku Manusia Indonesia (1977), wartawan Mochtar
Lubis mengungkapkan temuannya: manusia Indonesia memiliki karakter dengan
kelemahan berkecenderungan korup, munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa
feodal, percaya takhayul, tidak hemat dan boros, tidak senang bekerja keras
dan cenderung bermalas-malas, bisa kejam, mengamuk, dan membakar.
Paradoksnya, kelemahan-kelemahan manusia
Indonesia itulah yang sekarang ini penyakit kronis yang sedang menggerogoti
negara ini. Sementara itu, Pancasila dicitrakan sebagai ”keuangan yang mahakuasa; korupsi yang ’adil’ dan ’merata’; persatuan
mafia hukum Indonesia; kekuasaan yang dipimpin oleh nafsu kebejatan dalam
persekongkolan dan kepura-puraan; kenyamanan bagi keluarga pejabat dan
keluarga wakil rakyat”.
Ketiga, para pemimpin Indonesia bersikap
tidak konsekuen mengimplementasikan Pancasila. Dalam tulisannya, ”Pancasila
Versus Liberalisme” (Kompas, 23 April 2012), Ketua Dewan Pengkajian Persatuan
Purnawirawan Angkatan Darat Kiki Syahnakri mengatakan, ”Pascareformasi 1998, kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia
praktis dikuasai oleh liberalisme. Liberalisme berhasil mengerdilkan dan
mengalienasikan Pancasila.”
Dalam pertemuan bertema ”Kembali ke
Pancasila” di TMII, Jakarta, Kamis (5/7/2012), yang digelar Gerakan Pemantapan
Pancasila, dibagikan makalah ”Pokok-pokok
Pikiran Revitalisasi Pancasila” oleh mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.
Katanya, ”Setelah gagalnya ideologi
komunis di Uni Soviet pada akhir dekade 1980-an, ideologi liberal menjadi
acuan bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan pengalaman
reformasi yang memasuki tahun ke-14 dewasa ini, seharusnya kalangan reformis
yang beraliran liberal segera kembali ke Pancasila.”
Pendapat yang disuarakan tiga purnawirawan
tinggi ABRI itu semacam peringatan dini bagi pemimpin bangsa. Paradoksnya,
mengapa ketika mereka sudah purnawirawan dan sepuh baru menyuarakan
peringatan itu? Ketika aktif sebagai bagian dari kekuasaan pada era Orde
Baru, mereka hanya diam ketika nilai- nilai Pancasila disimpangkan.
Keempat, amandemen konstitusi masih
dipolemikkan. Dalam artikelnya, Sayidiman berpendapat, ”Reformasi memang diperlukan bangsa Indonesia untuk menjadikan negara
Pancasila menjadi satu kenyataan menjadi sasaran kaum Barat dan mereka
berhasil membajaknya. Bukti sukses pertama mereka adalah UUD 1945 yang
diamendemen sehingga mulai menjauhi Pancasila.” Sebaliknya, pendukung
amendemen meyakini perubahan itu justru untuk meluruskan UUD 1945 yang atas
nama Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila telah diselewengkan rezim
sebelumnya.
Isi pokok amandemen itu antara lain
presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat dan hanya boleh memegang
jabatannya maksimal dua kali. Pasal 28 dikembangkan menjadi Pasal 28 A sampai
28 J menjadi landasan konstitusional perlindungan HAM. Pasal 18 Ayat (2),
(5), (6), dan (7) jadi landasan penyelenggaraan otonomi daerah. Pasal 28F
mempertegas hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, serta mengolah dan menyampaikan informasi adalah
hak konstitusional warga negara.
Bahwa masih ada sejumlah tokoh lama yang
masih merindukan dan memaknai UUD 1945 sesuai dengan konsep Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, kecenderungan seperti itu adalah bagian
dari paradoks Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar