Sabtu, 05 Januari 2013

Bangsa Penuh Amarah


Bangsa Penuh Amarah
Ainna Amalia FN ;  Peneliti dan Dosen Psikologi IAIN Sunan Ampel Surabaya
KOMPAS,  05 Januari 2013



Tahun 2012 sudah berlalu. Sejarah telah merekam beragam peristiwa yang terjadi. Tak terkecuali kasus- kasus kerusuhan dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat kita.

Mulai dari bentrok komunal di beberapa daerah, seperti bentrokan di Bekasi; bentrok antarwarga di Ambon; bentrokan dua kelompok di Gampong Jambo Dalam, Kecamatan Plimbang, Biereun, Aceh; tragedi kemanusiaan di Lampung Selatan; penyerangan warga di Sampang, Madura; hingga perkelahian pelajar dan mahasiswa di beberapa daerah. Kerusuhan dan kekerasan yang terjadi ini sering kali berdarah-darah, bahkan hingga ada korban meninggal dunia.

Sepanjang 2012, wajah Indonesia tampaknya penuh dengan kegeraman. Masyarakat cenderung menyelesaikan masalah dengan amarah. Modus merusak diri sendiri ataupun orang lain cenderung melekat dalam perilaku berbangsa dan bernegara.
Dari sini lalu muncul pertanyaan, apakah hasrat menghancurkan ini sesuatu yang melekat pada diri manusia Indonesia? Menjadi bagian dari karakter rakyat Indonesia? Padahal, selama ini masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya santun dan ramah yang berarti jauh dari perilaku merusak.

Menurut Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness (1973), kekerasan yang dilakukan manusia dipicu oleh kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan individu berkembang secara positif. Kondisi ini menghambat tegaknya kepentingan dasar manusia sehingga individu bereaksi untuk mempertahankan eksistensinya. Melakukan tindakan agresi kepada diri sendiri ataupun orang lain.

Pendapat Fromm ini setidaknya memberikan gambaran bahwa dorongan agresi yang muncul pada masyarakat Indonesia bukanlah watak dan karakter yang melekat pada diri manusia Indonesia sehingga bisa timbul dengan sendirinya. Namun, sesuatu yang muncul karena ada faktor yang menstimulasinya, yang lebih bersifat reaktif.

Kemiskinan, kebodohan, perlakuan diskriminatif, adanya pelanggaran HAM, sistem yang timpang, hukum yang tidak memiliki rasa berkeadilan, sifat konsumerisme, semua itu melahirkan ketakberdayaan, kekecewaan, dan kemarahan yang berujung pada perilaku agresi. Tampaknya rakyat Indonesia sedang mengalami kekecewaan dan frustrasi akibat lingkungan yang kurang berpihak pada kepentingan eksistensinya. Masyarakat memendam amarah atas kondisi yang mereka hadapi. Kemarahan rakyat itu telah banyak tertumpah sepanjang tahun 2012.

Maraknya kasus korupsi para elite politik, berlarut-larutnya proses hukum sejumlah tersangka kasus korupsi, absennya figur kepemimpinan yang tegas dalam membela kepentingan rakyat, tingkah polah oknum DPR yang kongkalikong dalam proses penganggaran serta menghambur- hamburkan uang rakyat dengan pelesiran ke sejumlah negara menumbuhkan perasaan ”geregetan” dalam masyarakat. Ditambah lagi faktor pengangguran yang terus meningkat, semakin lebarnya jarak sosial ekonomi masyarakat kita—yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin—menambah amunisi bagi kegeraman dan kemarahan rakyat Indonesia.

Kekecewaan yang bertubi-tubi ini menjadi penyubur akar perilaku agresif dalam masyarakat. Alhasil jalan kekerasan menjadi pilihan untuk menuntaskan kegeraman. Pada kondisi demikian, kemampuan mendasar berupa rasionalitas menjadi tidak berfungsi. Alih-alih berpikir sehat, reaksi yang muncul malah menimbulkan kerusakan, kematian, dan kekacauan sosial.

Kekerasan Para Elite

Para elite negara yang korupsi sejatinya juga telah melakukan kekerasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Mereka bertindak agresi dengan mengambil hak- hak rakyat. Nafsu menguasai dan memiliki hak rakyat oleh para elite ini semata-mata demi kesenangan dan kepentingan diri dan golongannya. Dalam bahasa Fromm disebut dengan agresi destruktif.

Dorongan semacam ini muncul bukan karena mereaksi suatu kondisi timpang, melainkan lebih pada adanya perasaan tak berdaya menghadapi ”rasa tidak puas” dalam diri mereka. Para elite merasa tidak puas dengan gaji yang didapat. Merasa kurang dengan fasilitas yang telah diperoleh. Ketidakpuasan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukan penghancuran sistem demi memuaskan keinginannya dengan cara korupsi.

Kebijakan pemerintah yang cenderung memihak kepentingan kapital juga bentuk kekerasan negara kepada rakyatnya. Kepentingan rakyat menjadi nomor sekian karena dirasa kepentingan kapital lebih memuaskan ketakberdayaannya. Pemerintah juga lebih sibuk dengan pencitraan diri daripada mengambil keputusan yang berisiko tetapi demi kepentingan rakyat. Sebab, pencitraan dianggap dapat memuaskan ketakberdayaan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.

Penghancuran dan kekerasan yang telah dilakukan oleh para elite berdampak sistemik bagi negara. Sebab, efeknya lebih dahsyat dibandingkan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Kekerasan para elite ini melahirkan frustrasi sosial dalam masyarakat. Rakyat menjadi marah karena kelakuan para elite yang tak memihak kepentingannya. Nafsu destruktif para elite telah menjadi pendorong masyarakat melakukan tindakan agresi pula. Bagaikan mata rantai yang saling berkelindan, maka untuk menyelesaikan akar kekerasan dalam masyarakat perlu diputus mata rantainya.

Sebagai regulator negara, pemerintah harus memulainya dengan menciptakan kesejahteraan yang seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya untuk golongan tertentu saja. Pengelolaan dan pendistribusian hasil alam harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat di semua level.

Pemerintah juga mutlak harus melakukan peningkatan kesejahteraan, pemenuhan hak-hak asasi dan rasa aman bagi rakyat, penegakan hukum yang bersih dan seadil-adilnya, serta jaminan kesehatan dan pendidikan bagi seluruh warga negara. Sebab, semua itu adalah obat penawar bagi kemarahan dan rasa frustrasi rakyat Indonesia.
Semoga tahun 2013 yang mulai kita tapaki ini menyisakan harapan di tengah amarah yang tak kunjung padam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar