PROYEKSI 2013
Lautan Tumpuan
Kekuasaan Dunia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
03 Januari 2013
Sepanjang tahun 2013, hampir bisa
dipastikan China di bawah kepemimpinan Sekretaris Jenderal Partai Komunis
China (PKC) Xi Jinping— yang akan menjadi Presiden China bulan Maret
menggantikan Hu Jintao—akan menjadi lebih agresif dibandingkan dua dekade
sebelumnya. Persoalan domestik dan internasional yang dihadapi China pada tahun
ini terfokus pada pengukuhan diri sebagai kekuatan global dengan kemampuan
setara negara-negara Barat.
Selama masa reformasi dan keterbukaan China
tiga dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi dan kemampuan perdagangan China
yang masif dan impresif telah menempatkan negara berpenduduk terbanyak di
dunia ini sekaligus sebagai peluang ataupun ancaman bagi dunia. Menjadi
peluang untuk melebarkan kerja sama ekonomi, dan menjadi ancaman karena
perilaku politik internasional yang didukung kekuatan militernya.
China di bawah Xi Jinping akan
memproyeksikan kekuatan yang berbeda dengan kebangkitan negara-negara
adidaya, seperti Inggris dan AS, dalam dua abad terakhir. Mempertahankan
balance of power, dalam konteks hubungan dan norma internasional yang
terbentuk akibat dua Perang Dunia dan Perang Dingin, menjadi usang ketika
bentuk-bentuk baru kekuasaan dan kekuatan militer mencari keseimbangan
dinamis terus-menerus.
Kebangkitan China sebagai kekuatan global
berbeda secara signifikan dengan kebangkitan Inggris dan AS sebagai kekuatan
hegemoni masing-masing pada abad ke-19 dan 20. Dunia berusaha mengendalikan
China menjadi kekuatan hegemoni serta mendesak sejumlah perubahan perilaku
dan kepercayaan politik China untuk menyesuaikan diri dengan norma
internasional yang dipahami negara-negara Barat.
Perbedaan yang dihadapi China dengan
kekuatan global lain adalah jumlah penduduknya yang sangat besar. Selama 50
tahun, jumlah penduduk China bergerak dari 550 juta orang menjadi 1,3 miliar
orang pada tahun 2010. Tanpa kebijakan satu anak yang berlangsung sejak tahun
1979, pertambahan penduduk China diperkirakan mencapai 300 juta orang,
sekitar tiga kali jumlah penduduk Jepang.
Dampak Keseimbangan
Dalam konteks pertambahan penduduk ini,
proyeksi politik internasional China memang menjadi cenderung agresif dalam
rangka memenuhi kebutuhan keamanan pangan dan melindungi kepentingan
nasionalnya. Sengketa klaim tumpang tindih di Laut China Timur dengan Jepang,
dan di Laut China Selatan dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, menjadi
proyeksi kepentingan nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan keamanan pangan
ini.
Tahun 2013, konflik laut akan menjadi
mandala baru bagi China mengukuhkan kekuatan guna melindungi kepentingan
nasionalnya di seluruh dunia. Akses ke lautan akan menjadi legitimasi China
untuk beraksi dan melakukan klaim kedaulatan dan kekuasaan, yang berdampak
langsung terhadap keseimbangan dinamis kekuatan-kekuatan besar, termasuk
kebijakan ”poros Asia” sebagai politik menyeimbangkan kembali (rebalancing)
kehadiran kekuatan AS.
Selama ini, China memiliki narasi sejarah
sendiri terkait laut teritorial di utara dan tenggara kawasan Asia. Beijing
memiliki interpretasi sendiri atas Konvensi PBB tentang Hukum Laut, khususnya
pada pasal-pasal kebebasan navigasi dan lintas murni (innocent passage) di
perairan teritorial dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Bagi China, lautan adalah sumber pangan
penting. Dalam angka, 86 persen nelayan
dan petambak ikan dunia terletak di
Asia, dengan China menduduki urutan teratas, mencakup 8,1 juta nelayan dan
4,5 juta petambak ikan. Ikan memang menjadi menu penting dalam diet makanan
orang-orang Asia.
Harian Asian Wall Street Journal
melaporkan, pekan lalu otoritas Argentina menangkap dua kapal nelayan China
di dalam wilayah ZEE negara itu di kawasan Patagonia, memuat 10 metrik ton
cumi dan ikan. Konsumsi China akan produk lautan mencapai sekitar 50 juta
metrik ton pada tahun 2010, sangat masif dibandingkan India, Indonesia,
Vietnam, AS, dan Jepang yang mencapai kurang dari 15 juta metrik ton.
Konflik Terbuka
Sejumlah studi klasik tentang kekuatan laut
dan politik dunia menunjukkan bahwa kekuasaan dunia sebagian besar
dilaksanakan melalui kendali di lautan. Studi-studi ini juga menunjukkan
bahwa perubahan posisi kepemimpinan dunia selalu terkait dengan pergeseran
distribusi kekuatan laut.
Semua kekuatan dunia yang memiliki
keterlibatan signifikan dan mampu mengejawantahkan politik global selalu
mengandalkan kekuatan laut sebagai tumpuan. Ini pernah terjadi pada masa
imperium Turki, imperialisme Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, dan
lainnya, ataupun pada era pasca-Perang Dunia yang menghadirkan hegemoni AS.
China di bawah Sekjen PKC Xi Jinping tidak
akan terhindar dari perubahan posisi kepemimpinan dunia yang mengandalkan
kekuatan laut sebagai tumpu kekuasaan. Di bawah kepemimpinan generasi ke-5,
China perlu merumuskan manuver dan mekanisasi geopolitik, diplomasi risiko
tinggi, dan strategi akbar. Bukan sekadar untuk mengukuhkan klaim kedaulatan
di Laut China Timur dan Laut China Selatan, melainkan juga untuk mengawal
keamanan pangan bagi penduduknya.
Konflik terbuka, khususnya di Kepulauan
Diaoyu atau Senkaku, akan menjadi jalan panjang serta pengalihan persoalan
politik China pada umumnya, ketika desakan melaksanakan perestroika dan
glasnost ala Rusia menjadi tuntutan nyata dari dalam dan luar negeri.
Sekaligus juga akan menjadi ajang uji coba kekuatan laut China yang
dikembangkan saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar