Sabtu, 05 Januari 2013

Politik dan Jurang Fiskal AS


Politik dan Jurang Fiskal AS
Suzie S Sudarman ;  Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia
KOMPAS,  05 Januari 2013

  
Dalam Pemilu AS 2012, kita semua tahu, Barack Obama terpilih kembali sebagai Presiden AS. Namun, ia segera pula menghadapi prospek sequester atau penyitaan negara berupa pemotongan anggaran secara menyeluruh sebesar 10 persen mulai 2 Januari 2013.

Hal ini awalnya bertujuan memaksakan pengambilan langkah lanjutan untuk menghindari pemangkasan berbagai tanggung jawab kunci pemerintahan federal. Berbagai upaya politik berlangsung sejak pemilu berakhir dengan kulminasi pemungutan suara pada dini hari 1 Januari 2013 di Senat AS.

Hasilnya? Kemenangan secara telak 89:8 guna mendukung rancangan perundang-undangan yang akan menghindari peningkatan pajak bagi kaum kelas menengah. Juga meningkatkan persentase pajak dari 35 persen menjadi 39,6 persen bagi individu yang berpenghasilan lebih dari 400.000 dollar AS per tahun atau pasangan yang berpenghasilan lebih dari 450.000 dollar AS per tahun.

Upaya di awal Januari ini juga akan menunda pemotongan anggaran selama dua bulan ke depan, melanjutkan penghasilan bagi para penganggur, menunda pemotongan 27 persen biaya dokter yang melayani pasien medicare (asuransi kesehatan) dan menghentikan kenaikan harga susu bagi konsumen. Kongres AS akan membahas rancangan perundang-undangan ini hari Rabu. Pertanyaan yang akan dibahas adalah asal muasal kesulitan AS menanggulangi krisis fiskalnya.

Di kalangan ilmuwan politik AS telah berkembang pemikiran tentang model partai politik yang bertanggung jawab. Model ini mengasumsikan bahwa partai politik akan mengutarakan pandangan tentang kebijakan yang tegas sehingga para pemilih memiliki landasan untuk memilih secara baik (Page, 1978).

Ada pula yang menggunakan teori-teori ekonomi untuk berargumen bahwa partai politik yang saling berkompetisi mengambil pandangan serupa di tengah opini publik sehingga pemenangnya akan mewakili preferensi kebijakan para pemilihnya. Teori lain tentang kontrol di sebuah demokrasi menggantungkan diri kepada perilaku khas partai dan calonnya.

Selanjutnya pandangan VO Key tentang ruang gema (echo chamber) mengingatkan kita pada kenyataan bahwa politik itu berlangsung di kepala para pemilih. Pilihan lazimnya berkaitan dengan pilihan yang disediakan (Page, 1978). Ketepatan ataupun tidaknya pandangan partai politik beragam serta bergantung pada kejelasan atau derajat ambiguitas pandangan partai politik itu sendiri.

Pilihan Politik dan Ekonomi

Isu krusial yang dihadapi Presiden Obama adalah menanggulangi jurang fiskal AS (fiscal cliff): sebuah ramuan dari peningkatan pajak, pemotongan anggaran, serta berakhirnya asuransi pendapatan bagi para penganggur. Upaya penyitaan atau sequester sebesar 1,2 triliun dollar AS selama 10 tahun lahir karena kegagalan Kongres AS mencapai pemotongan anggaran pada tahun sebelumnya.

Sebelum dicapainya rancangan perundangan di Senat AS, Presiden Obama berupaya keras menaikkan persentase pajak bagi 2 persen kalangan terkaya di AS. Namun, kalangan Republiken lebih cenderung pada pilihan menghemat dana pensiun dan asuransi kesehatan. Usulan Obama untuk memajaki warga berpenghasilan 250.000 dollar AS per tahun akan berpengaruh kepada 940.000 warga pemilik usaha kecil yang melaporkan penghasilannya dalam perpajakan individu dan keluarganya. 

Pertumbuhan ekonomi akan menurun 0,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar 16 biliun dollar AS. Ini akan berakibat berkurangnya 200.000 lapangan pekerjaan. Sebaliknya, andai jurang fiskal tak teratasi, pertumbuhan ekonomi akan berkurang 1,4 persen dari PDB atau berkurangnya 1,8 juta lapangan pekerjaan.

Kesulitan yang dihadapi Obama datang dari pengikut Grover Norquist dan Gerakan Partai Teh (Tea Party Movement) yang antipajak. Sementara itu, Partai Republik dibayangi oleh opini publik: 53 persen akan menyalahkan partai tersebut. Bahkan, dalam CBS News Survey terakhir, 81 persen orang dewasa menginginkan Partai Republik berkompromi untuk mencapai kesepakatan jurang fiskal AS. Jalan keluar tercapai dini hari tanggal 1 Januari 2013. Mitch McConnell, pemimpin minoritas Senat, mengumumkan bahwa ia telah bernegosiasi dengan Wapres Joe Biden untuk menghindari jurang fiskal AS.

Pemungutan suara di atas berarti rancangan perundangan lolos di Senat AS untuk menunda penyitaan atau sequester selama dua bulan. Sebab, di akhir Februari atau awal Maret, Pemerintah AS mencapai plafon utang 16,4 triliun dollar AS. Rancangan perundangan akan dibahas di Kongres dan upaya amendemen baru akan terjadi ketika Kongres AS bersidang.

Paradoks dalam Pilihan Sosial

Bagi Milton Friedman, seorang penganut pilihan rasional, ujian teori yang terpenting adalah kemampuan prediksinya. Jika cara pengungkapan realitasnya itu bersifat parsimoni, sederhana, mesti diterima sekalipun asumsi-asumsi dasarnya agak janggal. Semakin lama semakin kentara bahwa asumsi perlu dicermati, baik sebelum maupun sesudah data empirik terkumpul untuk memahami benar mengapa prediksi gagal dan bagaimana memperbaiki teori tersebut.

Pengaruh perubahan asumsi tidak bisa dianggap remeh bila menyangkut soal informasi dan biaya transaksi. Tanpa kehati-hatian, kedaulatan dan kesetaraan hak pemilih niscaya berubah wujud menjadi ketidakadilan dan berpengaruh pada corak elite politik dan perekonomian secara umum (Page, 1978).

Ternyata ada paradoks dalam teori pilihan sosial. Dalam banyak kasus sesungguhnya hanya sedikit hal demokratis yang bisa terwujud. Sesuatu hasil yang bisa dispesifikasikan sebagai demokratis belum tentu termanifestasi dalam kenyataan. Biaya yang diperlukan untuk memperoleh informasi dan transaksi niscaya mengintervensi kesetaraan politik, juga mendorong kemenangan orang kaya dan kalangan yang memiliki kemampuan berorganisasi.

Sumber daya yang tidak terdistribusi dengan baik akan menyubstitusi pilihan dengan politik uang. Pengaruh yang tidak setara akan kentara dalam kepercayaan dan preferensi warga. Jika imbalan materi melandasi ketidaksetaraan politik, prospek jangka pendek untuk mewujudkan kesetaraan politik tidak terlampau cerah.

Di AS, pengaruh politik uang (donasi) dalam pemilu telah telanjur mendorong ketidaksetaraan yang menyulitkan terwujudnya kompromi politik. Apakah Indonesia memiliki kemampuan mengatasi hal seperti terungkap di atas? Menengok kasus di AS, hanya upaya untuk senantiasa menjadi lebih cermat akan menjadi solusi jangka panjang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar